Flashdisk




Sebagai pekerja sosial, saya cukup menikmati pekerjaan seperti ini. Jam kerja longgar, tak ada kewajiban untuk mengenakan seragam dan bertemu banyak orang dengan berbagai macam karakter. Mungkin tak hanya karakter ya, tapi juga cerita-cerita dari mereka tentang bagaimana menghadapi tantangan hidup, juga menyikapinya.

Pada pertengahan bulan Januari tahun 2019. Bersama rekan kerja saya, kami melakukan survei ke 19 kecamatan di Kabupaten Blitar. Kondisi wilayah yang luas, memaksa kami untuk berkunjung ke daerah kecamatan yang berbatasan dengan tiga kabupaten lain, yaitu Tulungagung, Kediri dan Malang.

Dalam sehari, kami bisa berkunjung ke rumah atau tempat usaha: 5 sampai 7 orang. Mereka adalah para calon penerima manfaat program. Program pemberdayaan UMKM untuk anak muda di Kabupaten Blitar.

Lalu, masalah muncul menginjak hari ke- 8 survei usaha. Ketika kami selesai berkunjung ke Kecamatan Wonotirto, Kecamatan Srengat dan Kecamatan Wonodadi. Tiba di kos, saya membuka ransel yang seharian saya bawa untuk berkeliling ke rumah para penerima manfaat. Saya ingin mengambil flashdisk yang tersimpan di tepak warna hitam. Awalnya ingin mengerjakan laporan, dan seperti biasa file laporan saya simpan di flashdisk. Tapi setelah saya cari dan mengeluarkan isi ransel, ternyata tepak warna hitam milik saya tidak ada di tas.

Saya mencoba tenang. Meski sebenarnya level rasa kesal saya mulai naik. Saya hubungi rekan kerja saya. Siapa tahu ketlisut di tas dia. Langsung saja saya whatsapp.

Mbak Icha, tepak pensil warna hitam milikku gak ada di tas. Apa ketlisut di tasnya mbak ya ?” tulis pesan whatsaap saya ke rekan kerja.

Tidak sampai lima menit. Rekan kerja saya itu membalasnya,

Nggak ada Rian. Gimana kok bisa gak ada itu ? Jangan-jangan ketinggalan di rumah peserta?”

Oh yaudah, Mbak. Makasih. Coba aku tanya ke mereka (peserta yang dikunjungi hari itu) saja” balas whatsapp saya ke rekan kerja saya.

Setelah semua saya hubungi, mereka semua mengatakan jika tidak ada tepak warna hitam yang ketinggalan di rumah mereka.  

Jawaban seperti ini membuat saya semakin pusing dan mangkel.  Pertahanan diri saya sedikit terusik. Saya mengumpat tak jelas di dalam kos. Gara-gara tepak hitam yang berisi flashdisk tak tahu kemana hilangnya. Untuk menenangkan pikiran, saya ambil sebatang rokok, menyalakan korek dan menghisap rokok. Sambil saya mengingat-ingat. Sampai dua jam lebih, saya juga tak kunjung bisa mengingatnya.

Akhirnya malam itu juga, saya putuskan untuk berpikir masa bodoh. Dan saya mencoba merelakan pelan-pelan. Meskipun memang banyak file-file penting di empat flashdisk itu. Saya berniat tidur, agar esok bisa bangun pagi dan kembali bekerja: survei usaha ke si calon penerima manfaat lainnya.

Keesokan harinya, rasa gusar dan tak bersemangat malah hinggap ke diri saya. Masih saja kepikiran dan belum sepenuhnya ikhlas jika saya kehilangan empat flashdisk penting itu. Mungkin raut muka saya yang tak seperti biasanya amat ketara sedang sumpek. Hingga staff Bappeda Kabupaten Blitar yang menemani survey saat itu, bertanya pada saya.

“Kenapa Mas?”

“Flashdisk saya ilang, Mas. Isinya data-data penting Mas. Duh..” jawab saya.

Sambil menyetir. Ia melontarkan kalimat bijak ala-ala;

“ Insyallah ketemu, Mas. Coba diingat lagi. Jika pun tidak ketemu ya tidak apa-apa, Mas. Itu masih mending. Daripada kita kehilangan hal lain yang jauh lebih berharga: kehilangan motor misalnya”

“ iya see, Mas” jawab saya, kemudian tertawa kecil.

Selesai bekerja, dihari itu, saya langsung menuju ke kedai kopi. Sambil santai meminum kopi dan merokok. Saya ingin tenangkan diri. Saya juga coba bertanya ke diri saya sendiri. Agaknya saya terlalu berlebihan, jika terus gusar hanya karena kehilangan sebuah barang kecil penyimpan data bernama: flashdisk.

Saya jadi teringat kutipan menarik dari buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat, “pengalaman negatif adalah sebuah pengalaman positif”.

Mungkin ada benarnya pernyataan dalam buku tersebut. Lewat kehilangan flashdisk dan file penting didalamnya. Saya jadi berpikir: apakah bijak, seseorang lebih merasa gusar dan sedih hanya karena kehilangan barang daripada melewatkan pertemuan dengan Tuhannya?

Iya, analogi ini muncul dibenak saya. Ketika saya membandingkan perasaan saya saat kehilangan waktu sholat: yang justru terkesan biasa saja. Daripada perasaan saya saat kehilangan flashdisk: yang justru sok mendramatisir. Mungkin benar, selama ini manusia lebih senang melekatkan dirinya pada suatu barang mati. Daripada melekatkan pada Sang Penentu Kematian.

Ya, mungkin ini hikmahnya....

Kehilangan empat flashdisk itu, membuat saya juga berpikir melantur. Sepertinya menarik pengalaman ini kalau dibuat  cerpen, dan….judulnya: Seorang Pemuda Yang Menemukan Tuhannya Lewat Flashdisk. Hehehehe. Tentu penulis cerpennya bukan saya. Wong aku ra iso nulis apik. Mungkin sahabat saya saja lah, Popy  Trisnayanti  atau Wayan Nugraha. Monggo… (rif)



Komentar

Postingan Populer