Tirakat Rasan-rasan
Orang-orang yang berlalu-lalang di sepanjang jalan tak seramai malam Minggu,
batin saya. Di saat bersamaan, saya sedang duduk sekaligus ngobrol
santai dengan istri di sebuah angkringan yang lokasinya dekat kantor BCA
Syariah Yogyakarta. Yang hanya beberapa ratus meter dari pintu masuk Stasiun
Tugu Yogyakarta–khusus penumpang kereta jarak jauh—tema obrolan kami adalah rasan-rasan soal teh tubruk dan gudeg
yang kami makan kemarin malam. Menurut saya bumbu gudegnya enak, kental, dan
manisnya juga pas. Istri saya pun merasakan hal yang sama. Sedangkan soal teh
tubruknya, ehm, juaraaaa ! rasa tehnya sangat natural. Saya pikir ini soal
penyajiannya, alih alih dicelup, remahan tangkai daun teh itu dihamburkan
langsung ke gelas yang berisi air panas. Saking
penasaran dan ingin mengulangi meminum teh tubruk tersebut, istri saya
memberanikan diri untuk membeli bahan teh tubruk ke penjual gudeg. Dan,
anehnya, penjual gudeg mengiyakan permintaaan istri saya itu—mungkin penjualnya
memang orang awehan.
Di saat kami rasan-rasan dan
menikmati makanan khas angkringan, saya buka ponsel dan melihat ada pesan
Whatsapp dari Gino—teman saya waktu kuliah di Surabaya dan saat ini bekerja di
Yogya—yang belum terbaca.
"Nandi, ngopi ta ?" tulisnya di Whatsapp.
Tak perlu tunggu waktu lama, saya segera balas pesan itu, "ayok
wes, gas ! Aku di angkringan sama istriku, lokasinya depan kantor BCA
Syariah" kemudian saya kirim lokasi di mana saya berada.
Seingat saya, tak sampai setengah jam Gino dan pacarnya sudah sampai di
angkringan. Sebenarnya pertemuan saya dengan Gino—dan pacarnya itu—sudah dari
kemarin. Sebab begitu sampai di Yogya, saya seketika memberi kabar ke Gino.
Akan tetapi pada malam Minggu itu mereka tak bisa berlama-lama menemani kami
jalan-jalan di sekitaran Tugu Yogya. Mereka berdua memang sedang sibuk dengan
pekerjaan, katanya. Tentu, sebagai teman yang baik semestinya saya tak boleh
egois memaksa mereka hanya untuk menemani cangkrukan.
Begitu tiba di angkringan, Gino dan Ana langsung memesan Kopi Jos—Kopi
dicampur arang—dan sundukan sate usus
serta telur puyuh. “Sepurane wingi gak isok ngancani full.” Kata Gino setelah
kami saling bersalaman. “Santai ae,Pak, sing penting saiki kan iso.” Jawab saya.
Sebagaimana pertemuan dengan teman lama, berbincangan malam itu lebih
banyak berisi rasan-rasan bertema
nostalgik. Saat itu kami ngerasani
dosen-dosen yang absurd semasa kami kuliah di Surabaya, mengulangi
cerita-cerita program workshop yang pernah kami garap, dan tentunya juga mengulik
kisah percintaan teman sekelas dulu—hal-hal yang kami ceritakan ulang adalah
kejadian konyol dan bernuansa humor.
Selain itu, dalam obrolan yang semakin hangat, kami mengabsen kabar
teman-teman akrab semasa kuliah: sekarang dimana, sudah nikah apa belum,
pekerjaan atau aktivitas sehari-harinya apa, dsb. Kami mengabsen tidak dalam
bentuk telepon atau pesan Whatsapp—tapi ngerasani.
“Eh, arek kae nandi yo ?”
“Eh, kae sidone kerjo nandi yo?”
“Wah lek bocah iku mbanyol tur edan pancene !”
