Masakan



                Semenjak liburan ramadhan dan cuti bersama di bulan Juni 2018. Sebagian dari kita yang jadi anak rantau. Entah sedang studi atau bekerja di luar kampung halaman. Momen seperti itu layaknya penebus rasa dahaga sebuah kerinduan. Seperti saya, selain rindu petuah sang Bapak dan seruan bangun subuh dari Ibu. Juga banyolan teman yang sudah menikah.

Namun ada hal yang lebih saya rindukan. Ialah sebuah makanan. Yang kerinduan itu hanya bisa terbayar jika yang memasak, adik perempuan dan Ibu saya. Ya, mungkin karena lidah saya dari kecil sudah terbiasa merasakan racikan bumbu masak Ibu. Dan Ibu mewariskan racikan itu kepada adik perempuan saya. Dan alhamdulilah rasa masakannya juga unda-undi. Kadang malah enak masakan adik perempuan saya. “Maaf Ibuk. Heehee.”

                Tentu tak semua masakan membuat saya rindu dengan orang rumah. Saya hanya  suka jika Ibu atau adik perempuan memasak sayur-mayur dan lauk nabati. Sayur bayam dan sayur asem. Kedua sayur itu yang lekat tertancap dibenak saya. Jika sudah mendengar ada masakan itu di dapur. Saya akan amat senang. Apalagi jika sayurnya masih hangat. Wah itu pasti sangat enak sekali. Dan lauk nabati yang paling saya sukai, ada dua jenis: pertama,  tempe mboss. Begitu orang daerah saya menyebutnya. Kategori tempe kelas dua. Dimana tempe itu berasal dari ampas kedelai. Kedua, pelas. Nama lauk jenis ini mungkin terdengar asing ditelinga kalian. Bahkan, masyarakat satu kota pun berbeda menyebutnya. Lantas apa itu pelas ? pelas sebenarnya sebutan lain dari dadar jagung. Hehe. Adakah dari kalian yang berasal dari luar Kota Nganjuk, lalu menyebut nama lain dadar jagung adalah pelas ?

                Dewasa ini, saya pun berpikir jika setiap orang tentu mempunya kenangan atau ingatan tersendiri pada makanan. Walaupun makanan itu tak mahal, dan terkadang malah sederhana. Tetapi makanan itu berkesan lekat di bawah sadar kita. Dan bagi saya, kemungkinan ada hal lain yang membuat makanan itu menjadi terkesan enak. Selain bumbu. Ialah kenangan itu sendiri atau pengalaman dari apa yang kita makan.

                Sewaktu kuliah di Malang. Saya pernah diajak teman saya yang asli malang  untuk pergi makan bakso. Ketika itu saya diajak keluar dari kampus UM lewat pintu gerbang Jalan Semarang. Setelah keluar dari pintu gerbang, kami berjalan kaki menyusuri kompleks rumah lawas yang seingat saya itu adalah kompleks para pengajar di UM. Namun, sudah berpindah ke pemilik perseorangan. Dari kejauhan saya melihat orang berjubel dan ditengahnya ada geroba bakso yang tampaknya sudah berwarna kusam. “itu kok rame, itu ta tempat makan baksonya ?” ucap saya pada teman saya. “ oyi, iku bakso e om. Tontoken dewe nko yo. Hahaha.” Jawab dia dengan logat malangan, lalu cekikikan.

Setelah sampai di lokasi, saya cukup kaget. Gerobak bakso terletak dipingir kali, didepan pos jaga (pos ronda). Lalu disekitarnya banyak mobil mewah buatan Jepang terparkir disana. Saya kira itu mobil pemilik rumah di sekitar kompleks. Tetapi dugaan saya salah. Mereka itu adalah konsumen setia dari bakso sayur jalan semarang itu. Betapa terheran saya melihat fenomena itu. Dan jika makan bakso disana, kita hanya disediakan tikar dan bumbu pelengkap bakso sayur. Seperti saos, kecap dan sambal. Saya lagi ke teman saya. “ Kok rame pembeli ya, pembelinya juga kelas menengah?”. Ia balas jawaban singkat, “iki bakso legend, bro”.

                Saya sepenuhnya tak percaya, jika hanya bermodal legend. Banyak juga mereka yang menjual makanan lalu menjadi besar. Tetapi memilih untuk menata usaha menjadi lebih modern, rapi dan bersih. Bahkan hijrah untuk membeli ruko. Tetapi bakso sayur di jalan semarang itu berbeda. Ia tetap konsisten. Selain rasanya, juga sebuah pengalaman yang disugguhkan ke konsumen setianya. Kesederhanaan. Mungkin jika bakso sayur itu sudah pindah ke ruko besar. Konsumen setia akan merasakan kehilangan atau ada sesuatu yang kurang. Ini soal kenangan yang sudah terbangun. Tanpa tak mengindahkan soal cita rasa.

