Sarehan
Seorang perempuan berumur setengah abad lebih. Ia pernah
melontarkan kalimat mengejutkan pada saya. “
dirimu kok berani datang ke sarehan ?” Sarehan adalah kuburan atau tempat
pemakaman umum.
Mendengar celetukan tersebut, saya pun tersenyum pada
perempuan itu. Lalu saya jawab pertanyaan cukup aneh itu.
“ kenapa harus takut, kalau
ke sarehan kan tujuan kita baik. Mendoakan orang yang kita hormati dan cintai.
Sampean memangnya tidak berani pergi ke sarehan
?” Jawab saya pada perempuan itu.
Perempuan yang juga seorang pensiunan guru SD itu, merespon
lagi pertanyaan saya. “Iyo. Aku tidak
berani kesana. Karena setiap aku lewat depan sarehan pasti terbesit pikiran
buruk dan ketakutan sendiri. Seperti mengingatkan; bagaimana kelak jika aku
meninggal”
“hmmm…… ” gumam
saya.
“Tapi kata teman saya
yang pernah ngaji di pesantren. Salah seorang pengasuh pesantren pernah
mengatakan pada teman saya, jika sebenarnya sarehan itu tempat yang suci. Tidak
perlu ditakuti. Karena sebelum dikubur, jasad itu dimandikan dan disholati” jelas saya lagi pada perempuan itu.
“ Embuh wedi ae
pokok.e” pungkas si perempuan.
Perempuan itu adalah kakak kandung ibu saya. Dalam budaya
kami, saya memanggilnya: Bude. Bagi saya, Bude adalah sosok penyabar, tidak
cerewet dan tenang. Saya menganggap Bude seperti perempuan baik hati yang kesepian.
Bagaimana tidak, mulai sepeninggalan suaminya. Ia harus hidup sendiri. Sepi.
Kedua anaknya tinggal di kota. Bude tergolong orang yang
takut dengan kesendirian. Jadi untuk mensiasati ketakutan itu. Bude membayar
bulanan pada seorang perempuan lanjut usia, usianya 70 tahunan. Seingat saya nama nenek itu adalah Mbah Nem.
Rumah nenek yang menemani Bude hanya beda RW. Dan hanya Mbah Nem yang bisa
membuat nyaman bude hingga tertidur pulas.
Setelah suami tercinta meninggal
dunia. Dan setelah bude pensiun dari profesinya sebagai guru SD.
Aktivitas Bude setiap pagi, hampir sama dengan sosok ibu-ibu
lainnya: Belanja sayur, senam, mencuci pakaian sendiri, memasak, menonton
televisi dan berbincang dengan tetangga sebelah rumah. Menjelang waktu magrib,
Mbah Nem sudah datang ke rumah Bude untuk melakukan tugas rutinan: menemani Bude
melupakan kesendirian. Juga menjaga tidurnya.
Tak jarang, sewaktu saya masih duduk dibangku SMP. Setiap
malam minggu, bersama teman-teman se-umuran saya. Saya mengajak mereka untuk cangkruk di rumah Bude. Bahkan juga
tidur sana. Ya, maklum kan malam minggu. Setiap malam minggu, saya dan
teman-teman selalu mengagendakan itu: tidur di rumah Bude.
Setiap malam minggu, wajah Bude selalu sumringah. Tak
jarang, tiap malam minggu Bude menelepon saya, seperti alarm pengingat bagi
saya: “He! waktunya menemani Bude”.
Bude tidak banyak bicara, jadi meski saya dan teman-teman bicara ngalor-ngidul. Bude tidak merespon.
Tidak ikut nimbrung. Tapi dari wajahnya terlihat sekali bahwa dia bahagia. Ia
menyuguhkan apapun yang bisa dimakan oleh kami. Entah jajan, nasi pecel, pisang
goreng, tempe goreng dan othe-othe. Hal Itu yang selalu ditunggu oleh teman
saya saat cangkruk malam minggu di
rumah Bude. Rumahnya jadi ramai. Bude senang. Kami kenyang.
Bude memang tenang orangnya. Tapi hal itu justru berbahaya.
Dibalik ketenangan seorang Ibu, selalu menyimpan pesan lain yang tak mudah
dipecahkan. Bude adalah sosok ibu yang punya harapan lain. Punya ekspektasi
sederhana, yang dipandang rumit oleh anak-anaknya.
Bude mempunyai mimpi, disuatu kelak masa pensiun, ia bisa bersantai
lalu membelai dan bercanda dengan cucu dan
anaknya. Ia ingin kehangatan, kebercandaan dan kebersamaan yang datang dari
keluarga kecilnya. Ia ingin diwaktu pensiunnya tidak sendirian, ada anak dan
cucu yang selalu menemani setiap hari.
