Pasar




Mungkin sebagian anak muda. Tidak asing lagi dengan band indie asal Jakarta, Efek Rumah Kaca. Band yang digawangi oleh Cholil Mahmud,dkk ini. Cukup sukses dengan album bertajuk “Sinestesia”. Tapi, bukan soal sukses dan penghargaan apa saja yang diperoleh Cholil, dkk. Namun, fokus saja pada karya yang mereka ciptakan. Dalam album tersebut, salah satu lagu yang saya sukai adalah “ Cipta Bisa Dipasarkan” Liriknya magis dan memantik energi. Entah siapa saja mendengarkan lagu itu. Coba saja. 

Kami hanya akan mencipta segala yang kami cinta”. Cuplikan lirik ini, bagi saya cukup kuat. Untuk membangkitkan gairah manusia dalam mencipta karya. Pesannya persis,yakni mengerjakan sesuatu yang kita suka dan cinta.  Kita tahu, melakukan aktivitas yang kita suka. Menjadikan diri kita merasa senang dan lebih hidup. Mungkin ini kunci, agar suatu karya yang kita cipta, mempunyai nilai lebih dan berbeda. Setidaknya sesuai kemampuan dan karakter kita. 

Seperti di film “Pirates of The Silicon Valey”. Suatu ketika Steve Jobs meyakinkan kawannya, Steve Wozniak. Agar mempercayai kekuatan mimpi. Dan mengerjakan sesuatu, penuh cinta dan gairah (passion).“ Woz, you must be believe and follow your dream. Its not just work. But spiritualism”. Maklum, Wozniak adalah mahasiswa culun, namun ahli di bidang komputerisasi. Rasa rendah diri berlebihan, membuat Wozniak selalu tidak percaya diri menampilkan karyanya ke muka publik. Padahal bagi Jobs, karya Wozniak sangat revolusioner, pada era itu. 

Berkat kegigihan dan kemampuan interpersonal Jobs. “Apple Computer” semakin diterima pasar. Bahkan diminati pasar. Hingga sasaran pasar adalah kalangan atas.Peleburan antara teknologi dan seni karya dua sahabat itu. Telah menjelma jadi karya monumental di abad 21.  Dan cukup kita tahu, “ Jobs bukan ahli komputer. Aku yang menciptakan Apple Computer, ia hanya manusia yang bersetubuh dengan mimpi. Dan aku tergerak olehnya,” ujar Steve Wozniak, lalu tertawa.  ketika diwawancara oleh salah satu stasiun televisi swasta, Amerika Serikat. 

Kita lupakan, Efek Rumah Kaca Band dan Steve Jobs. Pada pertengahan bulan November hingga awal bulan Desember, saya dan rekan kerja satu Yayasan. Melakukan survei pasar dan investigasi lapangan. Value Chain Analysis. Begitu kami menamai teknik survei dan analisis. Yang bertujuan untuk mencari rantai nilai usaha. Entah berupa produksi atau jasa. Jadi, kami mencari mata rantai. Bagaimana hubungan dan keterkaitan antara pelaku usaha satu dengan yang lain. Hingga produk atau jasa bisa dinikmati konsumen (masyarakat). 

Kebetulan, saya mendapat bagian menganalisis dan investigasi lapangan pada sektor usaha konveksi dan back up pertanian. Selama kurang lebih dua minggu. Saya mendokumentasi dan mewawancara narasumber pelaku usaha. Adapun fakta menarik yang terjadi di sektor usaha konveksi. Waktu, itu saya blusukan ke Pasar Pon Trenggalek. Saya bertemu dengan pemilik lapak dan pengepul pakaian. Lapak tersebut, menjual aneka pakaian. Mulai bayi hingga dewasa. Bahkan orang meninggal. Ya, seperti keperluan kain kafan. Hehe

Penjaga toko pakaian itu bernama Mbak Anik. Sembari duduk di kursi plastik. Saya mencoba mencatat setiap jawaban yang terlontar dari mulut Mbak Anik. Perempuan berkulit sawo matang dan rambut terurai itu menjelaskan, “ selama ini, aneka pakaian yang saya jual,  berasal dari luar Trenggalek, Mas” ucapnya khas logat Trenggalek. Lebih lanjut ia berujar, “ Saya ambilnya dari Kota Solo, Surabaya dan Tulungagung. Selain harganya murah kualitasnya juga bersaing. Hlawong di Trenggalek kan ndak ada Industri Konveksi, Mas. hampir semua lapak disini ya ambilnya dari Solo, Surabaya dan Tulungagung. Ya kadang ada, pakaian buatan konveksi Trenggalek. Tapi baju telesan. Gawe wong tani dan buruh bangunan ”. 

