Misionaris



Kapan anda terakhir berkorban demi agama atau juga keyakinan ? saya tak berharap anda menjawab,  “Ikut Demontrasi Bela Agama”. Iya, saya tahu berkorban tak boleh dipamerkan. Apalagi demi keyakinan dan agama. Lalu bagaimana, ketika kita berkorban demi agama, namun justru eksistensi agama itu sendiri membuat kita meragu ?  Sungguh langkah yang kontradiksi. Tapi itu ada. Juga nyata.

Silence, sebuah film karya Martin Scorsese itu. Agaknya sedikit menyindir kita. Lewat agama dan keyakinan. Dalam film berdurasi hampir dua jam, hening dan tak ada kesan jenaka itu. Si sutradara, seolah-olah ingin menguliti fenomena yang jarang kita resapi sebelumnya. Seperti, Apa itu iman ? apa artinya martir ? layakkah kita mendapat pengampunan ?

Tepat di tahun 2016 lalu. Saya diajak menonton film Silence oleh teman saya. Kesan awal menonton cukup membuat saya merasa iba dan penasaran. Bagaimana tidak ? di adegan awal film. Seorang pendeta dari luar Jepang. Dan pengikutnya yang mayoritas orang Jepang itu. Dipasung tangannya dengan rantai, yang saling terkait antara orang satu dengan yang lain. Diarak menuju suatu tempat oleh para pasukan kesogunan Tokugawa. Di tempat itu, dikesunyian itu, pendeta dan para pengikutnya diberikan sebuah pilihan yang berat dan tak manusiawi oleh pasukan Tokugawa. Murtad dengan dibuktikan menginjak fumie,sebuah papan batu dimana terpampang ukiran Yesus. Atau disiksa, dipukuli, hingga mati. Mayoritas dari mereka memilih mati. Dan tiba saat pendeta itu memilih, adegan ter-skip. Ini yang membuat saya penasaran. Si Pendeta memilih murtad atau mati, demi agama dan keyakinanya ?

Dua misionaris muda asal Portugal. Tergerak hatinya mengabarkan injil ke Jepang. Dan memastikan bahwa seorang imam Katholik, Fahter C Ferreira. Yang lebih dahulu melaksanakan misi agung Ketuhanan itu. tidak benar-benar menyangkal iman (murtad) karena disiksa Oleh Kesogunan Tougawa, ketika menyebarkan keyakinan, Katholik.

Kedua misionaris muda itu adalah Rodrigues dan Garupe. Mereka pemuda taat dan pemberani. Meski belum pernah ke Jepang sebelumnya. Keduannya bertekad kuat ingin menyebarkan agama Katholik di negara “matahari terbit” itu. Di bawah pemerintahan Kesogunan Tokugawa pada abad 17, yang terkenal otoriter dan kejam itu. Sebenarnya mereka sudah diperingatkan oleh imam setempat, bahwa nyawa akan jadi taruhan. Jika keduannya tertangkap oleh pasukan Tokugawa. Seperti para misionaris-misionaris sebelumnya.

Tapi, yang namanya anak muda. Sikap berapi-api tentu lebih ditonjolkan, risiko apapun akan menjadi nomor sekian. Apalagi jika misinya berhasil, keduannya akan lebih khusyu’ dan menebal iman pada Yesus. Jika pun gagal, setidaknya mereka mati di jalan yang benar lagi baik. layaknya setiap agama akan meyakini hal itu. Biasanya kita anggap sebagai mati syahid. Sebuah kegagalan yang dilalui proses kebaikan-kebaikan sebelumnya. Asalkan ada niat, kuat. Terlebih cinta yang melekat.

Ada dua misi, yang akan Rodrigues dan Garupe jalani dan ingin tahu. Pertama, memastikan bahwa imam besar kepercayaan mereka, Ferreira.  Tidak menyangkal iman (murtad) dan masih hidup. Kedua, menyebarluaskan ajaran injil ke Jepang.

Dalam perjalanan menuju ke Jepang. Kedua misioaris itu menaiki kapal. Dan sebuah takdir Tuhan juga. Keduannya dipertemukan dengan pemuda pemabuk berat asli Jepang. ia kemudian menemani perjalanan dua misionaris ke Jepang. Dengan memberikan upah yang telah disepakati sebelumnya. Pemuda tadi, menghantarkan kedua misionaris itu sampai ke sebuah pulau terpencil di Jepang.

Di sebuah pulau itu, di sebuah desa diatas bukit yang sunyi. Dan terpampang gubuk-gubuk yang reot itu. Terdapat beberapa kelompok warga yang tetap mempercayai agama Katholik, jadi tuntunannya. Dengan penuh risiko, kelaparan dan dirundung rasa ketakutan setiap hari. Karena pada waktu itu, agama Katholik dilarang di Jepang. Dan jika ketahuan, penganutnya akan dipersekusi.

