Festival
Adakah dari kita yang tak suka
keramaian dan hiburan? Mungkin ada, tapi hanya orang tertentu saja. Jika ibarat
suatu penduduk di daerah. Tak sampai separuh, mereka yang tak suka keramaian
dan hiburan. “Tiap manusia mempunyai
sikap hedonis masing-masing, begitu juga cara menikmatinya” Setidaknya itu,
pernyataan yang pernah terlontar dari mulut Eka Kurniawan. Ia adalah sastrawan
yang digadang-gadang jadi penerus
Pramoedya Ananta Toer itu. Pernyataan itu masih saya ingat. Ketika saya
menghadiri acara Talk Show di Aula Pascasarjana UM tahun 2015. Dan Eka
Kurniawan sebagai pembicaranya.
Adalah sebuah festival. Suatu kegiatan yang
identik dengan hiburan dan mengumbar keramaian itu. Tak jarang jadi awal sebuah
gap. Juga perspektif pandangan, antara
kelompok masyarakat satu dengan yang lain. Ada yang berpikir, festival adalah
simbol kegiatan hedonis. Ada juga yang berpendapat, festival adalah simbol
kedikdayaan dan solidaritas masyarakat. Melalui festival, akan terlihat potensi
dan antusiasme suatu masyarakat di daerah. Mana yang benar ? entahlah. Semua
yang subyektif harus dibuktikan.
Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Daerah yang terkenal dengan kesenian reog itu. Agaknya telah membuktikan pada
masyarakatnya. Juga masyarakat dari luar Ponorogo. Jika festival reog yang
rutin digelar setiap Suro itu. Mampu
mengangkat citra Kota Reog. Tak hanya itu, jika festival telah digelar,
perekonomian masyarakat juga ikut meningkat, pertukaran informasi antar
masyarakat pun semakin update. Bahkan
yang terpenting, masyarakat tumbuh rasa bangga, mungkin sedikit congkak. Sebab,
daerahnya mampu menggelar festival bertaraf nasional. Lalu menghadirkan
wisatawan asing.
Namun
dari cerita teman akrab saya. Ternyata tak semua masyarakat apresiasi sebuah
acara festival reog itu. Ada juga yang beranggapan, jika festival hanya sebuah
acara hedonis yang buang-buang anggaran daerah. “Mungkin jika di croscek, suara itu muncul dari lawan politik si
penguasa. hehehe,” ucap saya dalam hati.
Sebuah festival nampaknya telah jadi bagian
dari strategi politik. Juga wujud janji politik bagi pemimpin. Untuk mensejahterakan
rakyatnya. Dan sepertinya lebih penting menyenangkan rakyatnya. Seperti kata
pemikir Roma, dalam Catatan Pinggir 2 karya Goenawan Mohamad. “jika kau ingin menguasai rakyat, ajaklah ia
pesta dan kenyangkan perutnya. Niscaya ia akan menurutimu”.
Festival
dan politik, mengingatkan saya pada seseorang dan suatu daerah. Dalam konteks yang
berbeda. Orang tersebut adalah si penerima manfaat dari program kewirausahaan
di Trenggalek. Sedangkan untuk daerah adalah Kabupaten Banyuwangi. Yang
terkenal dengan Tari Gandrung itu.
Tepat
malam tahun baru 2018. Saya sengaja tidak mudik ke rumah. Sebab saya ingin tahu
suasana tahun baru di Kabupaten Trenggalek. Karena saya melihat Alun-alun Kota
Trenggalek amat sibuk, sore itu. Ada panggung besar, ada juga stand pameran
UMKM. Malam itu secara tidak sengaja, saya bertemu dengan si penerima manfaat
program kewirausahaan. namanya tak perlu saya sebutkan. Ia berasal dari
Kecamatan Gandusari. Kami pun bersalaman dan mulai berbincang santai. Ia
kemudian bercerita pada saya, jika produk yang dia pamerkan di stand UMKM telah
laku dua jenis. Dari raut wajahnya, terlihat amat puas. Saya tanya saja ke dia, “ bagaimana ? senang dan puas ya barangnya
laku dibeli konsumen,” tanya saya. Dia pun menjawab, “ alhamdulilah mas, saya tidak menyangka laku dua, tadi juga sekalian
promosi ke pengunjung yang lihat-lihat produk saya. sekalian saya kasih kartu
nama.”
