Pria Berkursi Roda
Sebuah
awal-sekaligus akhir bagi pria berusia 76 tahun itu. Profesor kenamaan asal
Inggris itu. Tepat tanggal 14 Maret 2018, ia telah mangkat. Meninggalkan sebuah
pengetahuan, motivasi, prinsip hidup dan sejumlah karya monumental. Yang tak
akan pernah dilupakan oleh sejarah umat manusia dan ilmu pengetahuan. Ia adalah
Stephen William Hawkins. Kebanyakan orang lebih mengenal namanya, tanpa embel-mbel “William”.
Hari
Rabu itu (14/3), ketika saya break
bekerja dan melihat berita salah satu media online lewat gawai pribadi. Saya
pun cukup terkejut. Sebab, dikabarkan secara mendadak, profesor yang mengidap
penyakit Amiotrof Lateral Sklerosis (ALS)
itu. Telah meninggal dunia. ALS adalah sebuah kelainan pada saraf motorik. Jadi
ketidakmampuan seseorang untuk menggerakkan anggota tubuhnya karena syaraf
motoriknya tak berfungsi. Bisa
bayangkan, jika anda tak bisa lagi menggerakkan anggota tubuh ? bersyukurlah.
Saya terkejut dan sedikit haru,
mendengar kabar tersebut. Sebab saya terinspirasi dengan sosok Stephen Hawkins.
Bukan bangga ataupun penggemar berat. Bukan. Saya hanya terinspirasi dengan
sosoknya. Apalagi setelah saya melihat
film yang menceritakan tentang kehidupannya; “Theory of Everything.” Sungguh
pun amat bagus alur cerita dalam film itu. Sebuah perjuangan cinta yang
universal. Saya yakin, siapa yang
menonton film itu, pasti ikut terhanyut. Bahkan sesekali mata anda akan
berkaca-kaca. Jika tak percaya, lihat
saja filmnya.
Dalam film yang disutradarai
oleh James Marsh itu. Digambarkan perjalanan karir sang ahli fisika, kisah
percintaan dan perkembangan penyakit yang ia derita. Sebelum menderita penyakit ALS, Stephen muda
yang terkenal sebagai mahasiswa yang tak terstruktur, sedikit pemalas namun
cerdas itu. Mengalami masa-masa yang membungahkan,
tatkala kuliah di Cambridge University. Sebab, pria yang melanjutkan studi
doktoral di jurusan Astrofisika itu. Selain bahagia bisa menimba ilmu di
universitas ternama. Ia juga bertemu dan menjalin kasih dengan wanita menawan
dari jurusan Sastra di Cambridge University. Ia adalah Jane Wilde.
Jane Wilde dan Hawkins begitu
intim dalam menjalin asmara. Mereka sering pergi ke bar bersama. Mereka juga
sering bertukar pikiran, mendiskusikan sesuatu hal. Entah agama, sastra dan
fisika. Namun, Hawkins adalah sosok yang agak pemalu. Sehingga yang sering
menggoda justru Jane Wilde.
“kenapa kamu tak mengimani suatu agama?” pertanyaan menggoda ini
terlontar dari mulut seorang Jane Wilde. Dan dengan enteng si Hawkins menjawab, “
hampir semua ilmuwan melakukan hal itu, tapi alam semesta memiliki misterinya
sendiri untuk kita syukuri” Jawab Hawkins cukup santai, sembari memegang
segelas wine. Jawaban Hawkins yang terkesan dingin itu. Justru membuat raut
wajah tersipu, sekaligus pupil mata perempuan itu membesar. Tanda seorang
perempuan yang tertarik, pada pria misterius seperti Hawkins. Mungkin, hampir
semua perempuan tertarik dengan pria seperti itu, misterius dan dingin. Tapi
tak jarang, terkadang justru kecewa dengan sesuatu yang misterius, layaknya
ketidakpastian.
Dari Jane Wilde inilah, kisah percintaan dan karir sang professor
menjadi sebuah inspiring of life.
Bagaimana tidak ? kisah percintaan keduannya adalah kisah cinta yang tak biasa.
Penuh pemakluman, hasrat yang kuat dan berakhir pada kedewasaan paling purna.
Bermula dari kecelakaan yang menimpa Stephan Hawkins, saat ia selesai mengikuti
sebuah diskusi yang membahas tentang kosmologi. Hawkins berjalan terburu-buru,
lalu tiba-tiba terjatuh ke tanah, dengan kapala ikut membentur ke tanah secara langsung. Dari hasil uji lab
dan diagnosa seorang dokter. Ia divonis mengidap penyakit langka. Dimana syaraf
motoric dan ototnya lama-kelamaan akan
mengalami kelumpuhan. Dan itu artinya, suatu waktu ia akan mengalami lumpuh
total.
Diagnosa seorang dokter itu,
hanya disela beberapa patah kata oleh Hawkins, “ bagaimana dampak penyakit itu ke fungsi otak saya?” ucapnya agak
lirih. Dokter pun menjawab, “kelainan ini tidak menyerang fungsi otak
anda, otak anda akan tetap normal seperti biasanya.”
Tanpa sepatah kata pun. Hawkins
bangkit dari kursi tempat ia berdiskusi bersama dokter itu. Lalu ia berjalan menuju pintu kamar dan
keluar dari ruangan memilukan itu. Dokter pun
memaklumi apa yang dilakukan
Hawkins. Mungkin ia juga sudah tahu,
bahwa Hawkins sedang depresi. Hawkins yang kecewa dan stress, karena mendengar
diagnosa dari dokter. tiba-tiba muram dan mengurung diri. Ia juga tidak mau
bertemu dengan beberapa teman akrabnya. Bahkan gadis pujaan hatinya, Jane Wilde.
Hawkins, pria yang tak begitu percaya agama itu. Agaknya wajar, jika dia
mengalami depresi akut. Sebab, mau tidak mau. Ia akan mengalami kelumpuhan
total pada tubuhnya. Dan tentu, hal itu akan merubah kebiasaaan dan kehidupan
Hawkins kedepannya. Ia tak lagi selincah dahulu, mobilitas akan terbatas. Dan
amat ia takuti, ia akan kehilangan cinta seorang Jane Wilde. Sebab, kelainan
yang menimpa dirinya itu.
Namun, kenyataan itu lain. Jane
Wilde tetap mencintai sosok Hawkins dan mengatakan menerima perubahan apapun
yang terjadi pada diri Hawkins. Jane
Wilde terus merayu dan mendatangi Hawkins. Di tengah kondisi fisik Hawkins
semakin hari, semakin memburuk. Dan pada akhirnya Hawkins pun terenyuh dengan
sikap dan perhatian yang diberikan oleh Jane Wilde. Hingga keduannya memutuskan
untuk segera menikah.
Di awal-awal menikah Hawkins
hanya menggunakan tongkat penyangga untuk membantu aktifitasnya dalam berjalan.
Namun, kondisi yang memburuk membuat Hawkins semakin tergeletak lemas dan tak
bisa menggerakkan anggota badan lainnya. Akibat otot dan syaraf yang tak
berfungsi. Dan ketika itu pula, Jane Wilde memberikan hadiah kepada suaminya,
sebuah kursi roda canggih. Agar Hawkins bisa beraktifitas lebih mudah.
Di atas kursi roda itu, Hawkins
mampu menyelesaikan studi doktoralnya. Dengan bantuan dari sang isteri dan
rekan-rekannya yang selalu menyuntikan semangat. Karya tulisnya itu membahas
tentang terjadinya alam semesta, yang mendasar dari teori “lubang hitam”. Dan
karya tulis itu, telah dibukukan dengan judul, A Brief of Time. Yang kemudian
laris terjual di berbagai belahan bumi.
Namun, yang menjadi sorotan
saya. Sebenarnya bukan soal teori yang dicetuskan oleh Hawkins. Justru, kisah
perjuangan membangun keluarga antara dia dengan Jane Wilde yang membuat saya
berkaca-kaca. Di balik ketersohoran Hawkins, ada perempuan yang berjuang keras
merawat anak dan juga suami yang terdiam diatas kursi roda itu. Bahkan, Jane
Wilde pun tak akan pernah membayangkan. Jika pilihan hidupnya untuk mencintai
Hawkins akan seberat itu. Dalam Film itu, Jane Wilde, suatu ketika kemarahannya
memuncak. Sebab mengurus rumah tangga yang berat itu. Merawat anak dan merawat
sang suami. Ia membanting gelas dan piring, seraya meremas rambutnya sendiri yang berombak itu. Tanda ia
benar-benar strees.
Jane Wilde pun menceritakan
kondisi itu kepada sang Ibu. Hingga sang Ibu menyarankan agar ia ikut kegiatan
paduan suara di Gereja. Agar dia bisa sedikit lega dan refresh. Namun, di balik maksud ikut kegiatan paduan suara yang
disarankan oleh Ibu kandung Jane Wilde itu, yakni sang ibu menginginkan Jane
Wilde agar mencari sosok pengganti dari Hawkins.
Dan dengan tak begitu antusias.
Jane Wilde pun mengikuti saran dari Ibunya itu. Dia pergi ke gereja dan
mengikuti kegiatan paduan suara. Hingga ia akhirnya berkenalan dengan pria yang
belum memiliki isteri dan baru dikenalnya itu. Ia adalah Jonathan. Salah satu
pengajar dan komponis dari kegiatan paduan suara di gereja tersebut. Jane Wilde pun semakin intens berkontak dengan
Jonathan. Bahkan ia meminta Jonathan mengajar piano untuk anak lelakinya, hasil
hubungan darah dengan Stephen Hawkins itu. Tak jarang Jonathan juga ikut
membantu Jane Wilde dalam membereskan dan menata rumah agar terlihat lebih rapi
dan nyaman untuk dipandang. Hal ini yang membuat Hawkins, merasa rendah diri
dan sedikit iri. Apalagi ketika ia melihat anak lelakinya itu lebih nyaman dan
antusias ketika diajar bermain piano.
