Kado



Anda tentu sering dengar slentingan quote bijak. “Jangan tanyakan apa yang diberikan negara kepadamu, tapi tanyakan apa yang sudah kamu berikan pada negara.” Anggapan saya, jika konteksnya negara (red:pemerintah).  Quote seperti itu tak usah  disikapi serius. Alasannya sederhana. Kerap kali negara telah mencederai sebuah kado yang diberikan rakyat kepadanya.

Apa buktinya ? Mungkin anda sering dengar, berita tentang veteran atau mantan pejuang kemerdekaan Indonesia yang saat ini hidupnya miris. Berjualan buah di trotoar jalan. Atau tergeletak tak berdaya di kasur, akibat sakit yang diderita, hingga tak sanggup bayar ke rumah sakit. Ada juga, mantan atlet Indonesia yang sempat membawa harum nama negara, justru sekarang hidupnya tak sejahtera. Kebalikan, gaya hidup napi koruptor di penjara justru amat mewah dan terpenuhi.

Akhir-akhir ini, bahkan sedekade ini. Kebaikan rakyat tak dibalas setimpal oleh oknum-oknum pejabat negara. Buktinya, sudah berapa banyak pejabat negara yang terkena sidak Operasi Tangkap Tangan (OTT) dari KPK. Para pejabat itu melacurkan dirinya demi selembar kertas kekuasaan, atau uang. Ini artinya, kebaikan rakyat tak dibalas semestinya oleh negara (red:pemerintah). Mereka yang tertib membayar pajak, mereka yang menaati undang-undang, mereka yang sudah lakukan segala kewajiban pada negara. Tapi diselingkuhi. Ibarat lirik lagu dari Nosstress, “di tanah air yang kucinta, yang apa benar kau sama mencintainya.” 

Lalu kenapa, kita (rakyat) tak boleh menanyakan apa yang sudah diberikan negara kepada kita ? tentu boleh saja, bahkan harus dilakukan oleh negara. Jika rakyat malas bersikap dan bertindak atas kerunyaman ini, itu bukan berarti rakyat cengoh. Bukan. Itu karena rakyat sudah nglendeh, mereka sudah pasrah. Sebuah sikap yang diyakini orang Jawa, sebagai tanda purna atas suatu masalah. Juga sebuah cinta pada negara.

Mereka muak atas drama sikap rakus para penjahat koruptor itu. Jika mereka mau, jika mereka terorganisir. Mereka bisa saja menghakimi secara masal. Misal pejabat daerah A, terbukti korupsi. Lalu semua terpanggil untuk menghakimi secara fisik si pejabat itu. Itu pasti akan sangat adil, seadil-adilnya. Tapi rakyat tahu, mereka tidak menyukai keadilan. Mereka mencintai kebijaksanaan. Sehingga, meski pejabat korup, meski uang mereka diselewengkan, ya tak apa. Mungkin mereka hanya sambat. “woaaalaahh korupsi tibakne” setelah itu apa ? mereka menghajar pejabat korup ? Ya tentu tidak, mereka akan melanjutkan ngopi di warung atau bekerja ke sawah.

Rakyat sudah terlalu sibuk mengurus pekerjaan dan hajat hidupnya. Jadi tak sempat peduli dengan  tingkah polah pejabat negara yang brengsek itu. Rakyat tekun dan bergairah dalam bekerja untuk negara. Meskipun negara telah mengecewakan usahanya. Rakyat selalu mempersiapkan kado terbaik untuk negaranya. Dan melakukan kewajiban-kewajiban lainnya. Demi apa ? demi negara itu sendiri. Yang terkadang tak pernah terpikir oleh mereka. Bahwa yang dilakukan mereka adalah langkah berani, langkah nasionalis dan cinta tanah air

Seperti para petani yang telaten pergi ke sawah, menanam berbagai tanaman penting. Padi, bawang merah, cengkeh dan kopi. Merawatnya setiap hari, memupuknya, menyiramnya. Berharap bisa panen dan menuai hasil untuk menyambung hidup. Jika para petani ini berhasil panen, tentu negara ikut untung. Ketahanan pangan-stabil dan perekonomian-tumbuh.