Pengalaman pertama saya, mewawancarai orang pasar. Khususnya penjual baju. Membuat saya selangkah lebih tahu. Tentang dunia pasar. Ternyata selama ini benar, apa yang disampaikan oleh salah satu peserta. Bahwa, mereka kesulitan menjual produk konveksi, seperti kaos, baju dan jilbab ke pasar. “Jelas saja susah. Para pengepul pakaian di Pasar Pon Trenggalek, khusus produk koveksi sudah dijejali dari pengusaha luar kota, macam Kota Solo dan Kota Surabaya” pikir saya, waktu itu.Selesai Investigasi. Hasil wawancara dan dokumentasi, saya kompilasi. Menyambungkan antara pelaku usaha satu dan lainnya. Khususnya sektor konveksi. Karena nantinya para pelaku usaha ini akan diundang untuk Focus Group Discussion(FGD).

 Tepat tanggal 6 Desember 2017, Kegiatan FGD berlangsung di Kantor Kecamatan Karangan. Para pelaku usaha sektor konveksi yang hadir. Diantarannya;  Mas Salu dari Ketua Gabungan Sablon Trenggalek (Gasoter),  Pak Subani, jasa menjahit seragam sekolah, Mas Rangga pemilik produk kaos “ Trenggalek Itu Mana?”, Bu Siti Aminah, penjual pakaian perempuan dan Pak Toha, jasa service mesin jahit.

Proses sharing informasi berlangsung kondusif dan fokus. Antara pelaku usaha satu dengan lain, saling klarifikasi dan justifikasi terkait pernyataan tertentu. Hingga saat FGD berakhir, kami konsensuskan hasil diskusi tersebut. Dan masalah mendasar. Yang membuat sektor usaha konveksi di Trenggalek sulit berkembang adalah pasar. Selama ini, para pengusaha mampu memproduksi produk. Namun, mereka kebingungan. Pasca produksi mau dijual kemana ? 

Apalagi, jika pasar tradisionalnya saja sudah dikuasai pengusaha kain dan pakaian dari luar Kabupaten Trenggalek. Dengan harga lebih murah, produk sama. Kenapa bisa seperti itu ? iya, karena Kota Solo dan Surabaya telah membangun ekosistem usaha konveksi. Ada pabrik kain, sentra konveksi dan penjual kain/pakaian. Ini yang membuat biaya produksi bisa terpangkas. Karena membeli kain langsung dari pabrik kain. Istilahnya “tangan pertama”. Berbeda dengan pengusaha konveksi Kabupaten Trenggalek. Mereka harus membeli kain di Tulungagung. Dimana bukan pabrik kain, namun penjual kain. Alias bukan “tangan pertama”. Akhirnya, biaya produksi lebih mahal dan secara alamiah, harga jual juga meningkat. 

Ada penjelasan satir dari Mas Salu. Seorang pesablon senior Kabupaten Trenggalek. Jika ingin membantu mengembangkan para pelaku usaha konveksi. selain membuat ekosistem usaha/sentra konveksi. Langkah simple untuk mengawali,yakni. “ masyarakat harus di edukasi membeli produk Trenggalek. Dan harus dibiasakan. Bahkan Pemerintah Daerah semestinya memberikan contoh, membeli,memesan dan menyablon kaos ke pengrajin lokal. Tanpa usaha kolektif  seperti ini, saya rasa mustahil tumbuh iklim usaha dan wirausaha baru. Kalau Banyuwangi bisa, kenapa kita tidak?”

Saran itu, cukup menyentil. Apalagi dalam FGD itu, ada perwakilan dari Dinas Koperasi dan Perdagangan. Tapi, juga ada benarnya. Apa yang disampaikan Mas Salu, Jika harus ada kesadaran kolektif. Dan membangun ekosistem usaha. Dengan adanya sentra konveksi. Harga jual bisa lebih terjangkau. Karena para pelaku dan bahan dasar sudah ada. Sedangkan untuk pasar. Itu menjadi PR bersama. Justru yang terpenting adalah  fokus pada kualitas dan karakter dari produk konveksi. Dengan begitu, pasar akan tercipta dengan sendirinya. 

Seperti  Steve Jobs dan Wozniak membuat “Apple Computer”. Mereka tidak peduli pasar, tetapi fokus dan serius menciptakan suatu produk yang berarti dan berkarakter. Tapi saya pun lupa menyebutkan. Dalam merancang “Apple Computer”. Dua sahabat ini bertempat tinggal di Silicon Valey. Tempat dimana ekosistem industri telekomunikasi terbesar di Amerika Serikat. Apa jadinya, jika mereka berdua tidak hidup di lingkungan, Silicon Valley ? entahlah. Tapi jika masih ragu dan was-was tentang pasar. Mungkin anda perlu dengar lagu Efek Rumah Kaca, satu ini. “ Pasar Bisa Diciptakan”. (rif)



Komentar

Postingan Populer