Ketika menjelang tidur, Hawkins
mengatakan kepada Jane Wilde, “ aku
mengerti kondisimu saat ini, maafkan aku. Tapi terus teranglah jika kau mulai
mencintai lelaki itu.” Sebuah pernyataan yang melebur jadi sebuah
pertanyaan. Ketika mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Hawkins. Seorang
Jane Wilde, hanya bisa menangis dan
memeluk erat tubuh suaminya itu.
Lebih lanjut, Stephen Hawkins
berkata,” tak apa, terkadang dalam hidup
selalui dipenuhi misteri dan ketidakpastian, seperti penciptaan alam semesta
ini. Terima kasih, selama ini sudah
menjadi ibu dan merawatku dengan baik,”
Dan akhirnya pun, Jonathan-Jane
Wilde menikah. Namun, ada pemandangan yang menarik dari foto pernikahan mereka
berdua. Hawkins dan anak-anaknya ikut foto bersama. Dan tak hanya itu, sebuah
langkah dan pilihan amat langka. Juga sebuah kedewasaan paling purna. Hawkins
tetap menjadi keluarga besar dan dirawat oleh Jonathan-Jane Wilde. Sebab, Hawkins,
Jonathan dan Jane Wilde memilih menjalani hidup satu atap. Juga bersama-sama
memecahkan sebuah misteri dari bermacam takdir di alam semesta ini. Silahkan
anda bayangkan, seorang mantan suami yang hidup bersama dengan suami baru dan
mantan isteri yang dicintai. Kedewasaan yang purna bukan ?
Kehidupan mereka pun berjalan
normal, Jane Wilde-Jonathan mengurus anak-anak dan rumah dengan baik. Juga tak
lupa mengurus sang professor itu, Hawkins. Hawkins telah berdamai dengan dirinya sendiri. Ia lebih
memikirkan isteri dan perkembangan anak-anaknya kedepan. Dengan adanya
Jonathan, ia tahu segalanya akan jauh lebih baik. Dan mungkin itu salah satu
ciri dari cara berpikir yang terlalu futuristik. Yang hanya dimiliki oleh
ilmuwan besar. Ia mengesampingkan diri sendiri. Dan ternyata pernikahan itu
juga baik untuk Hawkins, ia bisa berfokus pada penelitian-penelitian lanjutan. Yang
berguna untuk umat manusia dan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Kisah Hawkins dan Jane Wilde,
sekilas mengingatkan saya pada teman saya waktu kuliah dulu. Teman saya itu,
yang dua tahun dibawah saya angkatan kuliahnya. Dia seorang difabel. Lebih
tepatnya ia tuna netra. Meskipun tuna netra, ia memiliki pacar yang non
difabel. Dan cukup cantik, kulitnya bersih dan berhijab. Setiap kemana-mana mereka
selalu bersama. Si peremuan seolah tak
peduli dengan judgement dari sekitar.
Yang ada ia hanya tertarik dengan teman saya itu. Dia benar-benar tertarik.
Bukan iba. Ini sesuatu hal yang berbeda.
Saya pun penasaran, lalu
berkesempatan untuk mewawancarai teman saya itu, juga pacarnya. Dan ternyata
keduannya hanya bilang, sama-sama tertarik saja. Dan ingin menikmati juga
menjalani sebuah rahmat, yang mungkin bernama cinta itu.
Tapi, setelah lama tak bertemu.
Ternyata keduannya telah terkikis cintanya. Dan teman saya yang difabel
itu, tentunya setelah putus cinta. Saya bertanya pada dia, kenapa dulu tertarik
dengan si perempuan itu. Sontak saya kaget, karena ia punya alasan mencintai
perempuan itu. Mungkin benar, jika alasan itu muncul ketika ketidakpastian
membuntutinya. Toh, teman saya yang difabel itu, tak menjadi frustasi. Hanya
sebab telah putus cinta dengan perempuan yang sempat dicintainya itu. Ia justru
aktif dan menjadi pelopor dalam memperjuangkan hak-hak kawan-kawan difabel.
Ada sebuah pesan simple, yang terucap dari Profesor
Hawkins, namun ucapan itu tak diucapkan langsung lewat mulutnya. Sebab, ia
sudah tak bisa lagi berbicara. Karena penyakit ALS yang ia derita. Lewat sensor dan audio buatan. Ia berkata dalam
sebuah conference di Cambridge University, di depan ribuan mahasiswa dan
ilmuwan lainnya, “No matter how difficult
you have to go. There will always be things you can do that make successful.”
Yang artinya jika digubah ke Bahasa Indonesia, kurang lebih seperti ini; “seberapa pun kesulitan yang harus kamu
jalani. Akan selalu ada hal yang bisa kamu lakukan yang membuatmu berhasil.”
(rif)
Selamat
Jalan Stephen William Hawkins.
Komentar
Posting Komentar