Agen



Tanggal 3 Maret 2018. Saat itu, salah seorang trainer sekaligus pimpinan NGO, tempat saya bekerja. Menyampaikan informasi mencengangkan kepada para mentee yang akan mengikuti kegiatan General Mentoring dari Program USAID JAPRI. Informasinya amat simple, di dalam hall paling besar salah satu hotel ternama di Kabupaten Trenggalek itu. Sang trainer menyampaikan informasi tersebut, lewat slide yang terpampang di layar LCD proyektor. “ nilai rata-rata post test bisnis plan, JAPRI Trenggalek. Lebih tinggi dari pada JAPRI Bandung.”

Spontan, mayoritas dari peserta yang berada di ruangan itu, bertepuk tangan. Dan terlihat raut wajah sumringah, namun juga sedikit mengerutkan dahi. Tanda kebanggan yang tak penuh. Antara percaya dan tak percaya. Tak hanya dari mimik wajah, salah satu dari mereka juga mengungkapkan lewat kalimat.

 “ Wih sangar yo Nggalek, kok iso ya ngalahke JAPRI Bandung. Padahal peserta program kan akeh mahasiswane loh kono.” 

Itu artinya, kurang lebih seperti ini. “ Wih keren ya Trenggalek. Kok bisa ya mengalahkan JAPRI Bandung. Padahal peserta program kan kebanyakan mahasiswa”. 

Perlu anda tahu, Program USAID JAPRI tahun 2017-2018. Berjalan di dua daerah, yaitu Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur dan Kota Bandung, Jawa Barat. Programnya sama. Yaitu program kewirausahaan untuk masyarakat  miskin dan rentan miskin. Yang  di support langsung oleh USAID, Amerika. Jika anda belum tahu, apa itu USAID ? anda  bisa browsing sendiri.

Tapi antara di Bandung dan Trenggalek. Lembaga yang menangani atau yang dipercaya oleh USAID menggarap program USAID JAPRI, tidak sama. Melainkan dari dua lembaga yang berbeda. Bahkan kondisi sasaran pun juga amat berbeda. Jika di Kota Bandung mayoritas kelompok sasarannya adalah mahasiswa bidikmisi. Sedangkan di Kabupaten Trenggalek, mayoritas kelompok sasarannya adalah kelompok masyarakat non mahasiswa, meskipun juga ada dan segelintir saja.

Kelompok masyarakat non mahasiswa itu, juga berbagai jenis latar belakang. Ada yang sudah menikah, ada yang belum menikah, ada yang tak punya orang tua, ada yang mohon maaf sebelumnya, pendidikannya hanya sampai SD,dll.

Saking bervariasinya kondisi sosial-ekonomi di Kabupaten Trenggalek. Awalnya para tim USAID JAPRI was-was, bagaimana kedepannya program tersebut berjalan di Trenggalek. Namun, semua itu  justru berawal jauh lebih baik, dan tentunya diluar dugaan. Sebab hasil post test yang dikerjakan sekelompok mahasiswa di Kota Bandung, tidak lebih baik dari post test yang dikerjakan oleh masyarakat yang mayoritas tak mengenyam pendidikan tinggi di Kabupaten Trenggalek.

Hal ini yang akhirnya memantik pikiran saya, dan sekilas saya renungkan. Saya pun berasumsi, dari hasil fakta sederhana ini, mereka para mahasiswa itu, saat mengerjakan post test, sepertinya tidak bersungguh-sungguh mengerjakan. Atau  bisa dikata “meremehkan”. Menganggap mengerjakan post test tak begitu penting. Hingga hasil akhir post test, rata-ratanya terkalahkan oleh kelompok sasaran JAPRI Trenggalek, yang mayoritas masyarakatnya tak berpendidikan tinggi.

Lalu jika begini adanya, saya akhirnya juga berefleksi. Jikalau para mahasiswa yang digadang-gadang membantu dan menjadi agen perubahan di masyarakat. Justru tidak jauh lebih baik dari masyarakat itu sendiri. Lalu sebenarnya siapa yang menjadi agen ? dan siapa yang harus mendapat sentuhan perubahan dari sang agen ? entahlah, mungkin ini sebuah fase. Atau juga pertanda. Bila masyarakat itu sendiri sudah mampu berpikir dan bertindak mandiri.

Bahkan bisa mengalahkan mahasiswa. Meski  dari segi pengetahuan, mungkin masyarakat kalah. Lalu, bagaimana jika dilihat dari segi lainnya. Misalnya etika, etos belajar, etos bekerja, keberanian dan keseriusan menjalani hidup. Juga sebuah cita. Bisa saja mereka, para intelektual itu tidak jauh lebih baik. Meskipun hal itu tidak berlaku untuk semua mahasiswa. Dan saya berharap hanya terjadi pada segelintir saja, mereka yang tak sungguh-sungguh belajar dan belajar.

Dari sebuah informasi post test, program USAID Japri itu, pikiran saya menjadi  bergerak kemana-mana. Tiba saja, saya mengaitkan peristiwa yang ada hubungannya dengan sikap mahasiswa terhadap masyarakat. Misal saja, bulan lalu. Kita melihat aksi spontan mahasiswa yang laris diliput di berbagai media. Hanya karena mengangkatkan sebuah kertas berwarna kuning, saat Presiden Republik Indonesia selesai menyampaikan pidato. Dan mahasiswa yang melakukan hal itu, tak tanggung-tanggung. Ia adalah Presiden Mahasiswa Universitas Indonesia (UI).

