Honor
Honor,
sebuah kata yang hampir mirip dengan kata “horor”. Hanya berbeda satu huruf
saja, yakni huruf “r”. Dan itu artinya, baru saja pikiran saya dipermainkan
oleh sebuah kata. Seolah honor yang seharusnya bermakna positif itu. Yang
berrarti upah bagi seseorang yang melakukan suatu pekerjaaan tertentu, tanpa
terikat kontrak jangka panjang . Seolah menjadi momok yang menyeramkan, yang
cukup membawa aura negatif, mirip kata
“horror” yang artinya sesuatu yang menimbulkan rasa takut atau ngeri.
Mungkin
seperti itu, sebuah kondisi pertentangan yang menimpa para pejuang tanpa tanda
jasa itu. Ialah sosok guru, sosok pendidik, sosok pengajar. Yang selama ini
menghibahkan waktu, raga dan jiwanya untuk anak bangsa. Mereka-lah, profesi
yang saat ini jadi korban tarik-ulur kebijakan pemerintah disektor pendidikan.
Mereka adalah guru honorer.
Mungkin
diantara kalian ada yang berprofesi sebagai guru honorer ? terima kasih. Saya salut dengan kerja keras
kalian mendidik generasi Indonesia mendatang. Bahkan saya pun terpikir,
sekaligus menyarankan agar tak perlu embel-embel
kata honorer. Cukup sebut “Guru” saja. Karena kata honorer telah menjadi momok
bagi seorang guru itu sendiri dan juga masyarakat yang mendengar kata itu. Isu
itu sudah jadi opini publik, jika honor yang diterima para guru itu, bisa
dibilang tak sepadan dengan tanggung jawab yang diemban oleh mereka.
Fenomena
guru honorer di negeri ini sebenarnya menjadi isu yang amat penting, juga
genting. Tetapi saya juga terheran. Kenapa media dan kabar lokal tak pernah
serius membahas langkah kedepan pemerintah untuk para guru yang tak sepenuhnya
diakui negara ini. Apakah isu ini memang tak lagi penting ? apakah lebih
penting sebuah isu politik entertain, seperti Jokowi blusukan naik cooper, atau
ungkapan kontroversi Prabowo soal Indonesia akan bubar tahun 2030 ? entahlah,
media memang selalu butuh suplai.
Tahun
2016, saat saya bekerja di program Corporate Social Responsibility (CSR) dari
PT. Biersdoft Indonesia. Yang kebetulan sasaran program CSR itu untuk beberapa
sekolah dasar di daerah Kabupaten Malang. Ada sebuah keluhan yang bernada sinis.
Yang seolah menandakan kondisi amat
genting. Ini ungkapan seorang kepala sekolah kepada seorang anak umur 22 tahun.
“ Hla iya mas, saya ini bingung dan takut sebenarnya, jumlah guru yang
sudah ASN disini hanya dua orang. Lainnya itu honorer dan sampeyan juga tahu, berapa gaji mereka dalam satu bulan.
Bagaimana kalau mereka semua keluar karena tidak ada kepastian dari pemerintah”.
Kata kepala sekolah itu. Lebih lanjut ia mengungkapkan lebih serius dan sedikit
jengkel, “ apa mau dibubarkan sekolahnya
ini, kalau krisis guru” pungkasnya.
Pertemuan
tak terencana itu membekas di ingatan saya. Dan justru menimbulkan sebuah
pertanyaan baru. “Apa iya, seorang guru
honorer berani berpikir sampai sejauh itu, mengundurkan diri dari sekolah
karena honor yang tak sepadan itu ?” tanya saya dalam hati. JIka benar mereka para guru berani melakukan
hal itu, dan dilakukan secara terorganisir. Mungkin akan menjadi sejarah baru.
Apalagi jika mogok guru ini dilakukan secara masal se-Indonesia. Entahlah.
Kadang
kita juga berpikir, Apa sebenarnya yang menjadi motif para guru itu. Hingga mereka
entah ikhlas atau terpaksa tetap menjadi yang katanya guru honorer itu. Padahal
jelas saja honor mereka tidak akan cukup jika untuk hidup dalam satu bulan.
Apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga. Mungkinkah dalam kondisi yang
terhimpit dan terabaikan seperti itu, seorang guru bisa bertindak profesional
dalam mengajar ? mungkin bisa, jika saja profesi guru adalah cita-citanya dari
kecil. Atau juga mengajar sudah menjadi bagian dari hidupnya. Kita sering
menyebutnya sebagai passion. Lalu,
bagaimana jika mereka yang menjadi guru dengan honor yang minim, namun mengajar
bukan menjadi passionnya ? Mungkin ia
akan menunjukkan nalurinya sebagai manusia. Ia akan berlaku adil. Misalnya ijin
setelah jam mengajar selesai. Dan sedikit cuek dengan kondisi siswa yang nakal
atau sulit diatur. Toh kalau sedikit disentuh yang bertujuan untuk mendidik. Jatuhnya
malah berurusan dengan hukum. Seru bukan
menjadi guru honorer ?
Tapi
saya rasa ada satu alasan lagi yang tak elok. Menjadi guru honorer hanya karena
ingin mendapatkan harga dimata masyarakat. Entah harga diri atau harga jual. Bahasa
kasarnya “gakpopo honor saitik, sing
penting macak priyayi. Saban isuk ben kethok stil”. JIka pun hal ini yang jadi
motif mereka. Kita bisa berkata, jika mereka adalah korban budaya feodal. Tetapi juga tak apa, setiap manusia punya
keterukuran masing-masing dalam hidup. Apalagi sebuah ideologi.
Para
guru yang diberi honor, namun tetap semangat dan berusaha profesional dalam
menjalankan tugasnya itu. Sungguh pun kita wajib menghormati mereka. Karena
tanpa mereka misi pemerataan pendidikan yang dikampanyekan oleh para penguasa
ataupun politisi hanya akan menjadi awang-awang
belaka.
Melihat
fenomena guru honorer yang tetap konsisten mendidik anak bangsa, meski honor
tak manusiawi ini. Saya jadi teringat pada
sosok perempuan tangguh dan pemberani yang konsisten membantu tercapainnya misi
pendidikan dan kebudayaan di daerah pedalaman dan terpencil di Indonesia.
Ia adalah
perempuan jangkung dan berkulit sawo matang. Butet Manurung. Seorang antropolog
asal Indonesia yang jadi penerima hadiah “Nobel Asia” itu. Berkat keberaniannya
menyelami dan masuk secara total ke dalam
hutan dan hidup Bersama orang suku pedalaman. Yang tak paham soal calistung,
apalagi teknologi modern.
Dalam
buku karangan dia yang luar biasa itu, yang berjudul “Sokola Rimba”. Butet
mencoba memvisualisasikan lewat tulisan, apa saja yang dia lakukan dan
bagaimana ia hidup bersama dan belajar bersama dengan orang rimba. Singkat
cerita, Butet yang sama sekali belum pernah melakukan pendampingan di daerah
terpencil dan pedalaman di Indonesia. Memutuskan untuk mendaftarkan diri dan
terjun langsung ke alam liar untuk mendampingi orang rimba. Lewat buku yang ia
tulis. Ia mengaku amat tertantang pergi ke hutan dan melakukan pendampingan. Melalui
LSM WARSI, Butet terjun ke hutan untuk melakukan pendampingan ke anak rimba.
Dengan didampingi beberapa staff dari LSM
WARSI pula. Lokasi sasaran itu di hutan yang terletak di sekitar Bangko, Jambi.
Yang juga masih masuk dalam Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD).
Awal bertemu
dengan orang rimba, Butet mengalami kesulitan. Terutama memahami bahasa ibu
dari orang rimba tersebut. Bahkan, Butet harus bisa mandi di kali, makan
binatang hasil buruan seperti babi hutan. Dan terbiasa dengan suara derik ular
dikala malam hari. Semua itu ia lakukan hanya sebuah satu visi, mengajar
calistung dan bahasa Indonesia ke suku anak rimba. Dan semua tantangan itu berhasil dilewati oleh
seorang Butet. Bahkan ia berhasil meyakinkan kepala suku agar anak kecil suku
rimba harus diajar calistung dan membaca dengan pendekatan yang telah dilakukan
oleh Butet selama ini. Dan media belajarnya adalah apa yang tersedia di alam
sekitar. Entah batuan, tumbuhan, ranting atau daun sekalipun.
Seorang perempuan yang gila, juga
humanis itu telah membuka mata kita. Lewat catatan hariannya itu pula seolah berujar
bahwa yang katanya pendidikan adalah hak setiap warga negara itu, ternyata belum
sepenuhnya tercover ke mereka yang hidup di hutan belantara. Seperti suku anak
rimba di Jambi. Dan itu menandakan bahwa tantangan pendidikan di Indonesia belum
bisa dikatakan baik-baik saja.
Butet dan
mereka yang jadi guru (honor) adalah martir pendidikan di Indonesia. Yang
mencoba tak banyak berkoar tapi segera bertindak agar dunia pendidikan tak
semakin timpang. Layaknya garam, mereka merawat pendidikan dan kebudayaan Indonesia.
Masuk, menyebar dan memberi manfaat kepada insan yang haus akan sebuah
pengetahuan. Meski masa depan mereka sendiri tak ada kepastian yang final. Tapi
mereka tetap terlibat, bertekad memperbaiki dan menjadi subyek akan penyelesaian
suatu problem itu sendiri. Seperti kata penyair, Aan Mansyur, “Satu-satunya jalan keluar adalah masuk.” (rif)
Komentar
Posting Komentar