Namun, Tuhan berkehendak lain. Kedua anaknya jauh dari
rumah. Satu hidup di luar kota; Surabaya. Satunya lagi hidup di Palembang.
Seperti kebanyakan orang tua yang tak pernah mau diajak berpindah ke salah satu
rumah anaknya. Bude juga mengalami fase seperti itu. Ia merasa tidak nyaman jika tinggal di rumah
anak, ia masih nyaman tinggal di rumah sendiri.
Maka kedua anaknya tak kurang akal. Diambil jalan tengah:
tiga bulan sekali, Bude diajak ke Surabaya untuk menginap beberapa minggu di
rumah anak pertamanya itu. Lalu dalam setahun sekali, berganti diajak ke
Palembang oleh si anak keduannya itu.
Tapi, setiap singgah di rumah kedua anaknya itu, Bude tetap
saja tak merasa nyaman, malah ingin pulang ke Nganjuk. Dan tiba di Nganjuk,
Bude ingin ke rumah anak-anaknya. Bude jadi orang tua yang rewel, layaknya
anak-anak. Kedua anaknya pun gregetan
dengan sikap ibunya sendiri. Mungkin kedua anaknya tidak marah, hanya belum
terbiasa dengan perubahan sikap ibunya yang menjadi kekanak-kanakan.
Pernah suatu ketika terbesit dari anak pertamanya yang
tinggal di Surabaya. Ia mau kembali menemani Bude dan tinggal di Nganjuk. Namun
setelah berbagai pertimbangan. Akhirnya si anak pertama ini mengurungkan
niatnya. Dengan alasan: pekerjaan. Karena suaminya nanti akan kesulitan mencari
pekerjaan baru di usia yang sudah tak lagi muda. Dan tentu, akan memulai dari awal jika bekerja di Nganjuk. Dan itu fase yang tak mudah, apalagi jika sang
anak pula sudah beranjak dewasa.
Hingga mau tidak mau, rotasi hidup tetap berjalan sama. Bude
yang harus kesana-kemari, jika sedang rindu dengan kedua anak dan cucunya. Dan….Bude,
ia tetap jadi perempuan yang takut dengan sarehan. Bude tetap tidak berani datang
ke sarehan. Entah beramai dengan
keluarga, apalagi sendirian. Sedangkan untuk menabur bunga di makam suaminya, Bude
juga tak berani. Ia kadang meminta tolong saya atau ibu saya, untuk menaburkan
bunga di atas makam suaminya itu. Meski begitu, saya yakin Bude tetap istiqomah
mendoakan sanak keluarga yang telah meninggal, termasuk suaminya.
Bude adalah wujud kepekatan manusia. Dimana tercabik-cabik
dengan harapannya sendiri. Sarehan jadi
medium penyampai pesan sederhana pada sekelilingnya, jika ternyata ada manusia
yang mengalami hal seperti itu: tak berani ke tempat pemakaman. Hal itu tentu bukan
tanpa sebab.
Bude juga wujud kemurnian cinta yang tak terbantahkan. Di
akhir hayatnya sebelum ia meninggal. Ia tiba saja ngebet ingin pergi ke Palembang. Belum juga sampai di rumah sang anak, ia
drop, kondisi tubuh perempuan kesepian itu lemah. Lalu dibawa ia ke rumah sakit terdekat. Di
sana, Bude menghembuskan nafas terakhirnya. Di rentan waktu yang pilu: seorang ibu yang melepas nafas terakhir demi
bertemu anaknya.
Tiba waktunya, Bude jadi martir akan ketidakberaniannya
sendiri. Ia berubah 180 derajat. Ia menaklukkan ketakutan itu. Ia menghadap:
diam, sederhana dan pasrah. Ia telah purna dari impian-impian semu di dunia. Ia
bertemu suami, lengkap dengan kakek dan juga nenek saya. Bude telah menyeberang
ke keadaaan yang lebih pasti. Bude menyeberang lewat jembatan yang bernama Sarehan. (rif)
Adalah tulisan favku...
BalasHapushihihi...makasih,Pop. :D
HapusIf you're attempting to lose kilograms then you absolutely need to jump on this totally brand new custom keto plan.
BalasHapusTo produce this keto diet service, licensed nutritionists, fitness trainers, and top chefs have joined together to develop keto meal plans that are efficient, suitable, cost-efficient, and delicious.
Since their launch in 2019, 1000's of people have already completely transformed their figure and well-being with the benefits a certified keto plan can offer.
Speaking of benefits: clicking this link, you'll discover 8 scientifically-tested ones provided by the keto plan.