                Hal serupa juga dialami oleh saudara saya dari Jakarta. Ia adalah kakak keponakan saya. Ketika ia masih kuliah di Udayana, Bali. Ia ijin ke budhe saya, ketika liburan semester. Ia mau berkunjung ke Nganjuk. Selain menyekar di makam nenek. Juga ada satu hal yang ia rindukan. Apalagi jika bukan soal kuliner atau makanan. Makanan itu adalah nasi pecel. Mungkin sebagian dari kalian tak percaya, jika nasi pecel begitu melekat diingatan kakak keponakan saya itu. Apa istimewanya nasi pecel ?

Jadi hal itu berawal ketika  dua tahun sebelumnya, kakak keponakan sudah pernah singgah ke Nganjuk. Dan dipagi hari setelah kami bersih-bersih pelataran rumah. Ibu membeli sarapan nasi pecel khas desa kami. Nasi pecel itu satu bungkus seharga seribu lima ratus rupiah sampai dua ribuh rupiah di tahun 2007. Sebenarnya nasi pecel itu sama dengan nasi pecel pada umumnya. Ada nasi putih, rempeyek, kecambah, tempe dan tahu. Yang kemudian dilumuri sambal kacang. Sekilas memang sama. Namun ada yang membuat kakak keponakan saya itu berkesan. Ialah bungkus nasi pecel itu, daun jati (godhong jati). Sehingga ketika bungkus itu dibuka, maka sesekali membat warna nasi menjadi kemerah-mudaan. Saya ingat betul raut wajah dan sorot matanya yang heran namun penasaran. Ia makan nasi pecel godhong jati itu. Ia habis dua bungkus dan berkata, “ enak, sedap bumbunya, tapi pedas ya. Haha” kata dia lalu tertawa, dengan mata berkaca akibat kepedasan. Sejak itu ia mengulangi pengalamannya ke Nganjuk. Yang salah satunya ingin makan nasi pecel godhong jati.

                Ikatan pengalaman dan cita rasa sebuah makanan. Agaknya juga jadi pertimbangan bahasan  seorang koki terkenal yang meninggal sebulan lalu akibat bunuh diri. Ia adalah Anthony Bourdain. Selain terkenal seorang chef, ia juga terkenal jadi seorang penulis kuliner yang hebat. Hal ini terjadi setelah ia menerbitkan tulisannya: Adventures in the Culinary Underbelly. Hal lainnya, dikutip dari laman Tirto.id., Bourdain pernah menulis sebuah artikel kontroversialnya. “ Don’t eat Before Reading”. Sebuah tulisan yang tajam dan berani. Ulasan seorang master chef, Bourdain.

“Inti bahasan dari artikel itu, Bourdain  menguliti industri restoran hingga ke jeroanpaling tersembunyi. Misal, yang diingat orang hingga sekrang. Jangan makan ikan di hari Senin. Pasokan ikan segar di restoran selalu dipesan hari Kamis, dan dating di hari Jumat. Pemilik restoran memprediksi ikan akan terjual banyak pada hari Jumat dan Sabtu. Mungkin ada sisa beberapa helai fillet ikan. Jika masih tetap tersisa, maka itu yang akan dihidangkan hari Senin, sebelum tukang ikan mengantarkan stok ikan segar untuk tiga hari kedepan. Dan itu artinya ketika kamu menyantap ikan di hari Senin, ikan itu sudah mati dua kali, satu ketika diangkat dari laut, kedua ketika ia sudah menghabiskan empat hari di lemari es.”

Akibat tulisan itu ia dikritik hebat oleh beberapa pemilik restoran. Tapi ia tetap tak merisaukan hal itu. Bagi dia itu sudah menjadi kewajibannya, memberitahu informasi penting pada khalayak. Sebuah keberanian dari seorang penggemar Bob Dylan itu.

Dan jika kita tahu, siapa sebenarnya dia. Kenapa setelah kepergiannya, ia menjadi sorotan publik dalam negeri dan luar negeri. Sebab, seorang Bourdain, dia pernah mengajak mantan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama. Dalam program siaran televisi yang dipandu olehnya. Parts Unknown. Dikutip dari Tirto.id, “ Parts Unknown adalah sebuah acara yang menyodorkan ebuah acara perjalanan, diramu dengan separuh kuliner, dirajut dengan aneka macam bumbu: sejarah, antropologi, sosiologi, hingga politik.”

Dalam acara kuliner itu, ia bersama Obama berkunjung ke  Hanoi, Vietnam untuk menyantap Bun Cha (sejenis bihun dengan kuah kaldu babi dan bir dingin). Jangan dipikir mereka berdua makan di restoran mewah. Lalu makan mengenakan pakaian rapi balutan jas. Tidak, itu salah besar. Keduanya seperti orang biasa yang tak berpengaruh. Kala itu, mereka sedang makan siang di warung sederhana. Kursi pendek plastik, meja persegi yang ukurannya tak lebih dari 1 meter. Kemeja putih, lengan digulung hingga siku (Obama) dan kemeja lusuh warna kecoklatan digulung dengan bawahan celana jeans (Bourdain). Dan sesekali diiringi tatapan tak peduli pembeli lain. Bahkan sang pemilik warung mengatakan , Obama dan Bourdain menghabiskan 6 dolar AS atau sekitar 82 ribu rupiah untuk seluruh santapan.

