Pangan



Hutan adalah dapur kita, semua ada disana. Begitu ujar Charles Toto di depan saya dan teman kerja saya. Ketika kami berdua singgah ke rumahnya yang terletak di Dok.VIII, Distrik Jayapura Utara. Ia adalah pendiri komunitas Papua Jungle Chef. Orangnya tambun, berkacamata dan mengenakan  anting  bulat besar pada  telinga sebelah kiri. Dari nada bicaranya, ia mungkin tipe orang yang optimis, juga antusias.

Saya dan teman kerja saya,  agaknya jadi orang yang cukup beruntung di sore itu. Sebab, bisa bertemu langsung dengan dedengkot dan aktivis tanaman pangan lokal dari Papua. Teman-teman Papua, biasa memanggil Kak Charles Toto dengan julukan jauh lebih hemat: Chato.

Papua Jungle Chef adalah komunitas yang berkomitmen untuk edukasi tanaman pangan lokal dan kewirausahaan anak muda Papua. Salah satu kegiatannya yang menarik adalah: mengajak para turis luar Papua atau luar negeri untuk pergi menjelajahi hutan, memberikan pengetahuan jenis-jenis tanaman yang bisa dikonsumsi langsung dan yang bisa dimasak di hutan.

Chato amat totalitas, ia memasak hasil berburu di hutan itu dengan perlengkapan seadaanya. Hanya berbekal korek api dan panci berukuran sedang. Dan itu mungkin pertunjukan paling tak terlupakan bagi para turis. Bagimana tidak, hanya untuk mencicipi makanan khas olahan orang Papua, mereka harus repot-repot ke tangah hutan dengan berbagai macam risiko.

Chato bukan orang kuliahan. Ia tak mengenyam pendidikan tinggi. Ia lulusan SMK Tata Boga. Ketertarikan pada dunia kuliner dan kepeduliannya dengan masa depan pangan Papua, membawanya pada titik yang sekarang; Papua Jungle Chef. Bahkan, dalam satu hingga dua tahun kedepan. Ia punya proyek besar di daerah Sentani. Membangun pusat pembelajaran masyarakat dan wisata edukasi tanaman pangan lokal. Ya, semacam eduwisata. Konsep wisata yang didalamnya ada proses transfer pengetahuan atau edukasi pangan lokal.  

Tak tanggung-tanggung, untuk merancang desain kontruksi bangunan eduwisata; Papua Jungle Chef.  ia menggaet arsitektur kenamaan, Yori Antar. Seorang arsitektur yang sebelumnya mendesain Museum Kapsul (Avangers) di Merauke. Hebat dan salut, bukan ? Dalam benak saya bertanya, “kok bisa seorang lulusan SMK berpikir dan punya jejaring seperti itu”. Tapi bagaimana lagi, mungkin pikiran saya yang belum sampai kesana. Hmm, ya,ya Chato….

Pertemuan saya dengan Kak Chato, sebenarnya tanpa disengaja. Bermula dari penelitian yang saya lakukan di Pasar Mama-mama sekitar pukul 21.00 WIT. Mencari tahu tentang komoditi usaha populer, youth mapping dan menggali suara konsumen. Saya bertemu dengan adik kandung Kak Chato. Ia bernama Evelin Toto. Ia saya wawancarai sebagai informan untuk mewakili sampling suara konsumen.

Ketika wawancara, Evelin Toto menyeletuk 3 kalimat penting: Papua Jungle Chef, Charles Toto dan Pangan Lokal. Sontak, pasca wawancara tersebut. Saya bertukar nomor handphone dan bersepakat akan berkunjung ke rumah Evelin Toto, juga bertemu dengan Kak Chato, untuk bertukar informasi, pengetahuan dan pengalaman. Tentunya tentang ekonomi dan pemberdayaan masyarakat  lewat tanaman pangan lokal.

Setelah tiba di kediamannya, pengantar percakapan cukup menarik. Kak Chato menceritakan bagaimana gizi buruk bisa terjadi di Asmat. Salah satu faktornya adalah ketahanan pangan lokal yang mulai terkikis dengan sesuatu yang sebenarnya asing bagi mereka. Yaitu munculnya “beras” ditengah budaya makanan pokok orang Papua yang aslinya adalah sagu. Eh….ternyata. Subsidi beras malah jadi simalakama. Hal ini yang membuat kawan kerja saya menemukan kalimat bijak: subsidi membunuhmu.

Apa yang dilakukan oleh Kak Chato, sebenarnya mengingatkan saya pada  Jon Jandai, pendiri Pun Pun Center. Ia adalah petani dari Thailand. Ia sangat peduli dengan pertanian dan benih. Karena bagi dia, hanya dengan menjaga benih dan pertanian, makanan akan tetap tersedia. Dengan ketersedian pangan, hal ini tertaut dengan proses kehidupan. Bertani adalah cara sederhana untuk menjaga keberlangsungan kehidupan.

Dalam acara TEDx, Jon Jandai pernah menyampaikan sebuah pendapat dan gagasannya tentang cara hidup yang mudah “Life is easy, Life Is Fun”.  Acara yang dihadiri oleh kalangan akademisi, pebisnis dan mahasiswa itu berlangsung tidak lebih dari 16 menit. Tapi materi yang dia sampaikan sangat berbobot dan berkesan. Melalui laman terjemahan yang saya baca di www.puthutea.com dan blogrivaekaputra, saya mencoba menjelaskan ulang isi materi yang disampaikan oleh Jon Jandai, kurang lebih seperti ini:

Jon Jandai menceritakan perjalanan hidupnya sebelum mendirikan lembaga Pun Pun Center. Ia mengaku, sebelum TV masuk ke desanya. Kehidupan begitu menyenangkan dan terasa mudah. Tetapi ketika TV mulai masuk desa dan turis asing memberikan label pada dirinya miskin, yang kemudian mengarahkan dia harus pergi ke Bangkok untuk mencari sebuah kesuksesan dan kehidupan yang jauh lebih baik. Disitu kerisauan seorang Jon Jandai mulai muncul.  Ada lima poin menarik yang disampaikan oleh Jon Jandai waktu mengisi acara di TEDx, yaitu Pekerjaan dan Kuliah, Makanan, Rumah, Fashion dan Kesehatan.

Jon Jandai pergi ke Bangkok untuk bekerja keras dan kuliah. Agar ia tidak terjebak pada kemiskinan. Ia bekerja keras 8 jam dalam sehari dan hal itu ia lakukan sambil kuliah. Dan ia tinggal di tempat yang kecil bersama banyak orang. Ia lakukan rutinitas itu hingga pada akhirnya merasakan ada yang aneh dalam hidupnya. Sudah bekerja keras tapi ia malah merasa hidupnya makin sulit. Ia juga mulai ragu dengan materi yang ia pelajari di kampus itu bermanfaat atau tidak ?

Hingga akhirnya ia mengingat masa kecil di kampungya. Jika tidak ada orang bekerja 8 jam sehari. Orang-orang di desanya hanya bekerja 2 bulan dalam setahun. Itu artinya ada 10 bulan, waktu bebas. Dengan itu, Ia merasa bahwa orang-orang di kampungnya justru makin punya banyak waktu luang. Mereka jadi memiliki banyak waktu untuk bersama diri sendiri, ketika punya banyak waktu dengan diri sendiri. Mereka jadi lebih mengenal diri sendiri, mengetahui apa yang diinginkan dalam hidup.
Keputusan akhirnya diambil oleh Jon Jandai. Ia memutuskan untuk kembali pulang ke kampungnya. Setelah 7 tahun di Bangkok.

Ia memilih menjadi petani, sebagaimana pekerjaan mayoritas masyarakat di kampungnya. Setelah menggeluti jadi petani lagi. Jon Jandai merasakan hal yang berbeda. Hidupnya terasa lebih dari cukup. Ia merasa bahagia. Ia menanam, memanen dan memberi makan keluarganya. Tanpa merasa kekurangan tidak ada makanan. Kondisi itu sangat berbeda ketika ia berada di Bangkok. Ia sangat ketakutan jika tidak bisa makan.

Jon Jandai lebih bahagia dalam memaknai hidupnya selama tinggal di kampungnya, yang dulu sempat ia tinggalkan selama 7 tahun. Ia juga mulai berpikir bahwa mungkin saat ini banyak orang yang mengalami kebuntuan dan kerisauan seperti yang pernah dia alami selama tinggal di Bangkok. Kepekaan dari seorang Jon Jandai itulah, akhirnya ia berinisiatif bersama istrinya untuk mendirikan Pun Pun Center. Sebuah lembaga swadaya yang berfungsi sebagai pusat untuk hidup berkelanjutan dan produksi benih yang bertujuan membawa benih asli dan langka kembali digunakan.

Jon Jandai dan Charles Toto adalah dua orang yang berbeda. Namun mempunyai visi yang hampir serupa, yaitu ketahanan pangan dan kehidupan. Kita tahu, keberlangsungan kehidupan bermula dari ketahanan akan pangan. Mereka yang berjuang merawat tanaman pangan adalah pahlawan kehidupan. Setingkat bahkan lebih mulia dari seorang dewan. (rif)




Komentar

Postingan Populer