Saya mengacungi jempol keberanian mahasiswa itu. Bahkan saya juga mengacungi jempol kepeduliannya terhadap kondisi masyarakat, khususnya gizi buruk di Asmat. Tapi, saya mengacungi jempol bukan semata juga mengacungi jempol untuk cara bernalarnya. Betapa tangguhnya dia dan teman-teman mahasiswa UI. Jika sebelum memberikan kertas warna kuning ke Presiden. Dia bersama rekan-rekannya sudah berangkat ke Asmat terlebih dahulu. Melihat kondisi, melebur dengan masyarakat dan melakukan riset serta analisa jurnalisme terlebih dahulu.

Seperti kata aktivis kawakan, Adrian Napitupulu dalam acara Mata Najwa. “ Tahun 1998 bisa terjadi, itu karena para mahasiswa aktif mengadvokasi berbagai kasus di berbagai daerah. Baik Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka semacam live in, hidup bersama masyarakat selama beberapa bulan. Akhirnya tahu, penderitaannya apa ?permasalahannya apa? Bukan seperti KKN, beda. Ini benar-benar murni dari keinginan kita (mahasiswa 1998).”

Dengan begitu, setidaknya mahasiswa punya data kongkrit. Sebagai kunci memprotes sikap pemerintahan dengan cara yang ilmiah, tidak common sense seperti itu. Toh, berita di Asmat juga sudah booming terlebih dahulu. Apalagi asumsi saya mengatakan, jika mahasiswa UI tak akan kesulitan dari segi finansial untuk berangkat ke Asmat. Karena mayoritas mahasiswa, hidup serba berkecukupan.  Pasti lebih peduli terhadap masalah sosial.

Tapi langkah mahasiswa itu. Justru menandakan ia tidak berproses baik selama di kampus. Memprotes sesuatu, tanpa data dan fakta. Benar saja, Presiden justru balik menantangnya untuk dikirim ke Asmat. Dalih-dalih membaggakan kampus dan mendapat perhatian masyarakat. Justru sebaliknya, ia mendapat kecaman dari masyarakat itu sendiri. Bahkan dari masyarakat dan dokter yang bertugas di Asmat. Belum cukup, teman sekelas dan sekampus juga tak sedikit yang mengolok-olok dia. Mungkin ini sebuah pembenaran, dari sebuah pepatah. “Tujuan baik, tanpa rencana yang baik, hasilnya belum tentu baik, bahkan mungkin lebih tidak baik”.

 Bagi saya, ini sebuah fenomena unik, dimana masyarakat kebanyakan, yang seharusnya menjadi mitra berjuang para mahasiswa. Justru merasa tidak terwakili oleh langkah mahasiswa tertentu. Sebuah langkah yang kontradiksi. Atau mungkin peran mahasiswa mulai bergeser menjadi tunggangan politik para penguasa saja. Entahlah, silahkan direnungkan.

Daoed Joesoef, Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 1978-1983 itu, dalam wawancara ekslusif di DAAI Tv, ia mengatakan, “ Mahasiswa di kampus, seharusnya memberlakukan ilmu itu sebagai pengetahuan, ada ilmunya itu, jadi sebelum mereka mengatur atau membantu masyarakat. Mereka harus mengatur cara berpikirnya dahulu.” 

Pesan mantan menteri itu. Seolah mengingatkan kembali kepada mahasiswa, bahwa, ada yang lebih penting, sebelum mereka membantu dan mengatur masyarakat, yakni dengan mengatur cara berpikir mereka. Agar nantinya ilmu yang diperoleh bisa bermanfaat bagi masyarakat, bukan malah meresahkan masyarakat.

Dan ada yang jauh lebih penting, ketika ilmu sudah didapat, yakni praktik. Tanpa adanya praktik, mustahil ilmu itu bermanfaat dan berguna bagi kelangsungan dan kehidupan masyarakat. Sudah sepatutnya seorang agen, memahami, mendalami juga merenungkan hal itu. Sudah bergunakah ilmu kita sampai detik ini ?

Hal itu saya rasakan, ketika saya telah lulus dari kampus dan bekerja seperti sekarang ini. Juga sebuah kebetulan, pekerjaan yang saya lakukan saat ini, bersinggungan langsung dengan masyarakat. Setidaknya masih ada keterkaitan ilmu yang saya pelajari di kampus dengan kondisi pekerjaan saat ini. Yaitu  menjadi mitra mereka dalam mengembangkan usaha yang telah dirintis.

Melalui proses pendampingan, dengan kelompok sasaran program  kategori desil tiga, yakni miskin dan rentan miskin. Dari proses dialog dan berbagi, saya mulai mengerti juga bersyukur. Bahwa kita, seharusnya bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Jika tidak, hal  itu bisa mencelakakan diri sendiri dan orang lain.

Menjadi agen, akan benar terasa, ketika kita sudah tak lagi didalam sangkar, yakni kampus. Atau bisa juga berkegiatan di luar kampus, menyentuh masyarakat dan belajar menjadi bagian dari mereka.  Tanpa itu, apa yang kita lakukan di dalam sangkar hanya sebuah akting. Karena kita tahu sangkar adalah tempat dimana sebuah kepastian itu ada. Dan itu bukan hal yang sebenarnya.

Dalam benak saya terbesit, mungkin ini adalah sebuah waktu, juga sebuah kondisi. Dimana masyarakat sudah tak terlalu bergantung lagi pada mahasiswa. Karena sumber belajar sudah bisa diakses dimana saja. Sekarang justru terbalik, mahasiswa lah yang membutuhkan masyarakat. Buktinya, setelah lulus dan mendapat gelar akademik, kemana para mahasiswa ? mayoritas dari mereka mencari kelompok masyarakat. Memohon untuk dirawat dan diberi upah, seperti saya. Terima kasih masyarakat. (rif)


Komentar

Postingan Populer