Coaching





               “if you ever studies in Non Formal Education. Maybe, you will hear some professions, for example; facilitator, trainer, volounteer and lecture. But there is one professions that is foreign to us. And perhaps not many lectures know this. The professions is Coach. We need to understanding, Coach not only for sport activities. There are many kinds. Coach of economic empowerment. Companies, organization and education...” tulis saya dalam sebuah akun media sosial pribadi, 27 Januari 2018. 

               Sebuah tulisan itu, biasanya lebih tren dengan sebutan caption. Yang artinya sebuah keterangan. Keterangan apa ? tentu sebuah keterangan dari gambar yang terupload di media sosial tertentu. Saat itu, gambar yang  telah saya upload adalah foto bersama, pasca kegiatan Training of Coaching di Hotel Cleo, Jemursari, Kota Surabaya. Sebuah kerjasama kegiatan antara NGO’s tempat saya bekerja, yakni Prestasi Gemilang Junior Indonesia dengan Coaching Indonesia. Dan kegiatan ini terlaksana berkat United State Agency of International Development (USAID). 

               Dari caption yang saya tulis itu. Sebenarnya saya ingin merefleksi diri sendiri. Khususnya berkenaan dengan coaching. Bagi saya, yang telah belajar kurang lebih empat tahun- tiga bulan di jurusan Pendidikan Luar Sekolah Universitas Negeri Malang.  Atau orang menyebutnya “PLS UM”. Sungguh pun saya berpikir.  Jika coaching itu, bagi saya ada keterkaitannya dengan ilmu Pendidikan Luar Sekolah. Karena tujuan coaching itu sendiri,yakni mendidik dan menyadarkan masyarakat yang mengalami permasalahan, melalui penggalian potensi yang dimiliki. Sederhananya, menyelesaikan masalah secara mandiri oleh diri sendiri.

               “Coaching adalah sebuah hubungan kemitraan, melalui proses kreatif yang bertujuan  mengetahui atau mengeluarkan potensi seseorang demi tercapai tujuan tertentu” jelas Mrs. Laurencia Lina di awal sesi Training of Coaching

               Apa yang dikatakan Mrs.Lina. Syahdan, membuat saya berpikir jika coaching adalah strategi mendidik seseorang, untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan potensi dimiliki seseorang. Hanya saja, terkadang seseorang belum menyadari hal tersebut. Juga belum bisa mengeluarkanya, karena terkendala kondisi tertentu. Adalah sebuah masalah.

               Ketika proses training berlangsung, saya cengar-cengir. Dan benak saya pun mengatakan, “ ini kan ya tujuannya PLS, menyadarkan seseorang, lalu menggali potensi yang dimiliki dan membuat seseorang bisa berdaya secara mandiri. Atas suatu masalah yang sedang dialami”. Waktu itu juga, saya semakin bersemangat mengikuti kegiatan tersebut. Karena saya merasa mendapat ilmu baru dan pengalaman baru yang kaitannya dengan PLS. 

               Ketika proses training. Kami, para peserta diberikan beberapa lembar kertas dan juga modul yang terjilid rapi dengan kawat melingkar dibagian pinggirnya. Modul yang isinya sekitar tujuh puluh persen, Bahasa Indonesia dan sisanya tiga puluh persen, Bahasa Inggris itu. Seperti biasa, hanya saya buka sekilas. Karena saya belum merasa tertarik dengan modulnya. Saya lebih tertarik dengan penyampaian dari Coachnya,yaitu Mrs. Lina. Karena selain cantik, juga pembawaan yang tenang. 

               Pada sesi materi teknik coaching, jujur membuat saya makin antusias. Etos belajar semakin  meningkat.  Ya, mungkin ada hubungan dengan pekerjaan yang harus saya lakukan di Trenggalek dan PLS. Jadi saya bersungguh-sungguh  memperhatikan tiap materi yang disampaikan oleh Mrs.Lina.

               Perempuan asli Kota Solo itu. Mengajarkan pada kami, tentang bagaimana teknik mengcoaching yang tepat dan benar pada seseorang. intinya, seorang coach, sebutan bagi seseorang yang mengcoaching. Harus memiliki kemampuan mendengar yang baik. Dan juga amat penting adalah sikap present, atau merasa hadir. Pikiran tak boleh begentayangan kesana-kemari. Artinya fokus pada si coache, sebutan bagi mereka yang ingin dicoaching.  Begitu modal awal yang harus dimiliki dan disadari oleh seorang coach

Dan tak kalah sulit, juga menantang dalam profesi coach. Seorang coach harus sebisa mungkin menghilangkan prasangka dan asumsi. Karena jika dalam benak dan pikiran coach teracuni oleh asumsi. Proses coaching tidak akan berjalan mengalir. Nantinya dalam proses tersebut akan cenderung mengarahkan si coache. Dan ini adalah sikap yang harus dihindari dalam sesi coaching. Karena jika diteruskan, bahkan dibiarkan. Si coache, dalam memutuskan sesuatu nantinya tidak dari hati dan potensi yang dimiliki, namun berkat arahan dari si coach, yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan solusi pemecahan masalah si coache

Kehadiran diri (present) dan berusaha tidak berasumsi adalah kunci sukses dalam sesi coaching. Namun, masih ada yang lebih penting, yaitu pertanyaan. Yang dimaksudkan dalam pertanyaan disini adalah seberapa terampil coach bertanya kepada si coache dan menemukan kata kunci permasalahan yang dialami si coache. Karena jika tak terampil, proses coaching akan berlangsung tidak terarah dan mbulet

Pertanyaan seorang coach kepada coache, amat berbeda dengan seorang wartawan. Juga peneliti. Jika seorang wartawan dan peneliti, memiliki kekuatan bertanya “why” atau kenapa. Yang dimaksudkan bisa menggali lebih dalam sebuah informasi. Namun, amat berbeda jika sebuah pertanyaan terlontar dari mulut seorang coach. Seorang coach, pertanyaan yang wajib adalah kata tanya “Apa” dan “Bagaimana”. 

Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perasaan coache yang sensitif. Tanda tanya “kenapa” itu cenderung pertanyaan yang intimidatif. Misalnya saja pertanyaan mana yang membuat anda lebih nyaman; (1) Kenapa anda telat masuk kelas ? dan (2) Apa yang membuat anda telat masuk kelas ? silahkan anda rasakan sendiri, pertanyaan mana yang lebih baik dirasakan dihati dan membuat seseorang nyaman ? 

Tetapi, semuanya memiliki konteks masing-masing. Begitu juga pertanyaan, ia memiliki tempatnya masing-masing. Saat menjadi wartawan trainnee di Radar Malang dulu, tentu  pertanyaan “kenapa”, “mengapa”, itu sangat penting bagi seorang wartawan. Karena profesinya bertugas untuk menggali sebuah informasi yang mendalam, detail dan ekslusif. Dan jika menggunakan kata tanya “apa”,  saya rasa kata tanya tersebut kurang tepat, jika seseorang itu berprofesi sebagai peneliti atau wartawan. Apalagi yang kita tanya adalah seseorang yang terindikasi korup, tentu sebaiknya menggunakan kata tanya yang intimidatif. 

Kembali soal coaching, dalam kurun  waktu dua hari training of coaching itu. Proses belajar berjalan berimbang. Antara teori dan praktik.  Jadi, setelah pemberian materi secara teori, para peserta langsung dipersilahkan untuk praktik langsung. Dan memilih pasangan yang akan dicoaching. Sebuah pengalaman pertama, dan amat sulit jika di praktikkan. Bagaimana tidak, kita harus terlepas dari asumsi, harus netral, tidak boleh mengarahkan, fokus pada cerita si coache. Dan dugaan saya, hal ini akan teramat  sulit bagi mereka yang biasa banyak omong, atau nggacor. Untuk jadi seorang coach. 

Bayangkan saja, ketika si coache bercerita mengenai problemnya. Kemudian dia tidak bisa mengatasi problem itu. Dan sebenarnya kita tahu, bagaimana cara mengatasinya. Karena bisa jadi itu mirip dengan pengalaman kita. Tapi kita harus taat pada etika coach. Tidak boleh memberi tahu, hanya berikan “pertanyaan jembatan”. Boleh memberi tahu, jika saja seorang coache meminta saran dan pendapat ke coach. Lalu jika coache, tidak meminta saran dan hanya diam dan kebingungan. Bagaimanakah ? ya begitulah rasanya, “mungkin lidah sudah terasa gatal dan rasa sebal” canda teman saya. 

Pertanyaan jembatan yang saya maksud, misalnya;  (1) Apa ide anda ? (2) bagamana langkah anda, untuk meminimalisir risiko ? (3) apa langkah anda terdekat untuk mencapai kondisi ideal ? (4) Seperti apa kondisi saat ini ? (5) apa yang menjadi prioritas anda memilih hal itu ? (6) jika di prosentasekan, seberapa yakin anda dengan langkah itu ? (7) Apa yang perlu disiapkan untuk mencapai tujuan anda ?

Kurang lebih seperti itu, contoh pertanyaan dalam proses coaching. Coaching berbeda dengan konsultasi dan konseling. Konsultasi (bisa mengarahkan dan orientasi masa depan) sedangkan konseling (orientasi pengalaman masa lalu, tidak wajib mengarahkan). Sedangkan coaching itu sendiri, peleburan antara keduannya (orientasi masa depan dan tidak boleh mengarahkan).

Lewat Training of Coaching. Pertanyaan yang selama ini terngiang di benak saya. Bahwa coach hanya istilah untuk olahraga. Ternyata salah besar. Karena coach di era saat ini,menjadi sebuah aktivitas non formal yang bermanfaat. Mengenali potensi seseorang untuk menyelesaikan masalah tertentu. Sebuah pendidikan, juga solusi alternatif. Apalagi dalam aplikasinya,  coaching  melakukan prinsip pendidikan orang dewasa. Yaitu orang dewasa cenderung mengenal konsep diri, tidak mau digurui dan  belajar dari pengalaman. Dan terlebih, lewat coaching, seseorang dituntut menjadi lebih mandiri dan getle dalam menghadapi setiap masalah. 

Dari coaching, saya banyak belajar, bahwa menjadi coach itu cukup sulit. harus menahan diri, mempunyai kemampuan mendengarkan (jadi pendengar yang baik), diperlukan kesabaran, ketelatenan dan keikhlasan, present (kehadiran diri), Dan amat penting tidak boleh berasumsi atau harus bersikap netral. 

Bahkan dari refleksi coaching pula, saya berkesan, orang yang introvert tak mesti jauh lebih buruk daripada orang yang ekstrovert. Mereka yang pendiam tak banyak bicara, terkadang justru  memiliki kemampuan mendengarkan yang jauh lebih baik. Dan tak jarang, biasanya mereka adalah tempat  nyaman dalam mencurahkan isi hati dan pikiran. 

"Seorang coach tidak harus lebih baik dan lebih berpengalaman dari coache. Layaknya petinju Muhammad Ali, apakah coachnya lebih baik dari dia? Jawabannya adalah tidak," ujar seorang fasilitator profesional pada saya, ketika in house training, tahun lalu.   " Seorang coach punya tugas tersendiri. Bagaimana membuat si coache disiplin latihan, mempunyai tujuan besar, harapan besar dan langkah-langkah untuk direalisaikan si coache," pungkas fasilitator itu.

Dan kita pun akhirnya tahu, kenapa profesional coach itu dibayar per/jam. Bahkan Alex Ferguson, mantan coach dari salah satu klub sepak bola ternama di liga Inggris itu. Yang sekarang telah purna. Berkat profesinya, berkat jasa dan usahanya selama jadi coach. Tidak main-main, ia diberikan gelar “Sir” oleh Ratu Inggris. Sungguh sebuah klimaks yang bersahaja. Kita tahu, “Sir” adalah sebuah penghargaan bagi mereka yang memiliki dedikasi luar biasa. Baik pada kemanusiaan, juga Inggris.

Tapi ada yang lebih penting dari Alex Ferguson dan Pelatih Muhammad Ali. Saya jadi tahu,  Di surat kontrak kerja itu , yang sudah saya tanda tangani tiga bulan lalu. Menyatakan bahwa saya kerja di NGO’s  sebagai coach kewirausahaan. Akhirnya terjawab sudah, jika tugas seorang coach; Jangan berasumsi, present dan telaten, ketika mendampingi si penerima manfaat program. (rif)



              
              

Komentar

  1. biasanya lebih tren dengan sebutan caption. Yang artinya sebuah keterangan. Keterangan apa ? tentu sebuah keterangan dari gambar yang terupload di media sosial tertentu.
    https://m.sabungayamlive.site/

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer