Inlander
“Seorang yang senantiasa menganggap asing itu hebat dan senantiasa
benar dan unggul, sebenarnya merupakan inlander gaya baru, dan mengindap
unsur-unsur budak. Bawahan yang menganggap atasannya selalu ditiru dan digugu,
tak peduli apapun yang dilakukannya, pada dasarnya punya tabiat orang jajahan,
tidak punya karakter. Kerdil, penakut, melayang kemana angina bertiup merupakan
pakainnya sehari-hari.” Kutipan dalam esai karya Mahbub Djuaidi yang terbit
pada 29 Maret 1987 di Koran Kompas.
Saya cukup terkekeh, membaca esai
seorang maestro yang memiliki segudang label pada dirinya itu. Mulai dari
sastrawan, wartawan, cendekiawan, politikus dan budayawan. Apa gerangan yang
membuat saya terkekeh pada esai seorang Mahbub Djunaidi. Benar seperti kata Goenawan
Mohamad, bahwa ia (Mahbub Djunaidi) selalu mampu menulis esai satir dan renyah
dalam merefleksikan sebuah pengalaman-pengalaman hidup sosok manusia. Saya rasa
kutipan itu amat perlu kita resapi dan renungi secara seksama. Apakah benar
mental inlander gaya baru itu telah
muncul di tengah masyarakat yang semakin gandrung akan kepiawaian suatu gawai
ini.
Saya suka istilah yang digunakan
oleh Mahbub. Inlander gaya baru.
Meskipun tulisan itu sudah lama ditulisnya, hingga sang penulis sendiri sudah
pergi meninggalkan kita semua. Tetapi saya pikir gagasan dan ide tersebut masih
relevan dikritisi pada jaman sekarang. Dan saya tidak ingin mengejek
siapa-siapa. Kaitannya dengan gagasan ini. Saya mengakui, bahwa saya pernah juga
mengalami suatu pertautan rasa dimana menganggap asing itu hebat.
Pengalaman sederhana, suatu
ketika saya pernah pergi ke Yogyakarta untuk singgah ke tempat teman saya. Yang
kebetulan ia sedang kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Tiba di
Stasiun Tugu, saya didekati oleh seorang bule.
Yang tentu saja, saya tidak pernah tahu darimana ia berasal. Dari bahasa
tubuhnya ia ingin bertanya sesuatu pada saya. Entah tentang apa. Saya tidak
tahu pasti. Karena saya sendiri tiba saja merasa minder dan menghindar dari bule tersebut. Saya merasa rendah diri dan tak sebaiknya
berkomunikasi dengan bule itu. Aneh
bukan ? pernah kah kalian mengalami hal serupa ?
Mungkin perisitiwa sederhana dan
lucu yang menimpa saya itu. Secuil dari mental inlander yang masih melekat pada bangsa kita. Ya meskipun tidak
semua orang mengalami hal itu. Artinya mungkin benar apa yang dikatakan oleh
Mahbub tentang mental inlander yang
masih menodai generasi penerus bangsa kita. Mengganggap bahwa asing itu super
power dan layak ditakuti. Padahal, seharusnya sebagai tuan rumah, kita tidak
selayaknya takut dan minder dengan tamu (asing). Justru sebaliknya mereka lah
yang harus tahu diri bagaimana etika bertamu yang baik.
Tetapi secara lebih lanjut, dalam
buku yang berjudul: Asal-usul karya
Mahbub Djunaidi yang diterbitkan oleh DIVApress itu. Dan dalam esainya yang
berjudul “Kretek”, ia memberikan pengecualian pada beberapa golongan yang
menentang penyebutan inlader oleh
kaum colonial itu. Ia menyebutkan golongan itu, diantaranya: golongan
nasionalis, golongan pergerakan kemerdekaan nasional dan golongan patriotic
pembela tanah air. Karena para golongan ini tahu, jika penyebutan inlander itu
amat sangat menghina bangsa Indonesia.
Jika anda tahu, pada masa
Kolonial Belanda. Mereka menganggap Cina lebih tinggi derajatnya dari pada inlander. Mereka para kolonial membagi
kelas menjadi 3 bagian, yaitu kelas 1 untuk orang Belanda, kelas 2 untuk orang
Cina dan kelas ke 3 untuk orang inlander-inlander
anak negeri. Dan jika kita tahu betapa rasisnya pada masa penjajahan itu. “ Di
sebuah taman kota ada tulisan di pintu gerbangnya “Dilarang masuk anjing dan
Cina”. Begitu tulis Mahbub Djunaidi dalam esainya. Itu artinya kita tahu, jika
Cina yang masuk kelas 2 saja disamakan dengan anjing. Lantas bagaimana dengan
kelas 3 ? silahkan renungkan sendiri.
Ada fakta sejarah yang menarik
tentang inlander. Dimana subyek itu
sendiri adalah seorang Presiden pertama Republik Indonesia, yaitu Ir. Soekarno.
Ketika Soekarno masih duduk dibangku setara dengan SMP. Ia jatuh hati dengan
anak perempuan keturunan Belanda. Bahkan saking liar imajinasi dan pikirannya,
Soekarno ingin menikahi gadis keturunan Belanda tersebut.
Benar adanya, ia mendatangi rumah
si gadis tersebut. Tetapi takdir bersikap lebih kejam. Soekarno langsung diusir
dan dihina oleh ayah dari sang gadis itu. Ayah gadis itu mengatakan “dasar inlander, tidak berguna, bodoh dan
tidak tahu diri”. Kurang lebih seperti itu ucapannya.
Soekarno yang berjiwa keras dan
tak suka diremehkan. Ia pulang ke rumah dengan memendam rasa dendam penuh amarah
pada seorang Belanda itu. Dan dari guyonan teman-teman kuliah saya dulu yang
aktif di organisasai nasionalis. Mereka berujar, “ itulah yang melatarbelakangi
mengapa Soekarno ingin memerdekakan Indonesia dari kolonialisme Belanda. Karena
pada masa kecilnya dihina oleh kompeni.” Pungkasnya sambal cekikikan. Mungkin benar
kata pepatah “masa lalu membentuk pribadi
kita dan cara pandangan kita akan masa depan.” Lalu apa jadinya jika
Soekarno pada waktu itu direstui untuk menikah dengan si gadis keturuan Belanda
tersebut ? entahlah. Takdir selalu menghantarkan yang terbaik.
Sebenarnya kata inlander sendiri dipopulerkan oleh
kolonial Belanda. Kata itu digunakan untuk mengejek
bangsa Indonesia. Ya kita tahu, jika pada masa penjajahan Belanda, bangsa Indonesia yang menjadi tuan rumah
malah dipekerjakan dan dijajah oleh tamu (Belanda). Sebuah hal yang aneh, namun
telah terjadi di negeri ini. Mungkin ini karena mental manusianya dan sistem
pengetahuan yang belum menyentuh di
kehidupan masyarakat. Sehingga dengan mudahnya bangsa ini direndahkan oleh
Belanda.
Dari esai seorang Mahbub Djunaidi
itu, saya melihat fenomena tentang Inlander
gaya baru memang telah merambah ke lingkup dunia kerja. Bahwa ada tipe seorang
karyawan yang takutnya setengah mati dengan pimpinan. Bisanya hanya nggerundel dibelakang. Tidak berani
menyampaikan opini ataupun sebuah gagasan alternatif. Padahal mungkin saja
gagasannya itu bisa membuat kemajuan suatu instansi atau perusahaan. Istilah
saya “pejah gesang tumut bos” yang
artinya: Hidup mati pokoknya ikut kehendak bos.
Dari pengalaman saya bekerja.
Saya mempunyai mantan rekan kerja yang cukup hebat dan baik dalam setiap tugas
yang diberikan oleh pimpinan. Padahal ia tahu bahwa tugas tersebut bukan
seperti itu cara penyelesaiannya dilapangan. Tetapi mantan rekan kerja saya
itu, Cuma bisa nggerundel lalu
menyelesaikannya. Tak pernah berani memberikan pertimbangan alternative pada
pimpinan. Apalagi kalau lihat cara bersalaman dengan pimpinan, menunduknya
hampir menyerupai gerakan rukuk pada shalat fardlu. Apakah hal seperti ini
masuk kategori inlander gaya baru.