Pertanyaan ataupun pernyataan macam begitu selalu jadi pembuka sebuah rasan-rasan agar lebih mengalir.
Saya masih ingat, yang paling membuat kami berempat tertawa terpingkal-pingkal
adalah cerita tentang Hasmi yang setengah tertidur di kursi ketika diajar mata
kuliah Filsafat Seni. Dosen sampai mendekat ke tempat ia duduk dan berkata, “
Mas, diulang kok lunggohmu koyok wong numpak bus ngene, Mas ! sana cuci muka !”
Seketika Hasmi beranjak dari tempat duduk dan ijin ke kamar kecil. Jika saya
ingat-ingat Hasmi memang mahasiswa kranjingan,
dosen mengajar serius, eh, dia malah duduk dengan posisi glembosi—kepalanya bersender pada punggung kursi dan badannya setengah
tertidur.
Lelah tertawa akibat kelakuan Hasmi, tiba-tiba Ana menceritakan teman
akrabnya yang menghilang dan tak bisa ia dihubungi—semua kontak telepon dan akun
media sosialnya diblokir—sehingga Ana tidak bisa menghubungi teman akrabnya
itu. Ana mengaku merasa kehilangan tanpa sebab. Ia hanya ingin minta maaf jika pernah
bersalah kepada teman akrabnya itu. Tetapi semenjak lulus kuliah hingga
sekarang harapan Ana tak pernah terwujud, dan pelan-pelan ia mengikhlaskan
teman akrab yang kelewat kental itu lenyap dari hidupnya.
"Jika berteman jangan terlalu akrab, sebab hal itu kerap
berpotensi melukai diri sendiri" ucapnya lirih kepada kami bertiga.
Ana pun mengaku jika keberadaannya di Yogja, saat ini, cukup membuat ia
belajar untuk berfokus pada apa yang terbaik untuk dirinya dan keluarga. Hampir
separo harinya banyak dijalani di kampus untuk bekerja, dan separonya lagi
dinikmati bersama kekasihnya, Si Gino itu—inshallah
bulan Maret mereka berdua lamaran.
Saat saya tanyai hari-hari mereka diisi apa saja ?
Ana menjawab, "Apa ya, paling ngopi, kulineran, ngobrol dan beli
makan bareng." Mendengar Ana berkata seperti itu, Gino pun menyahut sinis,
"iku pun lek aku gelem yo."
Mendengar sahutan Gino, kami pun turut tertawa.
Selang beberapa menit obrolan berganti menyudutkan saya. Sebabnya sederhana,
istri saya menjawab dengan jujur atas pertanyaan dari Gino
"Tadi pagi kalian sudah kemana saja ? Jadi ke Kaliurang untuk menikmati
Kopi Klotok?" Tanya Gino.
"Mas, kita lo gak kemana-mana, bangun kesiangan lalu cuma pergi ke
Museum Seni Pak Affandi, yang di depan UIN Sunan Kalijaga itu." jawab
Istri saya. “Waduh, Gino meniupkan api harapan yang sempat tertidur dalam diri
istriku ini, karena belum sempat jalan-jalan ke Kopi Klotok.” Batin saya.
Gino mengejar lagi, dan melempar pertanyaan lagi, “ Kenapa hanya ke
situ ? Apa tidak ingin singgah ke Tamansari ?”
Tak butuh jeda lama, istri saya
langsung menjawab pertanyaan Gino. "Lah iku, Mas ! aku ya ingin ke
Tamansari, tapi Mas Prapto tak mau ke sana. Aneh emang orang itu"
Saya mengerti ini keadaan sedang genting versi karepe istri. Saya pun segera merespon jawaban istri, " begini
lo, bukannya aku tidak mau tapi kalau kita ke Tamansari itu kejauhan, belum
lagi capek di perjalanan, ingat lo, tujuan kita ke Yogya bukan cari capek, tapi
refreshing dan kebahagiaan"
Gino, Ana dan istri saya kompak mengumpat berjamaah ke muka saya,
"Halah Entut !"
