Marah
Seorang filsuf kenamaan 384-322 SM, Aristoteles. Ia pernah
berkata, “siapapun bisa marah, marah itu
mudah. Tetapi, marah pada orang yang tepat dengan kadar yang sesuai, pada waktu
yang tepat, demi tujuan yang benar dan dengan cara yang baik, tidaklah mudah.”
Layaknya seorang filsuf yang cinta akan kebijaksanaan.
Aristoteles tentu merenung serius, bagaimana mengarang sebuah petuah yang pas,
menyikapi peristiwa psikologis bernama-marah. Yang tak usah ditanya lagi,
petuah itu amat bijaksana. Itu terlihat dari kalimat, “ dengan cara yang baik”.
Kita, orang awam akan risih membaca petuah itu. Mungkin juga
nggerundel dalam hati. Marah kok
dengan cara yang baik, marah ya marah saja. Saat marah, apa sempat mikir soal
metode, soal cara, soal juklak cara marah yang baik.
Sebuah esai yang ditulis oleh koran elektronik, Kompas. Pernah membahas tentang faktor
timbulnya marah. Faktor itu ada dua tipe, pertama: marah implisit (anger in) dan kedua: marah eskplisit (anger out). Perbedaan keduannya, jika
marah angger in, berarti kemarahan
itu timbul dari diri sendiri. Entah akibat depresi atau rasa benci. Sedangkan angger
out, berarti perilaku marah yang diekspresikan dengan melukai secara psikis pada orang yang
jadi sasaran. Contoh: menghina, menyepelekan atau merendahkan. Sedangkan secara
fisik, contoh: menampar, memukul menendang.
Marah memang peristiwa psikologis. Siapa orang di dunia ini
yang tak pernah marah ? siapa ? tentu jumlah itu hampir nihil, atau tak ada.
Tiap manusia yang pernah ditekan, diremehkan, dikecewakan, pasti akan naik
darah, atau marah. Selama hidup saya, saya juga pernah marah, juga pernah
dimarahi.
Kita tahu, bermacam-macam ekpresi manusia demi meluapkan
amarah. Misal mencerca dengan kata, diam seribu bahasa, merusak benda
disekitarnya, atau yang terakhir ini paling elegan dan beradab. Menurut versi
saya, yaitu melampiaskan kemarahan lewat puisi, lewat lukisan diatas kanvas.
Ialah Bambang AW, begitu sapaan akrabnya. Ia dikenal sebagai
pelukis, penulis dan dosen tamu di beberapa universitas ternama di Kota Malang.
Pria berwajah tenang dan teduh. Pria yang kerap mengenakan sarung motif batik
saat santai di rumah itu. Telah mengajarkan pada saya, jika pentingnya
mengendalikan amarah. Ia mengelola amarah jadi sebuah karya, berhulu rasa melaju
ke hilir cipta.
Bermula dari kegelisahan dan amarah yang menumpuk dalam
dirinya. Tentang pertentangan suku, agama dan ras di sekitarnya. Lalu lewat
penelitian, dan perjalanan panjang penuh amarah yang ia kendalikan. Ia lahirkan
karya puisi liris berjudul Ong Tien,
sebuah sejarah akan kisah cinta Sunan Gunung Jati dengan putri keturuan Cina,
Ong Tien. Selain lewat sastra, ia juga gemar melukis dengan genre post modern.
Dimana dalam karyanya itu, selalu ia lahirkan sebuah kritik sosial. Entah rasa
geram pada kasus korupsi, sentimen agama dan degradasi moral masyarakat kita.
Jika tak percaya, datang saja ke rumahnya, di Jalan Sumbing, Kota Malang.
Tapi kita tahu, tak semua orang mampu mengendalikan amarah seperti
yang dilakukan oleh Bambang AW. Sebab, tiap individu punya pengalaman berbeda
dalam hidupnya. Efek sosio-kultural cukup dominan membuat individu jadi gampang
marah. Apalagi sejak kecil sudah terbiasa melihat atau mendengar kedua orang
tua marah-marah. Bisa jadi, kelak dewasa ia akan jadi individu yang pemarah.
Bisa juga karena lingkungan. Baik lingkungan sekolah ataupun lingkungan kerja. Sering
bergaul dengan teman, sahabat atau rekan kerja yang pemarah. Guru yang mengajar
tanpa cinta, suasana kelas tidak bergairah dan siswa yang muak melihat muka
guru yang judes. Tugas-tugas yang tak menggugah rasa ingin tahu. Atau punya
atasan (bos), seorang pemarah dan sering melontarkan ucapan intimidatif. Itulah
yang membuat individu berpotensi jadi
pemarah. Selain faktor genetika, juga kondisi sosio-kultural.
Marah memang perbuatan yang tak salah. Apalagi tujuannya
benar atau mendidik. Namun, tetap saja marah bukan perbuatan yang terpuji.
Sebab, marah adalah proses pelampiasan. Bukan pengendalian. Bukankah setiap
agama mengajarkan bagaimana mengendalikan. Bukan bagaimana melampiaskan. “islam itu mengendalikan, bukan melampiaskan”
kata Cak Nun kepada Jamaah Maiyah.
Saya sendiri sepakat, jika jauh lebih baik itu
mengendalikan. Daripada melampiaskan. Apalagi jika konteksnya marah. Saya juga
yakin, seseorang yang habis marah, pasti ia akan merasakan penyesalan dalam
diri. Semacam ada yang berkata dalam hati. Kenapa
harus marah ya. Coba saja, setelah marah-marah, kita menyendiri, pejamkan
mata dan hempaskan nafas. Lalu tarik nafas lagi. Niscaya hati nurani kalian
akan terketuk dan menyesali kemarahan itu.
Sayangnya, sebagian dari kita tak sudi lakukan hal itu.
Mungkin alasannya sederhana, kemarahan itu hal wajar. Dan itu simbol ketegasan.
Apalagi merasa seorang yang kita marahi, pantas menerimanya. Tapi entah sadar
atau tidak, jika marah-marah itu sering dan terus terpola. Apalagi jadi sebuah
kebiasaan. Lambat laun, jiwa kita akan sakit. Kita tak lagi peduli sekitar,
kita jadi arogan, angkuh dan tumbuh sifat sok besar pada diri kita. Dan semua
itu akan menjerumuskan kita pada muara yang Bernama penyakit hati. Melakukan
hal apapun jadi tidak khusyuk, aura diri jadi membuat sekeliling tak nyaman. Cepat puas diri dan merasa paling
wah. Ini bukan sebuah rekayasa kata.
Saya pernah mengalaminya. Begitu pun kalian.
Saya sering penasaran, dengan yang namanya marah. “Bagaimana cara mengendalikannya ? ini pasti
perlu latihan” gumam saya dalam hati.
Dan setelah saya mencari. Akhirnya menemukan alternatif
meski subjektif tentang bagaimana mengendalikan amarah. Ialah lewat seni. Melalui
seni, kita bisa ekspresikan emosi dan pikiran kita. Entah lewat seni lukis,
tulis, musik, peran dan tari. Seperti
apa yang dilakukan Bambang AW. Ia luapkan apa yang ia rasa lewat seni. Seni
selalu menjadi medium atas kerunyaman sebuah perasaan atau emosi. Itu sebab
mengapa, seni selalu mengedepankan perasaan dalam pencariannya. Ia jadi obat,
atas jiwa yang sakit karena dikepung amarah. Bahkan dendam.
Saya, jika sedang naik darah. Mencoba habiskan waktu sendiri sejenak. Lalu, sebisa mungkin menulis apapun yang sedang saya rasakan. Ya seperti menulis di catatan blog ini. Atau baca buku fiksi atau biografi. Biasanya rada menurun itu darah saya. Lebih cepat makan mentimun. hehehe.
Saya, jika sedang naik darah. Mencoba habiskan waktu sendiri sejenak. Lalu, sebisa mungkin menulis apapun yang sedang saya rasakan. Ya seperti menulis di catatan blog ini. Atau baca buku fiksi atau biografi. Biasanya rada menurun itu darah saya. Lebih cepat makan mentimun. hehehe.
Bicara karya dan amarah. Berapa banyak karya besar yang lahir dari
guncangan-guncangan dahsyat dalam diri seorang seniman. Yang justru lahir
karena amarah yang dikendalikan. Seperti lagu Di udara, Efek Rumah Kaca.
Seperti lukisan self potrait, Frida
Kahlo. Seperti puisi, Sajak Sebatang
Lisong, WS. Rendra dan karya tetralogi dari Pramoedya Ananta Toer ketika
mendekam di penjara, Pulau Buru. Mereka semua mengendalikan amarah itu, yang tak serampangan,
lalu dilampiaskan dengan cara tak beradap. Seperti: memukul, memaki atau
meremehkan secara langsung. Justru lewat proses hening, mereka mengendalikan
perasaan, emosi dan pikiran jadi sebuah hal yang indah yaitu karya.
Jadi, mereka yang gampang sekali marah, sensitif dan suka
melontarkan kalimat intimidatif. Biasanya manusia yang tak tertarik dengan
seni. Itu bisa anda cek dengan bertanya. “berapa
banyak koleksi buku sastramu ? atau berapa banyak lukisan dan benda seni yang
kamu koleksi di rumah?”. Jika mereka jawab dengan kata tanya “kenapa” atau “tak banyak”. Sudah, sebaiknya engkau belikan dia, dua buku sastra atau koleksi benda seni, agar ia
belajar mensucikan. Atau sebaliknya, kamu yang kena semprot najis, atau amarah dari dia.
Meminjam kata-kata J.F Kennedy,
Presiden Amerika Serikat itu. “ Jika politik
itu kotor, maka puisi akan membersihkannya”. Maka akan sedikit saya gubah jadi. “jika amarah itu najis, maka seni mensucikannya”.
(rif)
seni itu mencakup semua, baiklah. terimakasih.
BalasHapus