Catatan, Involusi



                 Pernahkah anda membaca catatan jenaka, cerdas dan satir karya Mahbub Djunaidi ?  Yang jika boleh saya sebutkan, catatan itu terangkum dalam bukunya yang berjudul Asal-usul. Dan buku itu dicetak ulang oleh penerbit Divapress. Ya, membaca sebuah tulisan yang berupa kumpulan catatan memang bukan pengalaman pertama kali bagi saya. Sebab, sebelumnya saya senang membaca karya seorang Goenawan Mohamad. Catatan Pinggir. Sebuah esai yang sederhana namun tak sesederhana itu dari segi isi.

Awalnya, catatan itu memang berupa catatan lembar terakhir yang menyertai di Majalah Tempo. Dan sesuai namanya, catatan itu terletak di paling pinggir sebuah lembaran majalah.  Catatan itu lebih akrab ditelinga pembacanya dengan sebutan “caping”. Yang merupakan akronim dari Catatan Pinggir.

                Selain lewat buku cetak, terkadang saya juga membaca catatan seorang penulis yang merupakan anak kandung dari Dahlan Iskan dan dulunya catatan itu diterbitkan setiap seminggu sekali oleh koran nasional, Jawa Pos. Penulis itu adalah Azrul Ananda. Dan lewat kolomnya itu, ia beri nama; Happy Wednesday. Entah apa yang membuat ia ingin memberi nama kolomnya dengan sebutan itu. Saya tak tahu pasti, hanya terkadang cukup tertarik dengan tulisan dia. Namun saya baca tulisan seorang Azrul tak lagi dengan membeli koran Jawa Pos. melainkan lewat media online yang bisa diakses di www.jawapos.com hanya lewat gawai.

                Bagi saya, lewat catatan-catatan yang ditulis oleh mereka, entah Mahbub Djunaidi, Goenawan Mohamad ataupun Azrul Ananda. Para pembaca seolah diajak untuk berpikir sederhana lewat kejadian yang luar biasa. Yang sering kali kejadian itu bersifat lampau. Mungkin dari masa lampau itu, seseorang bisa menduga masa depan yang bakal terjadi. Tetapi mereka bukan sejarawan. Mereka hanya seorang yang peduli dan menganggap setiap kejadian sehari-hari adalah hal yang penting. Yang harus direkam, melalui ingatan dan juga lewat sebuah catatan.

              Dari membaca karya mereka itu, saya jadi tahu, bahwa akan selalu ada hal menarik setiap harinya dalam hidup kita. Yang terkadang terlewat, hanya sebab kita tak peduli dan kurang bersyukur merayakan sebuah rejeki yang bernama kehidupan.

               Melalui catatan, mereka bisa berbagi perasaan kepada sesama manusia. Entah melaui pengalaman pribadi, atau sebuah pengalaman yang sudah tertulis di buku sebelumnya, yang ditulis pula oleh seorang yang peduli akan pentingnya kehidupan dan mensyukuri sebuah kehidupan itu sendiri.

                Membahas catatan, dua Minggu lalu, saya membaca catatan Mahbub Djunaidi. Judulnya cukup unik dan menggelitik. Involusi. Dalam catatanya itu, Mahbub mencoba menyampaikan gagasannya lewat tulisan. Jika di era itu, seorang Mahbub melihat bahwa kondisi sosial di Indonesia sedang mengalami involusi.

               Apa itu involusi ? secara sederhana pula ia menjelaskan jika involusi adalah suatu kondisi dimana sesuatu yang seharusnya mudah dan simple namun dibuat menjadi bertele-tele dan lelet. Tidak praktis dan amat prosedural. Padahal menurut dia, “seharusnya suatu peraturan dan prosedur harus dibuat semudah dan se-efektif mungkin. Hal ini agar membuat masyarakat tidak pesimis terhadap eksistensi suatu negara.”

                Seingat saya, catatan Mahbub waktu itu yang berjudul involusi; membahas tentang kasus pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). “ Membuat KTP itu kan kepentingan negara, berkewajiban untuk membuatkan identitas bagi warga negaranya. Yang butuh negara, bukan rakyatnya. Tetapi yang dibuat ribet dengan semuannya malah rakyatnya. Harus urus ini-itu, fotocopy itu, foto di kantor kecamatan yang antrinya minta ampun, belum lagi merelakan upah pekerjaan harian, misalnya. Hanya gara-gara sebuah identitas.” Tulis dia.

                Ia meneruskan, “ soal foto saja harus diatur negara. Kan lebih efektif foto sendiri, dicetak dan tinggal dikumpulkan ke Kecamatan”. Kalimatnya tak persis, namun kurang lebih seperti itu saya mencoba mengingatnya.

                Mungkin pada saat menulis catatannya itu, dia sedang jengkel melihat kerumunan masyarakat di kantor kecamatan setempat. Dan ini juga sebuah keuntungan. Mahbub sudah mangkat lebih dulu ke alam kubur. Jika saja ia tahu dan masih hidup di era saat ini, kalau saja dia tahu, jika dana E-KTP dikorupsi triliyunan rupiah oleh wakil rakyat. Mungkin Mahbub akan benar-benar membuat catatan yang satir dan super pedas. Namun juga dibarengi opini yang cerdas.

                Mengenai involusi, mungkin tak hanya terjadi pada kasus KTP saja, layaknya kata Mahbub. Sesuatu aturan yang sebenarnya bisa dipermudah dan dipercepat namun harus bertele-tele. Dengan alasan keamanan dan sudah aturan final dari pemerintah. Maka hal itu juga bagian dari involusi. Ya,padahal kita tahu. Apa yang diusahakan, di-ijtihadkan oleh manusia untuk sesuatu kebaikan itu tak kan pernah ada titik final. Selalu ada sebuah anti tesis baru, kemudian memperbaiki hal yang sebelumnya dianggap baik itu.

Kalian yang pernah aktif di organisasi kampus, pasti merasakan dampak perilaku involusi ini. Khususnya ketika pencairan dana anggaran organisasi kemahasiswaan. Terkadang harus banyak syarat-syarat yang justru rentan memunculkan perilaku culas. Atau juga mengarah ke korupsi dan manipulasi. Mungkin tidak semua seperti itu, tapi tanyakan saja dalam diri kalian sendiri yang sempat aktif di kegiatan organisasi kemahasiswaan.

Kata Involusi tentu sangat bertentangan dengan kata revolusi. Seperti kata Goenawan Mohamad dalam buku Catatan Pinggir 11. Ia mengatakan “ revolusi adalah sesuatu yang tak sabar, ia ingin merubah apa saja dengan segera tersampaikan.” Tetapi, terkadang sebuah revolusi juga tak benar seratus persen bersih. Harus ada yang culas, juga dikorbarkan demi perubahan itu sendiri. Involusi memang suatu kemunduruan, namun bisa juga sebuah kesabaran untuk melahirkan sebuah revolusi itu sendiri. (rif)
                 

Komentar

Postingan Populer