“Kursi plastik pendek, makanan murah tapi lezat, bir dingin Hanoi. Ini adalah caraku mengenang Tony. Ia mengajarkan kita tentang makanan, tetapi lebih penting tentangkemampuan makanan membuat kita bersatu.” Cuit twitter Obama, setelah kepergian tragis seorang chef hebat itu.

Pada sisi ini, kita tahu Bourdain ingin mengajak Obama untuk mencicipi makanan, sekaligus memberi kesan dan pengalaman terhadap sebuah makanan. Jika rasa enak bisa saja lahir dari kesan dan pengalaman. Enak (tidak harus soal bumbu). Hal itu sama persis, ketika Bourdain kecil diajak sang ayah pergi ke kampung halaman sang ayah. Disitu ia pertama kalinya mencicipi yang namanya tiram mentah. Dan momen itulah yang juga membuat dia tidak pernah lupa dengan makanan tersebut. 

                Jokowi, Presiden RI saat ini. makanan dan masa kecil punya kesan tersendiri baginya. Bagaimana tidak, Jokowi kecil yang sangat dekat dengan ayah. Ia sering diajak ke pasar untuk membeli semangkuk soto. Dan ketika itu pula, sang ayah menyelipkan pesan sederhana pada Jokowi. Lihat le, bapak tukang soto itu hebat sekali. Bagaimana tidak hebat ya le, dia bisa melayani pelanggan dengan berbagai macam permintaan dan keinginan. Ada yang minta sotonya jangan terlalu pedas, jangan pakai jeroan, tambah jeroan, kuahnya sedikit, kuahnya banyak. Tapi bapak itu selalu tetap ramah dan berusaha memberikan yang terbaik untuk pelanggannya.” Lalu sang bapak juga berkata, “Besok kalau kamu setelah dewasa, siapa tahu tahu jadi pemimpin. Harus bisa seperti bapak penjual soto itu le, melayani dengan sabar dan senang hati ke masyarakat.” Begitu visualisasi dan percakapan sederhana yang saya ingat dalam film, Jokowi. 

                Hingga sampai detik ini, soto tetap menjadi makanan favorit Jokowi. Meskipun ia sudah duduk di kursi kekuasaan. Sampai pernah juga diulas singkat oleh koki pribadinya di Istana Bogor. Ya tentang itu, soto. Mungkin bagi dia, soto mewakili pengalaman masa lalunya. Atau sebagai wujud mengenang sang ayah, ketika sang Presiden merindukan sosoknya. Kita tak ada yang tahu.

                Kembali mengenai pelas dan sayur bayam atau sayur bening. Bagi saya makanan itu tak pernah membuat waleh. Apalagi kalau yang membuat Ibu atau adik perempuan saya. Namun justru sangat istimewa jika yang membuat itu adalah mendiang nenek saya. Ada kejadian cukup menyedihkan. Ketika itu, seingat saya, saya duduk dibangku kelas tiga SD. Sepulang sekolah, seperti biasa, nenek sudah menyiapkan makan siang untuk saya. Sayur bening dan lauk, tak lupa ada pelas juga. Maklum, sejak kelas satu SD, sepulang sekolah saya singgah ke rumah nenek. Karena kedua orang tua saya masih bekerja. Saya makan siang bersama nenek. Dengan makanan kesukaan saya. Tak disangka, itu adalah momen terakhir saya bersama nenek. Juga bersama makanan yang saya suka. Yang dimasak langsung oleh nenek. Sayur bening dan pelas. Esok harinya waktu dhuha, nenek saya meninggal dunia. Setelah mengeluh perutnya sakit. 

                Makanan, kesan, ingatan dan pengalaman. Mungkin suatu kesatuan yang unik. Tak hanya fisik yang mengalami lapar. Jiwa mungkin juga mengalami hal serupa. Ketika masalah lapar fisik bisa diselesaikan dengan makan. Jiwa yang lapar mungkin akan terisi jika ada sebuah kesan, ingatan bahkan suatu pengalaman yang tak terlupakan. Setelah proses makan itu sendiri.

                Mungkin kita pernah, makan-makanan mahal namun tak bahagia. Tak puas, tak merasa terpenuhi, seperti ada yang kurang. Hanya lewat begitu saja. Hanya mendapat kenyang. Dan biasanya menumpuk jadi penyakit atas apa yang kita makan. Makanan mahal, cepat saji di restoran. Tidak menjamin kita kenyang dan bahagia. Kenyang, iya. Bahagia atau lega, belum tentu. Biasanya justru hanya menjadi pemuas kamera di gawai pribadi.

Seperti kata Bourdain, tanyakan pada mereka, jika besok hari terakhirmu. Apa yang ingin kau makan dihari terakhirmu ? hampir bisa dipastikan mereka tak akan memilih makanan fine dining atau cepat saji dari restoran. Mereka akan memilih makanan yang berkesan bagi mereka. Dan biasanya makanan berharga murah, sederhana dan dibuat oleh orang yang berkesan dihidup mereka. (rif)
               


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer