Munir Said Thalib
Pesawat Garuda GA-974, rute
Jakarta-Belanda itu. Seharusnya patut ada di museum HAM. Meskipun hanya sebuah
anekdot saya. Sebab, pesawat itu jadi saksi sejarah, terbunuhnya pria
bertampang Arab dan berambut agak pirang itu. Yang konsisten mengabdikan hidupnya
untuk penegakkan HAM di Indonesia. Dan kita tahu, itu sangat berisiko. Dimana
rezim ototarian atau militerisme berkuasa.
Pria itu adalah Munir Said
Thalib. Yang meninggal dunia di udara, berkat racun arsenik yang menyatu
bersama darahnya. Sungguh pilu, nasib mantan Ketua Senat Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya itu. Padahal, hari itu, jika saja dia tak meninggal
dunia. Maka itu adalah perjalanan intektualnya untuk menimba ilmu ke negara
yang terkenal dengan sebutan "kincir angin" itu. Karena Munir
mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi magister di bidang hukum.
Tak terbayang, betapa terkejut
keluarga Munir. Jika mendengar ia telah tiada, meninggalkan kita semua dari
dunia yang rapuh ini. Padahal, ketika di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Munir
terlihat sangat sehat. Dan bahkan amat sehat. "Ia sangat sehat, tidak ada
gejala dia akan sakit" ungkap Suciwati, isteri Munir dalam film dokumenter
"Cerita tentang Cak Munir" karya Haliwi. Mungkin tak hanya keluarga
yang terkejut mendengar berita meninggalnya Munir. Tetapi aktivis HAM di
Indonesia dan mereka yang pernah dibantu oleh Munir. siapa saja mereka? iya,
mereka yang tertindas oleh hukum dan kekuasaaan.
Mungkin saya kategori pemuda
apatis. Bagaimana tidak, saya baru Knowing
Everything Particulary Object (KEPO) tentang sosok Munir. Juga isu HAM di
Indonesia. Ketika saya kuliah di Malang,
masuk semester dua. Saya terheran-heran. Karena hampir di beberapa sudut ruko,
jembatan layang dan rumah tua di Kota Malang. Apalagi Kota Batu. Ada gambar mural wajah sosok Munir itu. Dengan tagline "Menolak Lupa". Sejak
saat itu, saya ingin mencari tahu. Siapa sosok dibalik itu. Dan apa yang ia
lakukan untuk kemanusiaan. Perlahan saya
mulai tahu, bahwa ia adalah pahlawan HAM di Indonesia. Ia adalah pria yang getol
menegakkan HAM dan antikekerasan. Ia aktivis asal Kota Malang. Ia juga pemuda
yang aktif di organisasi kemahasiswaan semasa mudanya.
Ada satu hal simpel, yang
membuat saya semakin penasaran dengan sosok Munir. Ketika teman saya asli kota
Malang itu, menyuruh saya mendengarkan playlist lagu di smartphone miliknya,
berjudul "Di Udara" karya Efek Rumah Kaca band. Bagi saya, lagu itu
didedikasikan, salah satunya bagi sosok Munir.
Aku sering
diancam
juga teror
mencekam
Ku bisa
tenggelam dilautan,
aku bisa
diracun di udara,
aku bisa
terbunuh di trotoar jalan
tapi aku
tak pernah mati, tak akan berhenti
Sejak kejadian itu pula, saya
semakin terkagum dengan sosok Munir. Yang pemberani dan konsisten itu. Meski
saya tahu, menerapkan sifat itu tak semudah ber-angan. Saya mulai hadiri diskusi yang membahas
tentang HAM dan Munir. Seingat saya, waktu itu acara diadakan di luar kampus,
Wisma Kalimetro. Yang terletak di Jl. Joyosuko Metro No.42, Kota Malang. Kemudian
saya juga mangkat di Diskusi Publik yang diadakan Himpunan Mahasiswa Jurusan
Hukum dan Kewarganegaraan (HMJ HKN) tahun 2015. Dan saking penasarannya, saya
berkunjung ke museum HAM, Omah Munir, Kota Batu. Tepat tanggal 25 Desember
2016. pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Omah Munir. Tapi, saat itu pula
museum tutup. Akhirnya saya berkunjung ulang esok harinya. Dan Alhamdulilah,
Omah Munir telah buka. meski pengunjung hanya saya sendiri. Sepi.
Tampak dari luar, Omah Munir
terlihat sangat sederhana. Hanya rumah biasa yang kemudian dirombak sedemikian
rupa, hingga menyerupai museum. Sebelum masuk ke dalam ruangan. Kita akan
dipaksa bernostalgia tentang sosok Munir. Yang terkenal sederhana dan pemberani
itu. Mulai dari patung wajah Munir yang berwarna emas. Lalu gambar Munir
menaiki motor Honda Grand Astrea, kala bertugas sebagai advokat dalam bentuk
dua dimensi.
Kemudian, jika
masuk ke dalam ruangan museum. Terpampang jelas foto Munir, tayangan wawancara
ekslusif bersama Suciwati di LCD, poster yang menjelaskan kasus-kasus yang
ditangani Munir, barang-barang kesayangan yang sering dipakai Munir. Seperti
baju, jaket, jam tangan dan sepatu. Hingga banner besar yang menjelaskan
kronologi kematian Munir, ketika di udara menuju Amsterdam, Belanda. Dan ada
suatu hal, yang menambah suasana Omah Munir terasa merinding,yakni musik
bergenre post rock. Yang seolah mengajak kita untuk transendental.
Saya membaca tiap informasi yang tersedia di Omah
Munir. tentang perjalanan panjang seorang pejuang kemanusiaan itu. Yang
menghibahkan hidupnya untuk kepentingan orang lain, bangsa dan negara. ia juga
menjadi mercusuar, bagaimana demokrasi itu seharusnya berjalan di indonesia.
Ketidaksepakatan bukan berarti ditaruhkan dengan kekerasan, teror bahkan nyawa.
Dalam ruangan itu, ada satu
barang yang membuat saya tercengang. Bahkan menggelengkan kepala. Barang itu
adalah jaket kulit warna coklat kusam tanpa lengan. Yang tidak lain adalah
jaket anti peluru. Yang selalu dikenakan oleh Munir, ketika bekerja mengungkap
dan menuntaskan kasus kekerasan di berbagai daerah. Seperti kasus pembunuhan
misterius Marsinah (pahlawan buruh) yang dibunuh oleh militer tahun 1994,
Menjadi penasehat hukum warga Nipah, Madura dalam kasus pembunuhan
petani-petani oleh militer pada tahun 1993, penasehat hukum para korban dan
keluarga Korban Penghilangan Orang secara paksa 24 aktivis politik dan
mahasiswa di Jakarta tahun 1997 dan Kasus pelanggaran berat HAM di Aceh dan
Papua. Jaket itu jadi saksi kegigihan dan keberanian seorang Munir dalam memperjuangkan HAM di Indonesia.
Juga tanggungjawab dia sebagai intelektual organik. juga menjadi orang muslim
semestinya. Munir menangani kasus
pelanggaran HAM dan kekerasan di berbagai daerah, semenjak ia bekerja di LBH
Imparsial dan menjadi Direktur KontraS.
Memang benar, jika selama
hidupnya, ia disebut sosok yang kontroversi. Bagaimana tidak, jika selama ini
kita melihat profesi advokat yang terkesan glamour
di televisi. Dan terkesan klien oriented.
Tidak berlaku bagi seorang Munir. Bayangkan saja, dia bekerja sebagai advokat
tidak memungut tarif, tapi tulus menolong orang yang tertindas. Dengan risiko
mengorbankan waktu, keluarga dan nyawanya. Ia bekerja hanya mengendarai sepeda
motor butut dan mengenakan jaket anti peluru itu. Sebuah panggilan hidup yang
gila.