Menurut pengalaman saya, kado untuk negara juga dikerjakan oleh para guru honorer. Minggu lalu, saya tengah berbincang dengan seorang binaan program ekonomi-kewirausahaan yang saya ampu di Kabupaten Trenggalek. Ia perempuan berusia 30 tahun. Yatim. Memiliki satu adik laki-laki kelas 3 SMP. Selain berwirausaha-berjualan jilbab. Ia juga bekerja sebagai guru honorer di Madrasah Ibtidaiyah (MI) dekat rumahnya. Maklum ia harus bekerja keras, karena ia juga sebagai tulang punggung keluarga. Ibunya sudah tak sanggup bekerja. Dan ia harus membiaya adik lelaki untuk sekolah. Saat itu juga, ia mengungkapkan, kejenuhannya bekerja sebagai guru honorer. Karena ia merasa banyak sekali tugas yang dibebankan oleh guru senior ke dirinya. Dan belum lagi, gaji yang tak sepadan dengan kinerja. Kalian bisa tanya sendiri berapa gaji honorer ?

Tapi ketika ingin keluar dari profesi guru honorer, ia selalu meredam hati nuraninya sendiri. JIka ia masih mencintai dunia pendidikan, ia mencintai pekerjaan mengajar siswa-siswi. Dan juga teringat pesan ayahnya sebelum meninggal. “Ia harus jadi guru, bagaimana pun itu.” Meski faktanya. Tahun ini, ia belum digaji selama lima bulan. Ketika saya tanya, “ kenapa ?” ia menjawab, “ biaya untuk menggaji kita masih diperuntukan hal lainnya, mas. Kepentingan kegiatan sekolah dan infrastruktur” pungkasnya.

Mendengar hal itu, saya hanya manggut-manggut. Sebab, betapun saya geram. Itu tak merubah keadaan. Hingga saya arahkan ke pembicaraan yang lebih fresh dan penting mengenai usaha sampingan ia, yaitu jualan jilbab.

Sejak kejadian itu, saya berpikir jika betapa kuatnya dedikasi dia pada dunia pendidikan. Dan juga teruntuk guru honorer lainnya di negeri ini. Sebuah sikap yang harus diteladani para pejabat korup yang merugikan negara tak karuan nominalnya. Bayangkan uang yang dikorup itu bisa untuk mereka. Mereka akan lebih sejahtera dan mengajar lebih baik demi kelangsungan anak bangsa.

Kado, ia adalah sebuah hadiah. Yang diberikan seseorang kepada seseorang. Atau dari seseorang kepada organisasi. Ataupun juga sebaliknya. Biasannya kado diberikan sebab ada hal gaib yang menyertainya. Perasaan tertentu, suka, kagum, bangga ataupun wujud hormat. Kado sebagai pelambang. Jika memberikan yang terbaik itu adalah hal baik.

Kado yang telah diberikan rakyat kepada negara adalah wujud cinta juga hormat. Mereka mendedikasikan hidupnya, pekerjaannya, kewajibannya untuk negara. Negara (red:pemerintah) seharusnya malu, jika selalu diberi kado oleh rakyat. Tapi negara selalu berpura-pura, bahkan merasa kado itu tak cukup. Sebuah kado memang tak wajib dibalas. Karena kado hanya bisa terbalas, jika yang menerima punya hati nurani dan cinta.

Mari kita tunggu, apa kado negara pada rakyat di Bulan Agustus kali ini ? penuntasan kasus Novel Baswedan, kesejahteraan guru honorer. Atau justru semakin banyak OTT dari KPK ? Entahlah. (rif)

Komentar

Postingan Populer