Lalu kami semua tertawa bersama.
Tapi saya yakin, istri saya tak akan marah bila karepnya belum tercapai, karena selama tiga tahun pacaran saya tahu
ia dewasa menyikapi keinginan yang tak kesampaian. Salah satu sifat yang
membuat saya mencintainya, meski belum setengah mati, setidaknya sudah tiga
perempat mati.
Semasa kuliah saya banyak
dibantu oleh Ana dan Gino. Ana banyak membantu saya di bidang akademik,
sedangkan Gino kebalikannya, non akademik. Ana kerap menjadi teman diskusi saya
ketika membahas materi-materi perkuliahan. Sedangkan Gino menemani saya dalam
berproses di organisasi mahasiswa.
Setelah lulus kuliah kami jarang bertemu. Bahkan untuk saling komen dan
menekan tombol like di media sosial pun tak kami lakukan. Padahal, saya cukup
yakin, jika foto dan cuitan yang kami upload pasti saling keluar di timeline
media sosial masing-masing. Sayangnya, diantara kita sudah tak saling peduli
atau sekedar berkata dalam hati, "ohh dia."
Tapi, rasa-rasanya semua itu menjadi liyan. Hal itu terbukti ketika kami bertemu dan berbincang
sana-sini di sebuah tempat sederhana macam angkringan. Rasanya seperti lepas,
tidak ada kekhawatiran, ataupun kecurigaan yang tidak-tidak. Semua sungguh
mengalir dan mengasyikan.
Tapi hanya satu yang membuat saya agak mengganjal, dan agaknya hal itu
tak sepatutnya diutarakan oleh seorang Ana. Ia ngerasani teman ceweknya yang kerap
mengumbar kemesraan dengan lelaki lain. Padahal teman ceweknya ini sudah
menikah. Saya yang mendengarnya saja sudah risih—bagi saya kabar buruk membawa dampak buruk.
"Si M itu sekarang jadi ganjen lo, Rek. Padahal sudah punya suami
tapi tetep saja video call-an terus
sama lelaki lain" ucap Ana ke kami bertiga. Istri saya hanya
manggut-manggut, karena ia tak tahu siapa “M”—maklum istri saya tidak satu
kampus dengan kami bertiga.
"Halah, sudahlah biarkan saja, urusan masing-masing !"
pungkas Gino.
Saya senang Gino mengatakan hal itu. Bukan bermaksud munafik, tapi saya
lebih senang rasan-rasan terhadap
hal-hal yang lucu atau menghibur. Kalau sudah menyentuh aib, saya sungguh tidak
berharap mendengarkan hal itu. Sebab, saya punya pengalaman buruk—saya tidak sengaja harus mendengarkan aib sahabat
saya sendiri. Saya di antara percaya dan tak percaya. Saya kecewa, saya membencinya
dan saya menjauhinya. Tapi apa yang saya lakukan malah melukai diri saya
sendiri. Saya jadi membenci orang-orang yang setipe dengan sahabat saya itu.
Dampaknya, saya jadi gampang curiga, dan menyamakan siapapun yang sifat dan perangainya
mirip sahabat saya itu pasti punya sifat sama. Tapi nasib mengantarkan ke
pemahaman lain, saya malah meniru sikap sahabat saya itu. Saya juga bingung
sendiri, bagaimana saya bisa bersikap seperti itu kepada orang tua—saya pernah
memaki-maki orang tua karena wejangan-wejangan
yang tak masuk di akal saya, waktu itu.
Saya merasa bersalah dan berlutut meminta maaf sebesar-besarnya kepada
kedua orang tua, serta berjanji tak akan mengulangi kembali. Kedua orang tua
meneteskan air mata, dan mengatakan telah memaafkan saya semenjak jadi anaknya.
Mendengar perkataan itu, air mata saya ikut menetes deras.