Melihat keadaan seperti itu, Kedua Misionaris, Rodrigues dan Garupe. Tak kuasa menahan tangis dan haru. Karena kondisi disana tak sesuai bayangan mereka. Dan tentunya lebih buruk dari bayangan mereka. Beberapa warga menyambut keduanya bak pahlawan sekaligus pendeta yang bisa memberikan keberkahan bagi mereka. Mereka, para warga di desa itu. Kedatangan Rodrigues dan Garupe membuat semua warga berkumpul dan memanjatkan sebuah doa bersama. Tentunya dipimpin oleh misionaris muda itu.

Pelan-pelan, kedatangan misionaris itu terendus oleh pasukan Kesogunan Tokugawa, Secara bertahap juga, desa itu tersinyalir menyelundupkan pendeta dari luar ras-nya mereka. Cukup mengerikan. Untuk memancing keluar kedua pendeta muda itu. Pasukan Tokugawa, menyandera nyawa pemimpin adat dari desa terpencil itu. Jika dalam tempo dua hari tak kunjung ada yang mengaku. Maka pemimpin adat itu, akan tamat riwayatnya.

Kondisi itulah yang memaksa Rodrigues dan Garupe, menyerahkan diri pada pasukan Tokugawa. Bersama beberapa penganut, Rodrigues dan Garupe diarak ke suatu tempat. Melewati pesisir pantai. Entah, kemana mereka akan dibawa. Namun di tengah perjalanan dan lokasi masih disekitar pesisir pantai. Beberapa penganut dan Garupe. Diajak menumpangi sebuah kapal rakit. Mereka dalam kondisi tangan terikat dan tubuh yang terikat pula. Kapal rakit itu menengah menuju laut. Dan apa yang terjadi ? mereka semua di jatuhkan satu-persatu ditengah laut dalam kondisi tubuh dan tangan terikat. Akhirnya, mereka semua, mati.

Rodrigues terisak tangis dan berteriak amat kencang, melihat hal itu terjadi pada kawan seperjuangan dan para penganut Katholik itu.  Dalam isak tangis, dia membatin dan bertanya dalam hati, “ Dalam keadaan tersiksa seperti ini, kenapa Tuhan tak membantu kami”. Sebuah gejolak yang dalam sepertinya dirasakan oleh seorang pendeta muda itu.

Hingga tinggal Rodrigues yang tersisa dalam perjalanan penyiksaan itu. Mungkin sebuah strategi Tokugawa, dan sedikit drama hiburan. Bahwa ia ingin menunjukkan sesuatu yang penting pada Rodrigues. Ini menyangkut imam besar mereka, Ferreira. Dan itu cukup membuat Rodrigues penuh sesal. Imam besar yang ia segani dan hormati itu. Ternyata telah murtad dari keyakinannya. Ferreira, seorang pendeta dan misionaris itu telah meninggalkan agama Katholik dan berpindah ke agama Budha. Keyakinan mayor masyarakat Jepang, pada masa itu. Dan ia telah menginjak fumie.

“Mana yang lebih mulia: memegang teguh kepada iman apapun harganya atau mengingkarinya demi menyelamatkan orang lain ?” kata Ferreira dengan suara lirih kepada Rodrigues.

Rodrigues yang menyesalkan hal itu, ia hanya menangis penuh kekecewaan. Di depan imam besar yang ia segani itu. Ia hanya bisa meronta, menahan amarah dan rasa kecewa amat dalam. Mata sembab, sesekali kepala menunduk. Juga kepalan tangan yang tak hentinya menggetam kuat.
“Aku tak percaya, kau melakukan hal ini. Aku akan tetap memegang teguh imanku kepada Yesus” ucap Rodrigues kepada Ferreira. Lebih lanjut, Rodrigues mengatakan,“Aku siap menerima resiko apapun dengan iman” pungkasnya penuh keyakinan. Percakapan seingat saya, antara Rodrigues dan Ferreira.

“Baiklah, tapi perlu kau ketahui. Sebenarnya aku juga menyesal melakukan hal itu (menginjak fumie). Tapi ada yang lebih menyakitkan jika aku tak melakukannya. Mereka (pengikut) akan disiksa hingga mati oleh Pasukan Kesogunan Tokugawa. Dan parahnya mereka mati, karena aku” ungkap Ferreira.

