Cinta





Cinta yang baik
Mampu bertahan dalam kehilangan dan perubahan
Memahami dan menghormati perbedaan-perbedaan

Cinta yang baik
Bergelimang rasa syukur, sederhana dan sabar
Meraih dukungan banyak pihak
Karena harum cinta itu menyebar

                    Bagus Dwi Anto, solois “Sisir Tanah” itu. Seorang Lelaki bertubuh jangkung, berambut gondrong dan gemar mengenakan kemeja flannel. Agaknya ia ingin bersabda, lewat bait lirik yang ia tulis. Bahwa cinta yang baik, kudu ada unsur-unsur yang ia tulis dalam lirik lagunya itu. Tak perlu semua, cukup salah satu unsur. Entah “mampu memahami dan menghormati perbedaan” atau “bergelimang rasa syukur, sederhana dan sabar”.
              
               Pesan itu, mengingatkan saya pada teman saya. Yang sempat berbincang santai sebelum tiba hari akad pernikahan dia dengan sang  calon isteri. Ia terheran-heran, dengan takdir yang kini akan segera ia jalani. Menjadi seorang suami yang bertanggung jawab dan pemimpin keluarga. Pertemuan dengan perempuan yang dia pilih itu. Amat misteri dan tak disangka. Bagaimana tidak, sebelumnya ia mengejar mati-matian seorang perempuan lain, tetapi tak kunjung ada kepastian. Tak hanya itu, orang tua pun juga tak merestui, jika kelak ia bersanding dengan perempuan yang dikejar-kejarnya itu. Ia pesimis, ia gundah dan patah arah. Untung, marahnya cukup artistik. Meluapkan segala kegundahannya melalui karya sastra. Adalah sebuah Puisi, yang ia pilih untuk ungkap segala rasa dalam hatinya itu.

               Kebuntuan itu segera terjawab. Tatkala ia secara tiba-tiba mulai intens berkomunikasi dengan sahabat perempuannya. Yang kerap diajak berdiskusi dan berbagi itu. Hingga ia merasakan ada rasa ketertarikan dengan sang gadis. Ya, karena si gadis kerap melatih anak-anak melalui keterampilan yang dimilikinya. Handycraft.  Berawal dari teman, yang sama sekali tak terpikirkan akan jadi calon isterinya itu. Ia mengungkapkan, “ aku tak menyangka akan berjodoh dengan dia. Yang kepribadiannya amat berbeda denganku.” Dia pun melanjutkan perkataannya, “bayangkan saja, saya orangnya sangat agresif dan aktif, apalagi ketika Mahasiswa dulu. Tapi dia (calon isteri), orangnya tenang, kalem dan santai. Tapi kenapa tiba-tiba saya tertarik denganya ya? ”  pungkasnya lalu tertawa. Mungkin benar, resiko mencintai harus memahami dan menerima perbedaan. Seperti bait lirik “lagu cinta” Sisir Tanah. Juga suatu misteri yang tak bisa diramal. Seperti kata Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir 12, “Cinta, ia terus mengembara, mencari terus menerus, mencoba memasuki misteri yang dihadirkan Tuhan.”

Cinta memang kerap tersuguh bersama misteri. Yang terkadang tak pernah terencana baik. Ia merangkul jiwa seseorang begitu saja. Dan pula terlepas begitu saja. Ia hadir serupa energi. Memberikan dorongan, harapan, juga kebaikan-kebaikan. Malah terkadang, bisa saja jadi candu. Karena tanpanya terasa tersiksa. Juga keburukan yang membuntuti. Setidaknya itu opini subyektif saya.

Tiap orang tentu berbeda dalam menafsirkan cinta. Ada yang sangat universal, spesifik bahkan hanya berorientasi hormonal saja. Tidak ada yang salah. Setiap insan berhak menerjemahkan “cinta” itu bagaimana ? bebas saja.  Sesuai pengalaman dan pengetahuan.

