Piye lek JOKOWI ditembak mati ?

Piye Lek Jokowi Ditembak Mati ?


Ini adalah Percakapan ringan yang terjadi di antara dua sekawan Wanto dan Jantjuk.
Percakapan terjadi di warung kopi di dekat kosan. Angin malam hari itu membawa mereka terbuai dan terlena sehingga ingin membicarakan soal situasi politik terkini. Wanto lebih aktif bicara, karena memang pada dasarnya Wanto ini cerewet. Bintangnya Leo sehingga dia mendominasi pembicaraan. Plus orangnya sedikit visioner. Sementara Jantjuk orangnya kurus dan kontemplatif. Dalam percakapan lebih banyak diam dan menyeruput teh.

Percakapan tercetus karena tiba-tiba Jantjuk si kontemplatif membayangkan suatu hari muncul berita kilat di linimasa tentang kabar kematian Calon Presiden Joko Widodo. Jokowi yang unggul hampir di semua survei tiba-tiba mati ditembak saat blusukan.
Tiba-tiba pikiran mereka berdua jadi seragam.

Di benak, muncul pertanyaan apa jadinya jika Jokowi yang digadang-gadang mampu mengatasi semua permasalahan pelik di negeri Indonesia itu tiba-tiba mati? Dibunuh pula. Apa jadinya ya?
“Apa jadinya ya To? Dia kan harapan kita yang terakhir To. Setidaknya untuk saat ini dia yang terakhir lah,” tanya Jantjuk kepada Wanto.

Wanto menyedot sisa mie di mangkok sambil mengangkat kaki sebelah naik ke kursi. Setelah habis mengunyah dan menelan mie, ia menjawab.
“Jika Jokowi ditembak mati, apakah harapanmu juga, ikut mati tjuk? Aku heran. Mengapa kamu sebegitunya menggantungkan harap pada hal-hal yang tak pasti.

Persoalan negeri ini ada di tanganmu sendiri Tjuk. Bagaimana bisa Jokowi orang yang di atas sana dibilang peduli pada nasibmu. Apalagi ini politik tjuk. Negeri kita sudah sangat biasa dengan istilah hari ini ngomong A dan hari besok ngomong B dan hari besoknya lagi ngomong AB dan besokannya lagi ngomong BA. Lagipula kita ini individu tjuk, dengan kemauan, keinginan, hasrat, dan pikirannya sendiri. Jokowi tak akan mengerti itu. Tak akan mengerti keinginan, hasrat, dan pikiranmu, wong ibumu yang melahirkan kamu saja tak mengerti, apalagi dia, si calon mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Negara tidak bisa melihat kita sebagai individu tjuk. Oleh karena itu kita diklasifikasi. Kamu harus tahu kamu masuk di bagian yang mana? Melihat-lihat polah hidupmu, aku menebak, kamu ini dimasukkan dalam golongan kelas menengah. Para ahli ekonomi menyebutnya “kelas konsumen baru”. Hobimu nonton konser, marah-marah di twitter, ngejekin orang demo, ngaku nggak punya duit tapi diajak nonton bioskop selalu bisa. Dan minimal sebulan sekali, pasti ada kalanya kamu ngebir-ngebir di tempat karaoke atau bar yang lumayan mahal itu kan Tjuk.

Negara tugasnya membuat kebijakan yang ditujukan pada kelas-kelas itu tjuk. Untuk kamu kelas menengah, kalau tambah kaya sedikit kamu bisa beli mobil. Itu bahaya sebab Jakarta sudah terlalu sesak. Maka dibuatlah MRT. Biar orang-orang seperti kamu, atau yang lebih kaya dari kamu, berhenti beli mobil. Untuk orang yang masuk klasifikasi miskin, juga ada kebijakannya sendiri. Yang jelas, kamu tidak mengerti soal itu karena kamu tidak merasakan.

Yang perlu kamu tahu Tjuk, negara itu tidak bergerak berdasarkan dorongan individu. Begitu juga Jokowi. Kecuali kamu anaknya dia ya. Mau kamu jungkir balik operasi plastik kayak apapun kamu enggak akan pernah bisa jadi anaknya Jokowi. Seorang anak bisa mendorong bapaknya agar berbuat sesuatu yang menyenangkan hati dia. Kecuali kamu Megawati Tjuk. Bosnya si Jokowi.

