Isyarat Bunga




               Pertengahan Bulan November 2017. Saya mendapat tugas, sekaligus pergi belajar ke Lembang, Jawa Barat. Non Goverment Organization (NGO), tempat saya bekerja itu. Kebetulan menugaskan saya, untuk ikut dalam kegiatan “Youth Camp”. Sebuah acara yang digelar oleh konsorsium Mitra Kunci. Di bawah naungan United State Agency of International Development (USAID). Kegiatan itu, dihadiri oleh perwakilan dari lembaga/organisasi  yang bekerja sama langsung dengan USAID. Kerja samanya dalam bentuk program. Ada program kewirausahaan, pemberdayaan anak dan perempuan serta pendidikan daerah tertinggal.

               Karena, program diperuntukan “youth”. Yang artinya anak muda. Tentu, mayoritas yang hadir dalam kegiatan tersebut, anak muda. Dengan  rentan usia 19-24 tahun. Ada dari Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa tengah dan Papua. Kurang lebih total peserta “Youth Camp” ada 30 Orang. Saya cukup senang dan beruntung. Bisa ikut dalam kegiatan itu. Pikir saya, selain memperoleh ilmu dan pengalaman baru, juga teman baru. Syukur, jika teman barunya nanti beda jenis kelamin. hehe 

               Dari NGO, tempat saya bekerja itu. Saya datang ke Lembang, Jawa Barat. Tidak sendirian. Dua rekan kerja saya juga dikirim. Karena syarat umur masih memenuhi. “Eman, kalau kalian tidak ikut Youth Camp, pasti banyak ilmu dan pengalaman baru bisa kalian dapat, disana nanti.” tulis Program Manager melalui grup whatsapp. Saya sebenarnya tahu, ini bagian dari employe empowerment, atau pemberdayaan karyawan. Karena dibalik organisasi sukses, ada karyawan/angota yang berdaya. “Ya benefit buat organisasi, lah” gumam saya dalam hati. (di tempat kerja saya, menyebut profit terlalu kasar. Kita biasa menyebutnya benefit).

               Kita lupakan, pesan Program Manager saya itu.  Tiba di lokasi “Youth Camp”, Lembang, Jawa Barat. Saya bersama kedua rekan kerja. Langsung penasaran, kenapa ? ya, karena kegiatannya ternyata di Hotel. Bukan di alam. Pikir kita, bakalan nge-camp di alam. “eh malah nge-camp di hotel. Ini namanya bukan nge-camp, tapi nge-hotel” kata Lintang, rekan kerja saya itu. lalu tebahak-bahak. Karena di luar ekspetasi kita, saya pun merasa hoki. Jadi tak perlu repot, menyiapkan tenda, kayu bakar dan perlengkapan camping lainnya. 

               Sembari menunggu jadwal kegiatan. Yang baru dimulai malam hari, tepat sehabis Sholat Isya’. Saya dan teman satu kamar. Yang terdiri lima orang dari berbagai organisasi itu. Saling berkenalan. Tak lupa berjabat tangan, juga menepuk pundak sebelah kiri. Memberi kesan tidak kaku dan friendly. Ketika acara dimulai, mata saya tertuju pada banner berukuran 3 X 5 Meter itu. di sana tertuliskan tema “Youth Camp” yakni Indonesian Youth Camp For Inclusive Workforce Develpment Partnership. Benak saya hanya mengingat kata “Inclusive”.

               Kata itu langsung menancap ke pikiran saya. Sebab, dari peserta “Youth Camp”. Ada yang mengalami disabilitas (ketidakmampuan seseorang untuk melakukan akses/sesuatu tertentu). Ada yang tuna rungu (tuli), gangguan syaraf dan tuna netra (low vision dan total). Dalam hati saya mengatakan,” bahasan inklusif,pasti  tak lepas dari teman-teman disabilitas. Karena hubungannya dengan pemberdayaan dan hak-hak mereka”.   

