Summerhill School dan SKB
Tanggal
17 Oktober 1883. Lahir anak laki-laki, yang kelak jadi ilmuwan pendidikan itu.
Yang termasyur, berkat keberanian visinya mendirikan sekolah swakelola. Mungkin
terdengar amat biasa. Tapi di masa itu, ia banyak menuai kritikan keras dari
para ilmuwan lain. Belum lagi, pernyataan satir terlontar begitu saja dari
mulutnya. “Saya lebih senang melihat
sekolah menghasilkan para penyapu jalan yang bahagia, ketimbang sarjana yang
sakit jiwa.”
Ia adalah Alexander Sutherland Neill.
Pria berperawakan besar-tegap, berkacamata dan kerap mengenakan topi pet itu. Selain pernah menjadi asisten
guru, guru dan kepala sekolah. Dia lah pencetus ide sekolah bebas, berprinsip
swakelola. Yang kemudian ia beri nama Summerhill
School.
Pria sapaan akrab, Neill ini. Sejak usia muda, ia sudah meniti karier
sebagai asisten guru di sekolah ayahnya. Yang terletak di Forfar, Angus,
Skotlandia. Lalu, pada usia dua puluh lima tahun ia meraih gelar M.A. Dalam
jurusan Bahasa dan Sastra Inggris di Edinburgh. Dan begitu lulus ia diangkat
menjadi kepala sekolah desa di Skotlandia. Juga menyusun buku debutnya, A Dominies’ log. Itulah perjalanan
singkat, sebelum ia mendirikan Summerhill
School.
Menjabat
sebagai kepala sekolah desa di Skotlandia. Tak lantas, membuat Neill merasa
tenang dan nyaman. Justru ia merasa gelisah dan berpikir. Karena ia mengamati,
sekaligus terlibat dalam penuntasan kasus di sekolahnya. Agaknya ia gusar
dengan kasus yang terjadi. Sebab, sering muncul bandit-bandit kecil yang
membuat onar dan gaduh. Hingga suasana belajar tak kondusif. Pilihannya cukup
dilematis. jika si anak didik dikeluarkan dari sekolah. Maka, sekolah akan
kekurangan murid. Namun, jika dibiarkan. Mereka para bandit kecil akan merusak
suasana belajar di sekolah.
Malam
itu, Neill merenung di ruang pribadinya. Membuka dokumen yang berisi catatan
hukuman dan perilaku buruk anak didiknya. Neill adalah pengagum Sigmund Freud.
Bapak Psikologi itu. Juga penemu teori psikoanalisis. ia coba mengaitkan kasus yang terjadi di
sekolah dengan sikap guru dan latar belakang keluarga. Karena Neill sangat
yakin, seyakin-yakinnya. Jikalau anak itu tidak bersalah. Ada faktor lain yang
membuat anak berperilaku seperti itu. Neill berasumsi, jika kenakalan anak
timbul berkat kurangnya perhatian dari orang tua atau keluarga. Juga pendekatan
dari sekolah.
Sekolah seharusnya menjadi
alternatif, memberi perhatian dan pengalaman. Namun, apa jadinya jika hal itu
tak mereka dapatkan ? entahlah, mungkin
sedikit nakal. Tak hanya itu, guru juga
faktor penting. Guru yang semestinya jadi teman, sekaligus orang tua. Justru
membuat gap. Dimana mereka sengaja
menciptakan jarak dengan murid. Agar dihormati dan ditakuti. Syukur jika lebih
berwibawa.
Syahdan,
Neill pun memutuskan mengundurkan diri dari sekolah yang dipimpinnya itu. Semua
staff kaget. Bukan karena ia merasa tak mampu mengelola sekolah tersebut. Tapi,
ia sadar. Ada strategi tertentu yang tidak bisa diterapkan di sekolah
formal-konvensional. Karena aturan yang tak luwes. Harus ada alternatif. Juga
keberanian berpikir dan bertindak. Sebuah langkah berani yang tak mudah.
Pylot Project dimulai. Ia bersama kawannya satu visi hijrah ke
Inggris. Tahun 1921, berdirilah sekolah diatas bukit, Summerhill School. Terletak di Kota Leiston, Suffolk, sekitar 160
km dari London. Neill ingin bebas berkreasi dan eksperimen. Sekolah yang bebas
dan berprinsip swakelola. Begitu pandangan sederhana mantan kepala sekolah itu.
Sebuah sekolah alternatif. Dan ia ingin membuktikan, bahwa setiap anak memiliki
potensi. Yang akan berkembang jika saja jiwa mereka bebas tanpa rasa takut.
Apalagi ditakut-takuti.
Mungkin kalian bertanya-tanya,
seperti apa model sekolah bebas dan swakelola yang didirikan Neill ini. Neill
berpendapat, kemauan dan keinginan belajar anak tidak sama antara satu dengan
yang lain. Jadi di Sumerhill School,
sekolah memang dirancang memiliki banyak spot belajar. Sesuai minat dan
keterampilan yang ingin dipelajari. Ruang musik, ruang teater, ruang scientist,
lapangan olahraga, ruang seni rupa, ruang bahasa, ruang matematis, dll. Para
murid bebas memilih. Ingin mengikuti mata pelajaran apa saja. Bahkan bebas tak
mengikutinya sama sekali, sesuka meraka. Kelas-kelasnya ditentukan sesuai umur
dan minat mereka. Jadwal pelajaran tetap ada, tetapi hanya ditentukan untuk
para guru. Tak heran, jika terkadang guru mata pelajaan tertentu, tak
kedatangan murid di kelasnya. Perlu kita tahu, jika Summerhill Schooll juga menyediakan asrama bagi meraka yang tak
ingin pulang dan menginap.
Neill bersama staff pengajar dan
murid, selalu mengadakan rapat mingguan dan bulanan. Tujuannya untuk menyusun
peraturan sekolah dan kurikulum pembelajaran. Jangan berpikir rapat berlangsung
gaduh dan berjubel. Tidak. Sebab, anak-anak yang sekolah di Sumerhill School tidak banyak, total
hanya 45 orang. Jumlah itu diawal berdiri. Neill sengaja mengajak rapat staff
dan murid. Agar terbangun sikap egaliter dan kedekatan. Tanpa ada gap. Selain itu, melibatkan anak-anak dalam
rapat dan jajak pendapat, bertujuan agar anak-anak memiliki sikap demokratis,
saling menghargai dan toleran. Bukan hanya itu, peraturan sekolah yang dibuat
dan disepakati bersama. Akan lebih mudah diterapkan dari pada dilanggar. “mereka mengusulkan sendiri dan menyepakati
bersama, ini adalah momen luar biasa. Dimana peraturan dibuat secara fair.
Mereka terlibat dan akan lebih bertanggungjawab” ungkap Neill dalam buku
yang sama. Sungguh sekolah yang aneh, tapi ini nyata terjadi di Inggris.
Ada kisah seorang alumni Sumerhill School yang bekerja di salah
satu Pabrik Mesin di Inggris. Namanya, Jack.
Seperti ini ceritanya;
Suatu hari, direktur pelaksana
memanggil Jack ke kantornya. “Kamu dari
Sumerhill School, bukan ?” ujar sang direktur.
Lebih lanjut direktur berkata“saya ingin tahu bagaimana pendapatmu tentang
sekolah itu sekarang setelah kamu bergaul dengan anak-anak lulusan sekolah
lain. Seandainya kamu diminta memilih lagi, apakah kamuakan sekolah di Eton
atau Sumerhill ?”
“oh, tentu di Summerhill,” jawab Jack
“apa yang sebenarnya diberikan Sumerhill dan tak diberikan
sekolah-sekolah lain?” tanya direktur lagi.
Jack menggaruk-garuk kepala, “ Apa ya...., umhh tapi saya kira
Summerhill memberiku rasa percaya diri yang utuh,”
“ya,” kata sang direktur ringan. “saya melihat kepercayaan diri itu ketika kamu datang ke sini.”
“astaga,” Jack tertawa. “
Maaf, bila saya terkesan begitu.”
“Tak apa, saya menyukainya” tambah sang direktur. “Kebanyakan orang yang saya panggil kemari
tampak gelisah dan cemas. Tapi kamu datang seperti temanku saja.”
Cerita itu, memperlihatkan
aktivitas belajar (learning) tidaklah sepenting kepribadian dan karakter. Jack
tak lulus ujian masuk universitas karena dia benci belajar buku. Tapi
ketidaktahuannya tentang esaays karya pujangga besar tak menghalangi hidupnya.
Dia kini menjadi ahli mesin yang sukses. Kenapa bisa seperti itu, lalu Jack
masuk pakai ijazah apa ? itulah bedanya sistem kerja di negara kita dan negara barat.
Ijazah bukan prioritas bagi pekerja teknis seperti Jack. Namun kemampuan dan
keterampilan-lah yang amat penting.
Memang Neill pun mengakui. “ Banyak aktivitas belajar di Summerhill
School. Barang kali anak didik berusia belasan tahun kalah dari anak-anak
sekolah lain sebaya mereka dalam hal tulis-menulis, mengeja atau menghitung
pecahan. Namun dalam kompetisi yang menuntut orisinalitas, anak-anak kami
niscaya akan mengalahkan anak-anak yang lembek itu.” Pernyataan ini
tertulis di halaman 45. Buku “Summerhill School”.
Kisah Neill mendirikan Summerhill School. Sekolah alternatif
yang percaya bahwa setiap anak tidak bermasalah, justru yang bermasalah adalah
guru, orang tua dan sistem pembelajaran. Membuat saya teringat cerita kakak
tingkat. Yang sekarang bekerja di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten
Trenggalek.
SKB adalah satuan pendidikan
nonformal yang mengadakan pendidikan keterampilan dan kesetaraan. Menaungi
mereka yang termarjinalkan. Ini bahasa halusnya. Aslinya tetap, ya mereka yang
bermasalah. Sebenarnya mirip-mirip dengan Summerhill
School, namun SKB masih dalam naungan pemerintah. Dan Legal dibawah Dinas Pendidikan.
Kakak tingkat saya itu, kebetulan
menjadi tutor salah satu mata pelajaran di SKB. Ia menangani pendidikan
kesetaraan. Kesetaraan Kejar Paket A,B dan C. Runtut, paket A untuk setara
pendidikan SD, Paket B untuk SMP dan Paket C untuk SMA. Mereka yang tak tuntas
meraih pendidikan formal biasannya menempuh jalur ini. ya, sesuai dengan
fungsinya. Kesetaraan pendidikan. Ingat ya ! setara bukan berarti sama. Apa
logis, mereka yang sekolah formal, jadwal tertata dan sumber belajar komplit.
Mau disamakan dengan mereka yang jadwalnya fleksibel dan sumber belajar tak
komplit. jangan tanya hasilnya, tentu tak sama.
“Jangan berharap, ketika dilapangan itu sama dengan teori di kelas” ucap
kakak tingkat saya itu, diikuti senyum kecut.
“Kalau saya mengajar mereka
(siswa kejar paket) dengan pendekatan humanisme. Mereka tidak akan belajar.
Mereka ini mayoritas etos belajarnya rendah. Mereka anak bermasalah di sekolah
formal. Ya meskipun tak semua. Sesekali harus kita paksa. Juga sedikit sikap
militer. Tanpa itu mereka tidak akan belajar. Kenapa saya lakukan itu ?
kesadaran akan belajar mereka rendah.” Jelas dia.
“ ya, terkadang
saya juga berpikir, ketika di kelas dulu. Seolah menangani mereka semudah mulut
terucap, tapi sama sekali tidak. Belum lagi setelah lulus kejar paket, status
mereka masih belum pulih di masyarakat. lulusan kejar paket, selalu dianggap
tak qualified,” Pungkasnya lalu menghela nafas.
Dari dua pengalaman seseorang
itu, dan dari tempat yang berbeda. Saya jadi tahu, letak perbedaan antara SKB
dan Summerhill School. Selain model
pengelolaannya. Jika SKB, dikelola oleh pemerintah dan Summerhill School dikelola oleh swasta (swakelola). Adalah faktor
lingkungan masyarakat. Mungkin, di Inggris masyarakat lebih inklusif. Berbeda
dengan masyarakat di negara kita. Sehingga lulusan sekolah nonformal, Summerhill School. Tetap mendapat
tempat. Apa jadinya jika seseorang hanya lulusan kejar paket A, B dan C ? orang
tua saja mungkin ragu dengan ijazah itu. Apalagi masyarakat, belum lagi dunia
kerja. Meskipun, di negara kita sudah ada yang membuktikan Ijazah Kejar Paket
C, mampu diterima di Universitas Indonesia. Mungkin itulah sebuah mukjizat. Lalu,
berapa orang yang diberi mukjizat oleh Tuhan ? tak banyak.
Tapi, kita tak perlu terlalu
skeptis dan pesimis dengan SKB. Juga tak perlu mendewakan konsep pendidikan A.S
Neill dengan Summerhill Schoolnya.
Kondisi sosio-antrologis berpengaruh terhadap proses belajar dan pendidikan
individu. Tentu berbeda, antara di Indonesia dan Inggris. Tapi, jika ingin
melaksanakan pendidikan alternatif. Mungkin tak ada salahnya, mencoba konsep pendidikan
Neill tentang sistem swakelola. Bukan konsep
sekolah bebasnya. Tentunya sesuai budaya orang timur. Kerja sama antara
praktisi pendidikan, peserta didik, ilmuwan dan keluarga. Semua saling terlibat
dan kerja bersama. Mendirikan sebuah yayasan pendidikan alternatif. Misalnya, seperti
sekolah yang ada di Bali, Green School
Bali.
A.S Neill memang ilmuwan,
sekaligus praktisi radikal. Dan dunia memang menyukai orang-orang seperti itu.
Setidaknya demi perubahan yang jauh lebih baik. Atau lebih buruk. Segala
perubahan selalu ada resiko. Kritikan,cemoohan,pujian,keberhasilan bahkan
kegagalan. Hanya keberanian yang terus menggerakan kita dan dunia. Meskipun rasa
was-was pasti menempel. Neill, pria
yang kerap mengenakan peci pet itu.
Telah jadi sejarah. Dan ia mengajarkan pada kita, pentingnya keberanian, cinta
dan solusi alternatif. Berbeda, kakak tingkat saya itu. Dia belum jadi sejarah. Tapi ia mengajarkan
pada kita pentingnya melek realita.
Keduanya adalah kisah manusia yang mencoba melayani keinginan dunia. Meski
terkadang, dunia enggan menerimanya.(rif)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus