Tempe
Berkat pilpres, tempe menjadi primadona dan menghiasai
timeline di berbagai media sosial, bahkan jadi berita trending di berbagai media
cetak dan elektronik di Indonesia. Tempe
setipis ATM. Mungkin sekilas terdengar lucu, sebuah pernyataan yang dilontarkan
oleh cawapres nomer urut dua itu: Sandi Uno.
Masak ada tempe
setipis ATM ? untuk jawaban seperti ini, sebenarnya tak perlu dijawab atau
direspon oleh pakar politik, begitu juga politikus. Justru biarkan saja anak
kelas 5 atau 6 SD yang menjawab pernyataan dari seseorang cawapres tersebut.
Ya, meski sebenarnya kebanyakan orang juga tahu, apa yang dilontarkan oleh
Sandi Uno adalah ucapan konyol yang
bertujuan memancing media supaya pernyataan tersebut diangkat media, dan bisa
viral. Kalau sudah viral ? ya apalagi kalau bukan dompleng suara dia bersama pasangannya. Bahasa politiknya:
elektabilitas.
Drama belum usai, pernyataan konyol seorang cawapres juga
direspon oleh incumbent. Sang incumbent sesuai gayanya, demi menjawab
pernyataan itu, ia menyatroni
pasar-pasar tradisional dengan alasan cek harga pasar. Nah, disini letak
dramanya. Incumbent memegang tempe, kemudian dengan kebiasannya berbicara
menyimbol, ia mengucapkan, “ besar ya tempenya, besar ini” celetuk sang
incumbent. Usai berbicara seperti itu, terdengar suara begijisan dari pedagang dan wartawan. Apa makna begijisan para pedagang dan wartawan itu
? ya entahlah.
Yang jelas, isu menuju pilpres kali ini sangat tidak
subtantif. Apa iya, pertarungan pilpres menguliti isu harga tempe. Padahal urusan
tempe itu bisa tuntas di tingkat organisasi terkecil: keluarga. Eh, ini malah moncer
di tingkat organisasi besar, yaitu negara. Ya, tetapi juga tidak apa-apa. Hal
itu sah-sah saja, meski kalau bahasa Jawanya juga, nggilani jika diterus-teruskan. Apakah iya, isu ketidakadilan
hukum, hak asasi manusia, ketimpangan pendidikan, health care, pelecehan
terhadap perempuan dianggap nomer sekian oleh para capres dan cawapres tersebut
?
Apakah tidak ada kesungguhan, dengan merebut atau
mempertahankan kekuasaan. Kasus penyiraman air keras pada Novel Baswedan bisa
terungkap, TPF Munir kembali ditindaklanjuti, Kebijakan honorarium guru non ASN
diperbaiki, atau biaya kesehatan keluarga kurang mampu termanajemen dengan
baik ?
apakah isu-isu seperti ini
dipandang tidak lebih perlu dari sebuah tempe ? jika lebih penting tempe, ya
mungkin ini bisa disebut sebagai sebuah drama-lawakan yang jauh lebih lucu dari
lawakan senior saya, ketika konteksnya berhubungan dengan tempe.
Ceritanya, waktu itu, kami sedang ada pekerjaan di luar
kota. Tepatnya di Kabupaten Blitar. Selesai kegiatan workshop kewirausahaan,
kami berempat langsung menuju ke guest house yang terletak di Kota
Blitar. Seusai mandi, makan dan sholat. Kami berempat bersantai di depan layar
kaca televisi yang sudah disediakan di guest house tersebut. Sambil merokok dan
ngemil. Ketiga senior saya yang
kebetulan juga seorang wirausahawan itu. Mereka saling bercerita masing-masing.
Satu bercerita, lainnya mendengarkan. Dilakukan secara bergilir oleh ketiga senior
saya.
Ketiga senior saya itu usahanya berbeda semua. Usia mereka
lima tahun diatas saya. Mas Nu; pengusaha boneka kayu. Mas Ru; pengusaha sayur sawi hidpronik dan terakhir Mas
Za; pengusaha keripik tempe. Semua bermula dari Mas Nu, ketika ia bercerita
yang isinya berkeluh kesah tentang ditunjuknya dia sebagai juri seleksi
Paskibraka.
Mas Nu bercerita, “Aku
iki serba salah, tahu to aku iki jadi juri gawe seleksi siswa SMA-MA
Se-Kabupaten Trenggalek gawe Paskibraka Kabupaten Nggalek.”
Mas Ru segera menyahut, “
iyo terus lapo?”
Mas Nu, “Sek to kowe
wi nyauut ae to, wong rung mari ngomong kok”
Mas Ru dan Mas Za, cekikikan. Dan saya otomatis juga ikut
cekikikan.
Mas Ru menyahut kembali, “ iyo wes lanjutno sek lee, lanjooott”
Mas Za ikut menimpali, “
iyo Kek, wes lanjutnoo, lanjut..”
Mas Nu kembali menceritakan, “ngne.. pas aku dadi juri, murid sing melu seleksi teko sekolahku cuma lolos
dua anak. Lah, sampek sekolahan aku disindir karo kepala sekolah.
Jarene, “ kok kebacut,
murid dewe gak dilolosne seleksi,kok cuma dua anak, padahal lek lolos kan
sekolah yo oleh nama”. Wis kerungu omongan iku aku langsung panas kupingku.
Cerita terpotong sekejap, karena Mas Nu mengisap rokok yang terjepit diantara
jari telunjuk dan jari tengahnya itu.
Kemudian ia melanjutkan cerita, “ Lah kerungu kepala sekolah ngomong ngnu, aku langsung ngadek. Padahal
posisiku sakdurunge ki lungguh nang ruang kantor. Terus aku omong karo ngadek,
“maksdte sampean pripun,Pak. Kulo niku juri nggih kepingin profesional. Lek
pancen lare-lare mboten saget lolos yo brarti kudu belajar maleh”. Lah malah
kepala sekolahe ora ngganceng, langsung klebas metu ruangan. Wah mangkel banget
aku. Sampe kanca guruku ngelungguhne aku”.
Mas Ru merespon dan terlihat raut wajah penuh tanya, “ terus
kepriye wi lee, jan kendel kowe lee. Pemimpin tenan” ujarnya lalu tertawa
Mas Nu menjawab dan melanjutkan ceritannya, “ matamu wi. Yo terus akhire biasa wae. Wes
apal karo kelakuanku kepala sekolahe. Lah malah luweh ngisinke iki, pas wes
latihan paskibraka. Aku oleh kabar teko pelatihe. Yo muridku bocah loro sing
lolos iku mau pengen mengundurkan diri.
Nah piye we ? pora
nggapleki cah-cah iki. Wes ora kakean ruwet aku. Bocah loro iku mau tak kon
nang omahku. Terus tak takoki, nyapo awakm kabeh kok kepingin mengundurkan
diri ? gawe isin aku lan sekolahan
wae. Bocah paskibraka ki kudu sing tatag, ojo ngalem. Bocah kok mental-mental
tempe”.
Spontan dan tak pernah terpikirkan sebelumnya, Mas Za
nyeletuk, “ Bih bakne ngnu ya, tempe ki
barang sing rendah biaangeett yo” sambil kepalanya mengangguk-angguk.
Mendengar kalimat yang terlontar spontan dari Mas Za,
seorang Mas Nu langsung mengklarifikasi maksud perkataan mental tempe tersebut.
“ eh, yo bukane ngnu Za, maksudku ki
orang pingin menyinggung dirimu sing dadi pengusaha keripik tempe. Ki
perumpamaan lo, perumpamaan..gak enek maksud” jelas Mas Nu terbata-bata dan
tangan kanannya mengelus-elus pundak Mas Za.
Mas Za kembali menyahut, “ iyo, iyo gakpopo. Aku yo ngerti, aku mek guyon dan memastikan ae”
lalu tertawa.
Mas Nu pun masih membela diri. “ yo ngne lo Mas Za, mosok aku arep omong nang ngarepe muridku; wo….mental-mental
daging, utowo wo… mental-mental sawi, iku gakpenak ngnu lo. Yo sing pas mental
tempe.” Jelasnya lalu sedikit
tertawa.
Saya dan Mas Ru hanya bisa tertawa terpingkal-pingkal.
Mendengar dan melihat drama mereka berdua. Saya dan Mas Ru langsung jadi saksi
atas peristiwa mispersepsi dan kecerobohan sebuah kata-kata yang terlontar
tidak pada tempatnya itu.
Menyoal “tempe”, memang sudah seharusnya tak perlu menjadi
isu nasional seperti yang dilakukan oleh para calon penguasa. Apalagi
terlalu disikapi serius. Orang seperti Mas Nu dan Mas Za aja bahas “mental tempe” yang mau
berpotensi jadi konflik, akhirnya malah jadi bahan guyonan bagi saya dan Mas Ru.
Lalu, apakah mau, kedua calon
penguasa dianggap seperti Mas Nu dan Mas Za, mengangkat isu “tempe” lalu malah
jadi bahan lawakan rakyat ? lah pilpres
ini kontes memilih pemimpin atau pelawak, kalau isu yang dilempar jadi bahan
lawakan belaka. (rif)
Komentar
Posting Komentar