Kok, ya, njelalah. Saya
teringat pesan seorang pelayan umat nasrani—pernah menjadi rekan kerja—ia mengatakan begini kepada saya, "jangan pernah
membenci sesuatu secara berlebihan, karena rasa benci yang kuat menyisakan
memori yang kuat pada otak kita. Dan karena telah menjadi memori dan masuk alam
bawah sadar, sehingga kamu bisa melakukan hal yang sebenarnya kamu benci itu
kapan saja.”
Ia menambahkan, "Dalam pelayanan jemaat nasrani, saya kerap
menemukan kasus: seorang anak yang benci dengan orang tuannya yang bercerai.
Tapi dia sendiri ikut bercerai"
Sejak kejadian itu, saya tidak ingin berlebihan dalam hal apapun. Baik
membenci maupun mencintai. Tapi dalam memperjuangkan nilai-nilai yang
menyangkut kemanusiaan, tentu saya akan berlebihan dan berusaha sebisa saya.
Saya membayangkan orang-orang yang dalam hidupnya tak pernah
mendengarkan aib saudara atau temannya sendiri. Berbahagialah kalian yang
merasakan hal itu. Selain berbahagia, kalian juga beruntung mempunyai lingkar
pertemanan yang terbangun sehat, lagi baik. Tapi lagi-lagi hal itu mungkin
hanya dialami oleh manusia yang menyepi di tengah hutan. Sendiri. Sepi.
Rasanya memang tidak enak mendengarkan aib sahabat kita sendiri.
Apalagi jika dua sahabat baik kita saling menceritakan aib buruk masing-masing
secara bergantian ke kita. Dalam posisi tengah macam begini, saya kerap
mengumpat; Juancooookk. Tapi
begitulah kerja-goda dunia, kerap menekan kita dengan sekuat tenaga supaya
nilai-nilai yang kita perjuangkan segera meluntur, lebur dan kita makin hancur.
Naudzubillah.
Bagi saya menjadi moderat itu tak jauh lebih baik ketimbang menjadi
pribadi yang tidak urus. Menjadi moderat hanya akan disalahartikan oleh kedua
kubu yang bertikai. Dan juga menjadi moderat kerap menghabiskan energi. Moderat
bukan solusi, moderat—dalam konteks ini—tak lebih dari sikap basa-basi.
Agaknya menjadi penting untuk dipraktikan bagaimana merawat hubungan
sosial kita. Sabda Armandio, pengarang novela "Dekat dan Nyaring",
yang novelanya jadi pilihan Tempo pada tahun 2019 lalu. Ia menulis agak panjang
di status instagramnya begini,
"Saya lebih senang menjaga hubungan separuh teman, separuh orang
asing atas alasan kenyamanan. Sesuatu yang melibatkan perasaan kerap
memunculkan permasalahan ajaib. Saya tak mau terlibat. Buat saya apa yang
tampak lebih mudah dimengerti, dan lebih penting, ketimbang sesuatu yang absurd
seperti...pertemanan. Ini ada pagar. Kalau kami butuh bantuan saya, panggil
saya. Kalau saya bisa membantu, maka saya akan bantu. Tak perlu basa-basi
karena saya tak mau mengenalmu lebih jauh. Dan sebaiknya kamu berpikir seperti
itu juga. Setelah bantuan selesai, lupakan saja. Semudah kencing, selepas minum
bir. "
Waktu sudah menunjuk pukul 12 malam. Sebelum percakapan kami berempat
berakhir, Gino berpesan pada saya, "Banyak-banyak tirakat, karunia besar
membutuhkan wadah besar. Tirakat adalah satu dari sekian banyak jalan untuk memperbesar
wadah karuniaNya."
"Sepertinya malam ini Gino sedang menyindir kita, Buk, agar bertirakat tak ikut campur
urusan orang lain," kata saya ke istri sebelum tidur.
Komentar
Posting Komentar