Ketika
dia mengutarakan hal itu, saya langsung terbesit, bahwa sebuah festival dan
pameran itu sangat penting. Selain memberikan wadah bagi produk lokal, juga
sebagai sarana promosi. Karena momen seperti itu amat langka, masyarakat awam bisa
berbondong-bondong dan keliling lihat produk karya anak Trenggalek di Stand
UMKM. Si penerima manfaat itu juga mengaku, kalau rutin ada acara festival atau
pameran. Produk dia dan teman UMKM lainnya segera familiar di mata masyarakat
Trenggalek. Karena sebelumnya jarang
sekali ada festival dan stand UMKM, ketika menyambut tahun baru di Trenggalek.
kita tahu, membuat festival itu perlu langkah politis. Karena hubungannya
dengan anggaran daerah. Jadi itu korelasi festival dan politik.
Lanjut
ke daerah Banyuwangi. Bermula, ketika saya berkunjung ke Desa Wisata Osing yang
terletak di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah. Saya membaca informasi dari
Pemerintah Daerah Banyuwangi. Yang tertera di banner berukuran 2 X 8 meter.
Banner itu diikatkan ke dua pasang bambu besar. Lalu bediri di dekat gapura
“Masuk Desa Kemiren”. Informasi yang tertera di banner adalah sebuah timeline
festival selama satu tahun. Untuk
pertama kalinya, saya tertegun. Kenapa ? karena ada 72 festival yang akan
terselenggara di Banyuwangi, selama satu tahun. Mungkin terkesan biasa, karena
dana sudah dari anggaran daerah. Tapi, berapa banyak pemimpin daerah yang bisa
melakukannya ? saya yakin tak banyak. Jangankan melakukan, terpikirkan saja -TIDAK.
Jadi
dalam timeline festival tersebut. Setiap satu bulan, selalu ada festival yang
akan terselenggara. Meskipun jumlah festival setiap bulannya, tidak sama.
Selain itu, festival yang terselenggara juga sangat beragam. Ada Festival
Sastra, ada Banyuwangi Batik Festival, Ada Banyuwangi International BMX,dsb. Tempatnya
pun tidak hanya di pusat Kota Banyuwangi. Namun terselenggara di berbagai
kecamatan. Supaya ada interaksi antara masyarakat kecamatan satu dengan yang
lain. Sehingga muncul kesadaran saling peduli dan berinteraksi. Sungguh
strategi politik yang apik. Dimana menyatukan dan mendidik masyarakat melalui
festival.
Melalui
festival itu, agaknya Banyuwangi ingin mengangkat kembali kesan lokal-modern.
Lalu merekontruksi ulang kebudayaan orisinil yang mereka miliki. Seperti
makanan khas, pakaian khas, bahasa dan keseniannya. Yang semua itu akan
bermuara pada penguatan ekonomi masyarakat. Juga rasa memiliki akan daerah
Banyuwangi. Karena festival itu sendiri
adalah sebuah wadah kolektif bagi masyarakat Banyuwangi. Serupa Ponorogo, tiap
daerah juga ingin mengangkat citra dan memperoleh perhatian para wisatawan
dalam negeri maupun luar negeri. Dengan begitu, akan banyak investor dan
pengembangan suatu daerah semakin cepat.
Dari
Banyuwangi, saya mulai paham. Jika festival tak bisa dianggap sebagai kegiatan
foya-foya atau hiburan semata. Karena ada misi mulia dibalik kegiatan itu.
Meski kita juga tahu. Festival bisa terselenggara butuh dana besar. Jika hasilnya
tak lebih besar, lalu bagaimana ? maka saya akan bersepakat, bahwa festival
bisa dimaknai kegiatan yang tak berfaedah. Tapi pemimpin daerah tentu perlu
mencoba, justru itu tantangan sekaligus peluang. Jika berhasil akan semakin
disegani rakyat. Jika tak berhasil, bersiap saja menghadapi kritik dan mosi
tidak percaya. Bukankah seorang pemimpin kudu berani mencoba ? itu semestinya.
Entah realitanya. (rif)
Komentar
Posting Komentar