Tapi kita apa tjuk? Apa? Jokowi pun tak kenal dengan kita. Anak bukan. Keluarga bukan. Di situlah tjuk, kamu harus mengerti kalau kamu mau perubahan, kamu perlu juga apa yang namanya kuasa. Membangun dan menggunakan kekuatan itu perlu. Berpolitik tjuk. Politik praktis, itu kalau kamu mau didengar sama negara, ya kamu harus punya sedikit kuasa. Harus punya kekuatan.

Bahayanya di sini Tjuk. Kamu dengar ya. Kelas menengah itu besar di angka. Jumlahnya lumayan banyak. Tapi kamu tahu apa? Kelas menengah itu paling tak tahu caranya mengorganisasi diri. Coba tanya pada dirimu sendiri, bagaimana caramu membangun dan menggunakan kekuatan untuk terjun dan menggoyang dunia politik praktis?

Sehari-hari kamu kerja, lalu pulang, buka facebook, komen sana-sini. Setelah itu rebahan di kasur, buka instagram, path, komen lagi, sebelum akhirnya menulis twit, dan tidur. Keesokan hari kamu bangun untuk mengulangi kegiatan yang sama. Berorganisasi? Ketemu orang-orang? Diskusi? Capek, ketemuan saja susah. Gimana caranya ngumpul, jalanan macet. Baru pulang kerja jam sembilan. Ke kosan butuh sejam, sampai jam 10. Kalau pakai acara diskusi, mau tidur jam berapa? Kalau libur, ya mending tidur di rumah Tjuk.

Kalau kamu tak tahu caranya berorganisasi, itu bukan salahmu tjuk. Yang paling mudah ya salahkan tempatmu kuliah. Wong kamu dicetak memang bukan buat membawa perubahan sosial, tapi kamu dicetak agar siap terjun ke dalam dunia pekerjaan. Kalau mau lebih keren sedikit, salahkan Soeharto Tjuk. Puluhan tahun dia berkuasa, itu orang bikin penduduk satu negara tak paham politik. Gerakan bawah tanah habis sama dia Tjuk. Soeharto emang bangsat Tjuk.

Lalu kamu bisa berbuat apa jika Jokowi benar-benar ditembak mati? Bapak Jokowi, yang kamu bilang satu-satunya harapan kamu yang tersisa di negeri ini. Kalau dia mati, kamu hilangkan juga harapan kamu pada negeri ini?
Kamu tinggal diam jika Prabowo yang bakal menang? Si penculik aktivis yang rambutnya mirip Hitler itu Tjuk? Bukankah dia selalu ada di urutan kedua selama ini? Apa yang mau kamu lakukan tjuk? Apa? Apa siap kita dengan situasi seperti itu? Apa yang bisa kita lakukan?”
Mendengar pertanyan temannya, Jantjuk tak bisa berkata apa-apa.

Ia hanya terdiam, termenung, menerawang, memandang langit-langit. “Ah kamu, yang benar kalau berandai-andai. Masak sih Jokowi ditembak mati, ada ada saja.” Jantjuk kembali menyeruput teh di hadapannya yang telah mendingin terkena semilir angin yang berhembus selama mereka bercakap-cakap.
Glek…glek…glek…
Jantjuk tersedak dan terbatuk-batuk. Pikiran buruk melintas di benaknya secepat kilat.
Uhuk… uhuk…
“Tapi kalau beneran terjadi, gimana ya To?”


Tulisan ini dibuat oleh Ananda Badudu, Seorang Wartawan Koran "Tempo" dan salah satu personil dari Banda Neira.  Saya sengaja mengunggah tulisan dia. Selain saya mengidolakan dia. Juga karena isinya yang sangat menarik dan reflektif. Bukan soal Bapak Jokowi ataupun Bapak Soeharto. Namun lebih kepada kondisi pemuda di Indonesia saat ini. yang sudah kehilangan arah dan begitu konsumtif. Tak hanya soal gaya hidup. Tapi juga gaya menyebar dan menerima informasi. Arogan, dangkal pemikiran dan gampang terprovokasi. Dan minim aksi.




Rian Firmansyah
Rumah Kost,
Sudimoro Gang.7 Kota Malang.
5 Januari 2017

Komentar

Postingan Populer