Ada satu novel menarik perhatian, sekaligus cara pandang saya. Terutama tentang cinta. Adalah karya Pramoedya Ananta Toer “Bumi Manusia”. Dalam novel klasik itu, Tokoh utama Minke. Ia dinasehati oleh Jean, seorang mantan serdadu, sekaligus teman curhatnya. Walaupun umur keduanya terpaut amat jauh. Mereka berkawan akrab. Kurang lebih seperti ini nasehatnya Jean pada Minke. “Lagi pula tak ada cinta muncul mendadak, karena dia anak kebudayaan. Bukan batu dari langit.”

Pernyataan yang simple. Tapi, jika diterjemahkan tak sesimple itu. Agaknya, sebagai pengarang ternama. Bung Pram ingin menyampaikan pesan. Bahwa cinta itu muncul karena kebiasaan-kebiasaan. Juga usaha-usaha yang mengikutinya. Tak cukup, jika hanya menengadah dan berserah. Pram dilahirkan dari ayah yang seorang Nasionalis-Kiri. Bukan kalangan Agamis. Maklum, jika kata-kata dalam novelnya itu. Lebih menekankan pada usaha. Bukan hanya berdoa saja. Mungkin saya satu dari sekian banyak orang.  Yang cukup sepakat dengan “cinta itu anak dari kebudayaan”.
Tahun 2011, Waktu itu adalah dimana saya duduk di bangku Kelas 12 SMA. Saya mempunyai teman lawan jenis yang cukup pintar di mata pelajaran Biologi. Dia orang yang tenang, kalem dan tak eskpresif. Watak kalem itu,  mungkin warisan pendidikan pondok pesantren yang pernah ia tempuh selama duduk di bangku Madrasah Tsanawiyah (Mts) .  Tak perlu saya sebutkan namanya. Saya dengan dia hanya satu tahun sekelas, tepat kelas 11 SMA. Lalu mengenalnya, tapi tak terlalu akrab. Bahkan biasa saja. Saya mulai akrab dengan dia, ketika duduk di bangku kelas 12 SMA. Karena waktu itu kelas kami bersebelahan. Saya kerap berdiskusi dengan dia tentang mata pelajaran (mapel) Biologi. Karena saya tak mahir di mapel tersebut. Sedangkan dia sering bertanya pada saya tentang mapel Fisika. Kebetulan, saya cukup mahir di mapel itu. ya, mungkin karena senang saja. Jadi belajarnya lebih serius.
Kami juga sering bertukar info seputar materi yang keluar saat ulangan harian. Kita tahu, Guru yang sama, akan memberikan soal ulangan harian yang sama pula di kelas lain. Kadang lebih ekstrem, saya duplikat lembar soal ulangan harian itu untuk dia. Supaya ia mempelajarinya. Begitu pun sebaliknya, Ia juga lakukan hal itu untuk saya. Meski sekedar balas budi. Perilaku yang cerdik namun tak selayaknya ditiru. Tentu kalian pernah menyontek kan ? hehe
Sejak itu, komunikasi kami semakin intens. Dan saya pun menyampaikan isi hati ke dia, lewat pesan singkat sms, bahwa saya menyukai dia. Maklum, waktu itu belum booming whatsapp. Bagi perempuan, mungkin ini perilaku tak gentle. Tapi bagi saya bukan begitu, ini hanya soal metode. Toh, tujuannya sama. Dan benar adanya. Ia membalas pesan saya cukup singkat. “buktikan !”.
 Lalu saya mencoba membuktikan sebisa saya. Era itu, lagi rame-ramenya anak  Street Art di Sekolah. Saya pun menggambar sesuatu di kertas loost leaf, lalu saya lampirkan ke dalam amplop besar warna coklat. Sepulang sekolah, saya serahkan amplop itu kepada dia. Dia hanya tersenyum dan berjalan tergesa-gesa untuk pulang. Saat itu tak ada salam apapun. Sorenya, saya kirim pesan singkat via sms, “Bagaimana jawaban dari isi amplop coklat tadi ?”. ia balas pesan saya, singkat dan magis. “ Bismillahirohmanirohim, iya”. Itu artinya, dia menerima isi hati saya. Juga sebuah bukti yang sederhana. hehe
 Pasca kejadian itu, tak menyangka saya mendapat juara 2 di kelas. Mungkin itu, hal luar biasa yang timbul berkat cinta. Atau hanya sebatas ilusi, tentang apa yang dimaksud ambisi memiliki. Entahlah. Usia remaja memang rentan inkosistensi. Buktinya, kini, saya dan dia jadi teman yang tak lagi akrab.
Amat sederhana, kisah memahami cinta, saya dan teman saya itu. Ada yang lebih bercampur-aduk, kacau,  menjengkelkan bahkan membingungkan. Ketika kita mencintai seseorang tanpa tendensi, dan terjadi secara natural. Tetapi kita tak sempat membalasnya. hingga tiba, jiwa yang kita cintai itu, tak lagi menetap pada jasad.
Peristiwa yang aneh, tapi patut kita imani. Seminggu lalu, teman saya satu desa, teman satu kos, teman satu kota rantau. Tiba-tiba langkah kaki terasa berat, mata memerah, wajah muram dan mulut gemetar.  Ketika mengucapkan sepatah kata. Innalilahiwainalilahirojiun. Seorang yang mengandung dia kurang lebih selama sembilan bulan, sepuluh hari. Dan melahirkannya ke dunia itu, telah wafat. Kematian memang misteri, tidak ada yang pernah tahu-menahu, kapan takdir akan menjemput. Bahkan teman saya pun tak akan terima dan sulit percaya. Jika lima jam sebelum ibunya meninggal, sempat bercanda dengan dia melalui gawai. Dan apa yang jadi bahan candaan ibu kepada anak, tak direspon serius. Padahal bisa jadi,  itu adalah pesan terakhir untuknya. “Kapan mantuk, le? ojo lali dikenalkan ceweknya yo” Mungkin itu pesan kekhawatiran seorang ibu, juga keinginan. Jika anak terakhirnya itu agar segera mudik ke rumah. Teman saya itu, bekerja sebagai perawat di Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang.
Tepat pukul tiga dini hari. Hidung seorang ibu yang rutin menempel di pipi teman saya, kala Idul Fitri itu. Tiba-tiba mengeluarkan darah. Dan ia tidak sadarkan diri. Lalu dibawalah ke rumah sakit terdekat, tetapi takdir berkata lain. Seorang ibu berusia lima puluh dua tahun itu. Telah terlepas roh dari jasadnya. Ia meninggal dunia. Akibat serangan stroke akut, ibu teman saya itu punya riwayat hipertensi. Teman saya yang dikabari kondisi ibunya sakit di rumah. Segera bergegas pulang mengendarai sepeda motor dari Malang ke Nganjuk. Ia pucat, ia lemas, air matanya menetes tak terbendung. Tatkala ia sampai di rumah,  lalu melihat ibunya telah terbujur kaku mengenakan kain kafan.
 Itulah kenapa, cinta tak selalu hadir penuh kebahagiaan. Malah terkadang juga kepedihan. Mungkin inilah  sebuah risiko cinta itu sendiri. Bahkan cinta itu tak menuntut terbalas, impas. Ia terus-menerus memberi tanpa perhitungan untung rugi. Cinta berani lepas dari hal itu. Bahkan semenjak roh tak lagi bersama jasad. Cinta akan selalu hidup. Dalam senyap, gumam dan harap. (rif)






              
              

Komentar

  1. Judulnya cinta seperti lagunya D'Bagindaz. Wkwkwkwk. Tapi keren. Pengamatan dari orang-orang sekitar. Ide-ide yang unik menurutku. Hohoho. Semangat menulis, Mas Ri ...

    Salam.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer