Sindiran




Sugeng. Lelaki berperawakan tinggi dan rambut acak-acakan. Berkemas memasukan kaos, celana jeans, dan dua buku. Judulnya, Sapiens dan Animal farm ikut ditata ke dalam ranselnya. Tak seperti biasa, ia agaknya cukup senang. Karena bisa bangun pagi, dan kulitnya yang sawo matang itu. Bersentuhan langsung dengan cahaya mentari yang tembus lewat ventilasi kamarnya. “ enak juga bangun pagi, segar. Rasa capek-capek ilang” gemingnya pagi itu.

Sugeng telah bersiap, berangkat ke kota rantau untuk kembali melakukan rutinitas, yaitu bekerja. Ia juga amat beruntung di pagi itu. Adik lelakinya yang menginjak usia 18 tahun itu. Membeli nasi pecel sebanyak empat bungkus. Yang tak lain, untuk sarapan sang ayah, sang ibu dan sang kakak. Juga dirinya sendiri. Dan itu artinya, Sugeng tak perlu kerepotan merogoh tabungannya untuk beli sarapan di pagi itu.

nasi pecel, aku makan satu bungkus ya” ucap Sugeng  seolah mengisyaratkan ijin ingin memakan nasi pecel. Padahal bungkus nasi pecel sudah dibuka dan tinggal disantap.

iya, wes ndang dimaem lee,” sahut sang Ibu.

iyo, maem ae mas” sahut lagi sang adik lelakinya.

Sambil sarapan, Sugeng menyalakan televisi untuk melihat dan mendengarkan kabar berita pagi. Seperti biasa, berita didominasi soal koalisi pilpres dan promosi ASIAN GAMES.  Sugeng lebih tertarik pada berita ASIAN GAMES. Apalagi ada Via Vallen yang mengisi theme song tersebut. Itu pasti sangat menghibur. Daripada menunggu berita siapa Cawapres Jokowi dan Prabowo jadi maju Capres atau tidak ? ahh bosan sudah.

Tak terasa, hanya tertinggal rempeyek dan kerupuk. Dari yang sebelumnya sebungkus nasi pecel komplit. Kriiukk, Krrrsshh. Begitu suara Sugeng memakan rempeyek dan kerupuk. Di akhir sesi sarapannya itu. Sebagai anak beradab. Sugeng mencuci sendiri sendok yang ia gunakan untuk makan.

Dan entah apa yang dipikirnya, ia lupa menjemur handuk, yang ia gunakan pasca mandi. Spontan, ia ambil handuk dalam kamar tidurnya yang tergeletak agak mamel itu. Ia bawa ke sampiran dekat kamar mandi. Tali setinggi dua setengah meter dan Panjang lebih dari enam meter itu terbentang. Tempat dimana handuk, seragam kerja, kaos olahraga disampirkan. Ia sampirkan handuk itu, agar terkena panas dan tak kena jamur. Maklum, kulit seorang Sugeng sangat sensitif dengan bakteri apalagi jamur.

Setelah usai menjemur handuk kesayangannya. Sugeng mencuci kedua telapak tangan. Di saat itu pula, Ibunya yang seorang pengajar di SMA itu, melontarkan nada kekesalan. Hal ini menyoal peraturan terbaru di dunia pendidikan. Jaman Mendikbud, Muhadjir Effendy.  Zonasi.

Hla iya, gimana ini Pak Muhadjir soal kebijakan terbaru zonasi kok malah berpolemik. Soal siswa yang tetap kekeh tidak mau sekolah di sekolahan yang bukan keinginanya. Ini bisa gawat dan mempengaruhi semangat belajar siswa. Kalau disistem zonasi itu harus sesuai jarak rumah. Belum lagi daya tampung sekolah terhadap jumlah siswa.” Keluh Ibunya Sugeng.

Tambah Ibunya, “ belum lagi soal banyaknya guru honorer yang tak jelas seperti apa nasib mereka kedepan. Duh Pak Muhadjir, Pak Muhadjir. Wes mboh lah” pungkas Ibunya, sambil mengambil handuk untuk bersiap mandi.

Ayo, yokopo iku Pak Muhadjir. Mosok polemik terus..kebijakan selama jadi Mendikbud. Katanya kalau ditunjuk jadi Menteri pasti pinter dan cakap.hehehe” Sahut Bapak kandung Sugeng, bernada candaan namun satir.

Sugeng yang sempat kuliah di kampus, tempat dimana Pak Muhadjir menjadi dosen dan rektor. Tentu merasa geram mendengar slentingan asumsi kedua orang tuannya itu. Ya mungkin karena dia tahu. Jika sebenarnya Pak Muhadjir itu amat pintar. Dan tak seharusnya seperti itu.

Sambil memutar kran air. Sebagai tanda air yang keluar dari selang terhenti. Ia pun menjawab juga dengan sindiran satir. “ ya sama saja. Itu Kapolri, Pak Tito Karnavian. Terkenal polisi berani selama karirnya. Menangkap Tommy Soeharto, putra presiden kedua pada kasus pembunuhan. Dan sukses menjadi Kepala BNPT atas kasus teroris yang ditumpasnya.  Masa’ sampai sekarang tak mampu mengungkap kasus penyiraman air keras pada penyidik senior KPK, Novel Baswedan.

Sang ayah kandung Sugeng yang memulai sindiran diawal. Akhirnya dibuat kikuk juga oleh pernyataan anak barepnya itu. Karena sang ayah adalah anggota POLRI yang bertugas di daerah.

weslah, intine ki podo wae. Orang pinter pun kalau dikendalikan kekuasaan. Akhirnya terlihat kikuk dan tak greget juga. Apalagi diberi kue kekuasaan oleh penguasa. Seperti jabatan. Ya mau tidak mau manut. Meskipun dalam hati dan pikirannya grundel.” Beber Sugeng.

yaudah wes, Bapak, Ibuk. Aku berangkat ke luar kota, pekerjaan sudah menunggu disana.” Lanjut Sugeng.

assalamualaikum” pamit Sugeng kepada kedua orang tuanya (bersaliman dan sungkem)

walaikumsalam. Hati hati, ojo banter-banter numpak motor e” jawab kedua orang tuanya.

Setelah empat jam kemudian, dan setelah Sugeng sampai di kota rantaunya. Seperti biasa, ia cek gawai pribadi. Pesan whatsapp masuk. Ia lihat ada pesan whatsapp dari Ibu. tulis pesan itu, “Maaf ya lee, kalau tadi menyinggung perasaan sampean mengenai Kebijakan Pak Muhadjir”.

Sugeng pun langsung membalas. “Inggih buk, mboten punopo. Ini saya langsung kerja dulu, nggih Ibu."

Sugeng pun kembali bekerja. Karena dia tahu, seberapapun ia berkomentar pedas, berkeluh-kesah, umpatan. Semua tak ada gunanya. Toh, petinggi juga tak akan risaukan dia. Karena Sugeng hanya seorang rakyat yang tak berpartai. Tak masuk pertimbangan. Bagi dia, fokus bekerja jauh lebih baik. Memberi manfaat pada sesama. Bayar pajak ke pemerintah. Urusan uang pajak dikemplang pejabat negara itu urusan lain. Dia tak peduli. Seperti kebanyakan orang, pertunjukkan monoton selalu tidak menarik. jika sudah tak menarik, bisa saja Sugeng tak percaya lagi dengan organisasi besar yang bernama negara dengan segala pemainnya.(rif)


 


Komentar

Postingan Populer