Mungkin, iya. Mungkin, tidak.
Mungkin iya, karena teman kerja
saya itu telah dijajah kemerdekaan berpendapatnya oleh pimpinan. Ia hanya nggih, nggih dan nggih. Dan
bahkan mentalnya, mohon maaf. Sudah berubah layaknya binatang piaraan
juragannya. Tetapi jika tak patuh nanti akan dipecat, lalu bagaimana ? kan
butuh hidup dari komisi bekerja. Bagi saya ini bukan soal pecat atau tidak
dipecat. Ini hanya soal keberanian berpendapat. Bukan hanya diam, lalu nggrundel. Dan saya rasa hal serupa
pasti kita pernah mengalaminya.
Mungkin tidak, karena sikap teman
kerja saya pada pimpinan tersebut. Sudah menjadi bagian dari kebudayaan
dan kearifan suatu masyarakat sekitar.
Yang dijunjung sebagai sebuah nilai yang berlaku pada masyarakat. Jika sudah
menjadi kebudayaan, hal ini tidak bisa lagi dielak. Karena kondisi sosial mendukung dan mengapresiasi perilaku
tersebut. Dan kita jadi tahu mengapa seorang sastrawan asal cekoslovakia, Milan
Kundera pernah berkata, “untuk
menghancurkan sebuah bangsa, kau cukup pelajari sejarah, kebudayaan dan bakar
buku-bukunya.”
Jadi ketika kolonial Belanda
menjajah, tentu ia sudah mempelajari karakteristik bangsa Indonesia. Dan
melalui kebudayaan itu, mereka justru mendesktruktsi untuk kepentingan politik.
Menjatuhkan mental dan mengkampanyekan bahwa sikap tersebut adalah sikap budak.
Dan ketika momentum telah datang. Mereka menyebutnya sebagai mental inlander. Setidaknya itu prespetif saya.
Pada minggu pertama di bulan
April 2018. Saya bertemu dengan seorang asing atau bule. Ia adalah pasangan
suami-istri, Bryce dan Lauren. Mereka berdua berasal dari California, Amerika
Serikat. Kunjungan keduannya ke Indonesia. Selain berlibur juga menjadi volunteer
untuk Junior Achievment (JA). Dan secara kebetulan juga, keduanya mau menjadi
volunteer untuk mengisi materi marketing di kegiatan General Mentoring USAID
JAPRI Trenggalek.
Bryce adalah seorang Manager Area
EXXonMobil di California, Amerika Serikat. Sedangkan Lauren adalah konsultan
kepemimpinan di Yayasan Ronald Reagan, Amerika Serikat. Sehari sebelum acara
diselenggarakan, seperti biasa team USAID JAPRI Trenggalek melakukan konsolidasi
dan koordinasi tentang teknis kegiatan
General Mentoring esok hari. Setelah koordinasi rampung, tiba saja, Bryce mengajak saya untuk menemani jogging. Dan anehnya, perasaaan rendah
diri serta takut tidak mampu berkomunikasi lancar dengan seorang bule. Tidak
saya alami, seperti ketika saya bertemu dengan bule di Stasiun Tugu Yogyakarta.
Saya pun berpikir, mengapa mental saya berbeda saat menghadapi Bryce dan bule
yang tidak saya kenal ketika di Yogyakarta itu.
Saya hiraukan hal itu sejenak,
dan langsung menjadi guide bagi seorang Bryce. Saya mengajak ia jogging menuju Hutan Kota Trenggalek, kemudian
ke Alun-Alun Trenggalek. Namun dalam percakapan yang agak terbata-bata antara
saya dengan Bryce. Untuk mengisi komunikasi agar lebih interaktif. Pikiran saya
terbesit untuk mengajarkan sesuatu pada Bryce. Kenapa saya ingin mengajarkan sesuatu
pada dia ? Karena saat itu, saya melihat
Bryce berjalan begitu saja melewati orang yang sedang duduk di licak depan rumah. Tanpa respond an tanpa
sapaan. Entah dia tidak tahu, atau itu
budaya barat yang ia bawa ke daerah Trenggalek. Yang tentu amat kurang pas.
Lalu saya berkata ke Bryce, “ Bryce, Im sorry, I want to know for you about
attitude in here. Especially for people in Trenggalek. So, if you meet the
people like that. Should you can said “Monggo”. Are you can ?”
Dan Bryce menjawab, “ oh ya well, Im Sorry. Oke I want try it.”
Hal ini justru menjadi pengalaman
yang amat lucu. Karena Bryce mengucapkan kata “Monggo” hampir menyerupai perkataan “Manggo”. Haha
Karena dia sudah mengerti bagaimana
beretika di sekitar masyarakat Trenggalek. Bryce justru keranjingan mempraktikan hal tersebut. Hampir setiap orang yang ia
temui, ia katakan didepannya “Monggo”. Setidaknya itu, cara saya agar kita
saling menghargai antar bangsa. Agar Bryce juga tetap terhormat, tidak arogan
di mata masyarakat Trenggalek.
Lalu setelah selesai
menghantarkan Bryce untuk jogging.
Saya mulai berpikir tentang pertautan mental yang pernah saya alami sebelumnya.
Tentu tentang bule di Yogyakarta dan Bryce. Dan saya mencoba menyimpulkan
sendiri. Kenapa pada saat di Yogjakarta saya bertemu dengan bule merasa minder,
rendah diri dan tak berani berkomunikasi. Ternyata penyebab utamanya adalah
kompetensi, atau lebih tepatnya skill berkomuniksai bahasa asing (Inggris). Waktu
itu kemampuan Bahasa inggris saya menurun. Sebab semasa kuliah tidak lagi
terasah. Tetapi berbeda ketika bertemu dengan Bryce, meskipun kemampuan bahasa inggris
masih biasa-biasa saja. Bahkan kurang. Setidaknya saya setiap seminggu dua kali,
mulai terbiasa mengasah kemampuan berbahasa inggris saya lewat kursus di Gazebo
Course Trenggalek. Dan itu membuat saya cukup percaya diri. Tidak lagi muncul
mental inlander gaya baru seperti kata
Alm. Mahbub Djunaidi pada esainya.
Peristiwa sederhana itu, membuat
saya mengerti. Untuk memliki mental percaya diri dan keberanian. Kita harus
terus mengasah dan meningkatkan kompetensi atau skill kita. Sehingga pandangan inlander gaya baru yang masih mendera
bangsa Indonesia. Tidak akan lagi menjalar ke generasi selanjutnya. Kita tahu
lewat pendidikan-lah kompetensi bisa dimaksimalkan. Dan kita harus akui bahwa
pendidikan tak terbatas hanya sekolah saja. Bagi bangsa yang dijajah sebegitu
lamanya, ditindas secara ekonomi dan politik. Akses pendidikan yang sulit dijangkau
dan hanya diperuntukan untuk keturunan para priyayi pada waktu itu. Jelas sudah
bangsa kita diejek sebagai inlander
pada masa itu. Dan penjajah memang sengaja membuat sistem seperti itu langgeng di Indonesia.
Dan seperti yang disebutkan oleh Mahbub, hanya
golongan nasionalis, pergerakan kemerdekaan dan gabungan rakyat patriotik yang
berani melawan penjajah. Juga seorang Mahbub sendiri. Lalu muncul pertanyaan. Mengapa
mereka sebegitu beraninya dengan orang asing yang menindas? Sedangkan mayoritas
rakyat lainnya hanya mendekam ? Jawabannya singkat, Kompetensi. Kita tahu seperti halnya Mahbub Djunaidi. Ia menguasai tiga Bahasa asing, yaitu
Bahasa Belanda, Bahasa Perancis dan Inggris. Belum lagi ketajaman tulisannya
dalam menggriring opini publik. Siapa orang asing yang tak minder bahkan pening?
(rif)
Komentar
Posting Komentar