               Benar adanya. Dalam pengarahan awal yang di sampaikan oleh Mitra Kunci. Kegiatan “Youth Camp” nantinya bermuara pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan peserta dalam memfasilitasi dan bekerja bersama teman disabilitas. Meski arahan sudah dijelaskan oleh Mitra Kunci. Saya tak begitu menanggapi serius. Hanya manggut-manggut dan santai. Bagi saya, mereka yang disabilitas sudah memiliki pendamping sendiri. Peserta tuli, sudah memiliki interpreter. Peserta tuna netra sudah mempunyai pendamping, yang bertugas menjelaskan. Agar peserta tuna netra mampu berimajinasi, membayangkan jalannya kegiatan tersebut. Hingga acara rampung tak ada yang beda. Tak ada risau dalam hati saya. Tertidur dan pulas di kamar hotel.

               Pagi harinya, tepat pukul 6.30 WIB. Bersama para peserta dan panitia. Kita sepakat senam bersama. Untuk mengawali kegiatan di hari kedua” Youth Camp” itu. Karena sebelumnya akrab via Whatsapp dengan ketua panitia, ia adalah Rizky. Saya pun ditunjuk sebagai pemandu senam, pagi itu. Saya mencontohkan gerakan sebisanya. Dan mengeluarkan macam gerakan yang ada dalam otak saya. Agar tubuh tetap melakukan gerak. Tidak pasif dan lemas. 

               Sambil begijisan (Bercanda). Saya sebagai pemandu senam. Mendapat intruksi dari salah satu perempuan yang menjadi peserta. Ia tidak berjilbab, kulitnya kuning langsat dan cukup manis. Ia adalah Mbak Teti. Dari organisasi Ayo Inklusif. “ maaf ya, tolong untuk pemandu senam bisa memahami. Karena peserta kita ada yang disabilitas, senamnya jangan cepat-cepat, supaya pendamping bisa menjelaskan gerakan senamnya. Thanks” kata dia, suaranya pun cukup kencang. 

               Saya pun tertegun, mendengar kalimat instruksi tersebut. Setelah saya menengok ke yang lain. Mereka juga ikut tertegun. Bahkan terdiam. Tak terkecuali ketua panitia, Rizky. Lalu, saya mencoba memperjelas intruksi saya. Supaya teman disabilitas bisa menerima pesan saya dan melakukan gerakan yang saya maksudkan. Tetapi, apa ? ternyata lumayan susah. Mungkin juga kali pertama. Melihat kegagapan yang saya alami. Akhirnya, ketua panitia menunjuk salah satu peserta disabilitas untuk menggantikan saya, menjadi pemandu senam. Dan bagaimana hasilnya? Semua peserta, tak terkecuali disabilitas. Mereka bisa menerima dengan baik dan mengikuti gerakan yang diintruksikan oleh pemandu senam, pengganti saya tadi. Dari pengalaman itu, saya mulai paham. Ternyata tidak mudah menerapkan sistem inklusif di lingkungan kita. Selain disabilitas yang belajar memahami mereka yang non disabilitas. Mereka yang non disabilitas harus mau memahami mereka yang disabilitas. Tujuannya satu, terjadi hubungan inklusif. Saling menerima dan saling memahami. 

               Pelajaran berkesan pagi itu, usai. Lanjut kegiatan siang hari. entah kebetulan atau apa. Saya satu kelompok dengan teman disabilitas. Ia tuna rungu (tuli). Padahal secara kasat mata, ia cantik dan anggun. Mungkin itu yang sering orang katakan. Dibalik kekurangan, pasti ada kelebihan. Begitu juga sebaliknya. Tapi, saya juga berpikir. Mungkin prespektif saya ini, salah. Karena banyak juga mereka yang disabilitas. Punya prestasi dan keterampilan. Bahkan melebihi,mereka yang non disabilitas. Jadi tak sepatutnya saya mengatakan mereka memiliki kekurangan. Entahlah. Mana yang baik dalam penyebutan.
               Teman satu kelompok saya yang tuli itu namanya, Bunga Islami. Ia kelahiran Jakarta dan sekarang tinggal di Surabaya. Ia bergabung di Organisasi Ayo Inklusif. Yang di koordinir oleh perempuan kuning langsat tadi, Mbak teti. Lalu, bagaimana bisa saya tahu nama dan alamat  Bunga Islami? Padahal saya tidak bisa. Tepatnya belum bisa, bahasa isyarat. Mudah saja. saya tanya ke interpreternya. Hehehe

               Setelah selesai kegiatan hari kedua itu. Dan sebelum berbaring di tempat tidur. Saya masih penasaran, tentang bagimana cara efektif berkomunikasi dengan mereka yang disabilitas. Khususnya bagi mereka yang tuna netra dan tuna rungu. Hari ketiga, “Youth Camp” membuat saya lebih antusias dan semangat. Hanya sebab, saya ingin bisa berkomunikasi dengan Bunga Islami. Gadis tuna rungu itu. Tak kurang akal. Saya pun minta diajari bahasa isyarat oleh interpreter Bunga. Ia adalah Mbak Dwi.  Tanpa pikir panjang, saya mulai memperhatikan, Mbak Dwi. Mengeja layaknya belajar abjad di kala usia TK. Bedanya, mengeja kali ini memperhatikan gerak jemari dan pergelangan tangan. Setelah cukup hafal beberapa abjad. Saya coba praktikan, lalu berkomunikasi dengan Bunga.

               Cara memanggil nama Bunga, cukup unik. Tangan sebelah kanan berada di samping pipi sebelah kiri. Lalu jemari yang sebelumnya mengepal, dibuka serentak. Seperti simbol bunga yang mekar. Bisa membayangkan to ?

               Saya pun mulai memberitah dia. Bahwa dia satu kelompok dengan saya. ckup mudah bila menyebut “kamu” dan “aku”. Jari telunjuk tinggal diarahkan sesuai siapa yang dimaksud. Tapi begitu menjelaskan kalau dia “Satu kelompok”. Saya harus mengeja abjad. “satu” isyaratnya mengacunkan jari telunjuk. Kemudian “kelompok” saya harus mengeja satu huruf demi huruf. K-E-L-O-M-P-O-K. Dan akhirnya ia mengerti. Sesuatu kesenangan tersendiri bisa berkomunikasi dengan mereka yang disabilitas. Bagi saya, dengan menguasai keterampilan itu. kita benar adanya, mempraktikkan inklusifitas ke lingkungan sekitar. 

               Dari bisa berbahasa isyarat. Semakin sering saya memberanikan diri berkomunikasi dengan Bunga. Meskipun terkadang terbata-bata. Menggerakan jemari sesuai dengan abjadnya. Tapi Bunga juga kooperatif dalam proses belajar saya. Ia sesekali mengungkapkan simbol, dan ada beberapa makna yang tidak perlu dijelaskan dengan abjad. Tapi simbol. Lebih ringkas dan cepat. Misal makan, mandi dan tidur. Itu bisa dipahami dengan gerak tubuh. 

               Bunga dan Youth Camp. Bagi saya adalah pengalaman luar biasa. Selain memberikan banyak pengetahuan dan keterampilan. Saya juga jadi mengerti. Secara attitude, mereka yang disabilitas harus benar dihargai dan didampingi. Juga diberdayakan. Pikiran dan stigma apatis. Sebaiknya dibuang jauh-jauh. Apalagi berprasangka, yang berkewajiban membina dan mendampingi mereka ya anak kuliah jurusan Pendidikan Luar Biasa. Atau para volounter. Ternyata itu pikiran yang menyesatkan. Kita mungkin selama ini sudah ketinggalan jaman. Dengan bangsa yang mulai menerapkan inklusifitas. Baik sarana dan prasarana. Juga edukasi untuk masyarakat sekitar. Kita terkadang takut, iba bahkan acuh pada mereka yang disabilitas. Padahal itu tidak sepatutnya.

Kita sering menuntut mereka untuk mengerti kita. Mari sekarang kita balik. Bagaimana jika kita menuntut diri untuk mengerti mereka ? mampukah kita ? mari kita buktikan. (rif)
              
                

Komentar

Postingan Populer