Lebih gamblang Ferreira menambahan,“Dan dari pelajaran itu, kini aku belajar banyak di Jepang. Tentang teologi, sosiologi dan kebudayaan. Aku mengajar banyak hal yang bermakna ke sesama manusia. Bukankah itu tugas kita sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Saling mengasihi dan memberi. Sungguh kesia-siaan jika kita ingin merubah, bahkan memaksa masyarakat Jepang untuk menganut keyakinan kita. Itu diluar kuasa kita”

Rodrigues tak menghiraukan hal itu, yang ada ia hanya amat kecewa dengan Ferreira. Betapa pun bermakna tiap perkataan, jika yang mendengar sudah tak peduli. Yang tersisa hanya kata yang menyublim.

Melihat keputusan Rodrigues yang tak mempan dengan nasihat Ferreira. Pasukan Tokugawa pun geram. Dan membawa dia beserta beberapa pengikut yang masih tersisa. Dibawa ke sebuah tanah lapang yang ada di dalam kerajaan tersebut. Eksekusi pun dilakukan. Sama persis dengan Ferreira, cara Kesogunan Tokugawa memperlakukan Rodrigues agar murtad dari keyakinannya. Para pengikut itu pun digantung, dengan posisi kaki di atas dan kepala di bawah. Dan tepat, di bawah kepala ada tanah yang dilubang. Untuk wadah, jika kepala para pengikut itu usai dipenggal.

Pilihan yang amat menggetirkan, juga sebuah kesempatan terakhir yang sulit. Sebuah pilihan yang tak bisa terpilih. Antara menginjak fumie atau kepala si pengikut tepenggal. Di saat perkara seperti itu, sontak Rodrigues menunduk dan memohon kepada Yesus. Juga bergumam harap, “disaat seperti ini, kemanakah engkau, Tuhan. Apakah engkau tak tahu penderitaan anak-anakmu” sungguh sebuah renungan pesimisme dari seorang misionaris muda.

Sambil menatap ke para pengikut, juga fumie yang ada di depan langkahnya itu. Dalam film itu pula,tiba-tiba ada suara gaung Yesus dari sebuah fumie itu, yang seolah mengijinkan Rodrigues untuk menginjak fumie demi keselamatan orang lain.

Sebuah langkah yang berat, lagi pelan. Diiringi air mata yang menetes penuh penyesalan. Rodrigues pun akhirnya menginjak fumie itu, dengan kaki kanannya. Kira-kira tak sampai tiga detik. Ia melepaskan pijakannya itu, dan menangis menderu sambil menciumi fumie yang terdapat ukiran gambar Yesus disalib itu. Dan secara kasat mata, itu artinya Rodrigues telah menyangkal imannya. Atau murtad.

Semenjak itu, ia telah menetap di Jepang dan menikah dengan orang Jepang pula. Ia menjalani hari-hari tak seperti biasanya. Itu karena ia telah menjadi Budha. Dan mulai mendalami ajaran-ajarannya, meskipun masih setengah-setengah. Stress dan rasa sedih yang berlarut. Akhirnya tertumpuk dan membuat Rodrigues jatuh sakit. Hingga akhirnya meninggal.

Ada yang menarik dalam upacara pemakaman Rodrigues. Sebuah pemakaman ala Budha, kala itu. Dimana tubuh Rodrigues dimasukan dalam tong besar dan dibakar. Di dalam tong cukup besar itu, di tengah kobaran api yang menyala-nyala. Rodrigues meninggal dengan mengenakan kalung salib di lehernya. Itu karena berkat istri yang berusaha mencuri moment. Dan memasangkan kalung salib di leher Rodrigues.

Kisah Rodrigues, mengingatkan pada kita. Sebuah keyakinan memiliki tempatnya tersendiri. Yang tak bisa dipaksakan, ketika tempat itu belum siap untuk sebuah keyakinan. Dan kita tahu, hanya Tuhan yang punya kuasa akan tempat itu sendiri. (rif)


Komentar

  1. Ternyata ini review. Kalau bikin review, perjelas di dalam judulnya, Yan. Gaperlu sama dengan judulnya pun gapapa. Semisal; ngereview film Bayi Ghaib terus pesan yang inti dari reviewnya adalah cinta keluarga. Judulnya misal jadi; Perjalanan Cinta Keluarga dalam Bayi Ghaib. Semisal Bayi Ghaib itu buku dan penulisnya Rian F, judulnya jadi; Perjalanan Cinta Keluarga dalam Bayi Ghaib, Rian F.

    Perhatikan peletakan kata pesimis, pesimisme dan sejenisnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iku soal e ndam paham lek review piye teknis penulisan e Pop. Kadi tak buat sebisa gtu.

      Oke Pop. Makasih yo udah diingatkan soal iku. Kalau tambah "me" nanti jadinya sebuah aliran ya. Hehe

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer