Lalu Lintas
Lelaki berusia 65 tahun, duduk di depan saya. Satu meja
makan, tetapi jenis makanan yang dimakan berbeda antara saya dengan lelaki
itu. Dia makan kerang hijau yang sudah diolah, lalu sup, nasi putih dan minuman
sirup yang ditambah irisan buah blewah. Seperti biasa, saya makan nasi goreng
dan minum infuse water (air putih yang dicelup lemon).
Lelaki berusia 65 tahun itu bukan orang asing. Justru dia
orang penting. Meski penting dalam konteks yang terikat, yaitu orang penting di
lembaga tempat saya bekerja. Sebab, ia adalah seorang HRD. Momen makan satu
meja itu sebenarnya juga tak sengaja. Saya sudah duduk di meja makan lebih
dulu. Kemudian lelaki itu menyusul dan memilih duduk di depan saya, juga satu
meja.
“Gimana tadi kegiatan
trainingnya ?” tanya Dia
“Ya, bagus Pak. Kita
dapat materi baru tentang Value Chain Analysis. Selain itu juga tips
berkomunikasi non verbal ke sasaran program” jawab saya
“Oh, ya bagus kalau
begitu. Apa yang sudah didapatkan di Trenggalek, bisa kamu maksimalkan nanti di
Jayapura ya. Apalagi ini kan training pengayaan bagi kamu dan tim” Ujar
lelaki yang pernah bekerja di Exxon Mobile itu.
“Kami usahakan, Pak.”
Pungkas saya.
Kami berdua lanjut santap makanan yang ada di piring
masing-masing. Saya makan selesai lebih dulu dari pada sang HRD. Saya merasa
tak pantas dan tak elok, jika langsung meninggalkan sendirian seorag HRD di
meja makan sendirian. Saya tunggu, hingga ia selesai dengan santapan siangnya,
lalu meminum es sirup berisi irisan blewah di gelasnya itu.
Belum sampai habis minuman es itu, ia mencurhatkan keluh
kesahnya mengenai kemacetan dan problem berlalu lintas. Memang ini diluar
pekerjaan, dan saya menduga juga sekedar obrolan ringan.
“ Saya tadi baru saja
sampai sini, diluar itu macet sekali. Sudah sama dengan Jakarta.” Keluhnya.
“oh, iyakah Pak ?”
tanya saya sok polos
“Kalau macet itu bagi saya
biasa, karena ruas jalan tetap dan jumlah kendaraan bertambah. Tapi yang jadi
perhatian saya itu cara manusia berlalu lintas atau berkendara. menyalip dari
kanan-kiri, bunyi klakson sana-sini, trotoar diterjang saja dan ada juga yang
melewati garis zebra cross. Risih saja melihatnya” ungkap HRD saya
Lebih lanjut dia juga menjelaskan, “ cara manusia berlalu lintas itu menunjukkan kepribadian manusia itu
sendiri secara tak langsung. Bahkan lebih dari itu.”
“lebih dari itu
seperti apa Pak?” tanya saya cukup penasaran
Dia pun menjawab pertanyaan spontan saya, “ini perspektif saya
ya, saya hubungkan tata krama berlalu lintas dengan ajaran keyakinan saya,
yaitu Islam. Hubungan itu terletak dimana ? yaitu di aturan. Islam kan
mengajarkan juga bagaimana kita harus menjadi hamba yang taat dengan aturan
supaya hidup kita selamat dunia-akhirat. Belum lagi nilai tentang etika,
kesabaran dan kepatuhan. Nah apa yang saya lihat di jalan tadi itu sama sekali
tidak melambangkan ketaatan berlalu lintas. Lalu muncul pertanyaan, taat
berlalu lintas dan taat beragama kan dua hal yang berbeda ?”
Jeda sebentar, ia meminum es sirup blewah itu. Kemudian ia
lanjutkan penjelasan mengenai lalu lintas dan agama yang sempat terjeda.
“ Nah saya ulangi ya,
Rian. Lalu muncul pertanyaan, taat berlalu lintas dan taat beragama kan satu
hal yang berbeda. Apakah berdosa jika melanggar aturan lalu lintas ?Begini menurut saya: bukan dosa tapi sanksi. Nah dosa itu kan sanksi dari Tuhan. Sedangkan sanksi melanggar lalu lintas itu ya hukuman. Karena bila kita melanggar aturan lalu lintas itu bisa merugikan diri sendiri dan orang lain. Jadi orang itu sering salah, karena memisah-misahkan. Antara aturan akhirat dan dunia. ya, Kalau kita sudah terbiasa taat dengan aturan
beragama. Otomatis, kita taat juga terhadap aturan yang lainnya. Termasuk
sebuah aturan atau hukum di dunia. Karena kita tahu aturan itu baik untuk
kehidupan dan keselamatan semua. Islam itu kan nilai yang universal.” Jelas dia.
“iya, Pak”
jawab saya sambil mengangguk kepala
“contoh paling simpel,
antri saat lampu traffic light berwarna merah. Mobil yang datang dulu ya di
depan, lainnya mengikuti ke belakang. Tidak asal serobot saja. Itu kan sama
dengan orang mau sholat. Kalau datang belakang yang baris di belakang. Baru kalau ada yang kosong diisi. Lurus dengan shaf. tidak mencak-mencak. Seperti kendaraan juga begitu, datang belakang ya antri, bukannya malah menerobos garis parka jalan bahkan zebra cross. Seharusnya nilai-nilai Islam itu bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam hal paling sederhana sekalipun.” Ungkap Pak HRD
“ iya juga sih,
Pak” respon saya dengan mata melihat ke arah kiri atas. Seolah memikirkan
perkataan tersebut.
“Melihat kesemrawutan
manusia berlalu lintas, itu bisa jadi representasi cara ia mengimani suatu
keyakinan dan memahami nilai religiusitas” pungkas HRD, yang juga ketua
Ta’mir Masjid di kompleks perumahannya itu.
Lelaki itu menumpuk piring-piring yang telah ia gunakan
untuk menyantap makanannya. Lalu saya minum tegukan terakhir infuse water
yang telah saya pesan. Kami pun beranjak dari kursi dan meja makan tersebut.
Saya melanjutkan training VCA. Dia menuju ke mushola. Kami berpisah melanjutkan
kepentingan masing-masing. (rif)
Komentar
Posting Komentar