Pernah suatu ketika Umi
(panggilan Ibu bagi Munir), mengingatkan Munir agar berhenti dan hidup
sewajarnya saja. Namun Munir mengajak dialog sang Ibu dan menjawab
pelan-pelan," Umi, pekerjaan saya
ini tak jauh lebih berbahaya dari sopir bus malam. jika saja seorang sopir
mengantuk. semua bisa mati termasuk dirinya (sopir). Kalau saya mengantuk masih
bisa tidur. Masa’ saya sebagai anak terdidik kalah berani dengan sopir
bus." semenjak itu, Umi menyerahkan semua kepada Munir dan Allah.
Begitu ungkap Suciwati dalam tayangan LCD di Omah Munir.
Jika saja anda singgah ke Omah
Munir, mungkin anda akan malu. Mungkin juga refleksi pada diri sendiri dan
sekitar. Kita adalah generasi yang mengalami degradasi cita-cita. Bukan
cita-cita jadi Dokter, Dosen,Trainer, Polisi ataupun Perawat. Tapi tentang
cita-cita memperjuangkan nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan keberanian.
Salah satu sahabat Munir dalam
film dokumenter "Cerita Tentang Cak Munir", mengungkapkan dengan
serius, bagi dia, Munir adalah seorang sufi. " Munir itu berpikir seperti sufi. Dia itu menolak memperkaya
diri, hidup sederhana dan terus membantu mengadvokasi para orang yang tertindas
haknya. juga korban tindak kekerasan". Lanjut sahabatnya, " dia itu (Munir), ketika mengisi
materi di organisasi, sering berkata, kalau kita sholat tapi tidak melawan
kemiskinan dan kebodohan. lalu apa makna sholat kita," pungkas sahabat
yang merupakan adik tingkat di Fakultas Hukum UB itu.
Kini Munir telah tiada. Dia
pernah meraih Man Of The Year versi Majalah Ummat. Namanya diabadikan sebagai
salah satu jalan di Belanda. Semangat perjuangannya terus mengalir deras, entah
melalui lembaga yang didirikannya, KontraS. Ataupun Aksi Kamisan yang menuntut
penuntasan pelanggaran HAM masa lalu. Jaket anti peluru itu juga tersimpan rapi
dalam kotak kaca di Museum HAM, Omah Munir. Bahkan, saking rindunya dengan
munir. Mantan redaktur media ternama di Malang dan sempat juga menjadi redaktur
saya itu. Membuat puisi untuk
Munir. Ia adalah Irham Thoriq. Penggalan
puisi itu;
Seandainya
Munir masih hidup
dia akan
ada disini
di
tengah-tengah kita
tapi tidak
untuk merayakan kewafatannya
tapi,
menangisi keadilan di tengah banyaknya fakultas hukum
matinya
sikap moderat, ditengah banyaknya kaum yang seolah berjabat erat
tumpulnya
hukum, di tangan mantra-mantra kaum yang tak pernah rukun
Munir adalah pria yang
pemberani, sederhana dan cerdas. Ia adalah suara hati bagi orang-orang
tertindas. Tapi ia adalah orang berkualitas yang terkalahkan oleh mayoritas.
Juga hukum yang tak tegas. Ada satu permintaan Munir yang cukup aneh. Dan
mungkin itu sebagai tanda kesederhanaan. Sebelum dia meninggal dunia. "Jika Demokrasi sudah berjalan sebagaimana
mestinya, ia akan pulang ke Batu. Lalu berjualan dan jadi pedagang." (rif)
permainan laga ayam s128 jago filipina terpercaya indonesia
BalasHapusBonus New Member 10% / Cashback 5% - 10%
Yuk Gabung Bersama Bolavita Raih Kemenangan Anda Sekarang Juga 100% Tanpa Bot
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
WA: +628122222995