Kota Besar


Kota besar selalu lahirkan permasalahan besar. Begitu saya meyakini citra kota besar yang tertancap kuat pada benak saya. Oh iya, masih ada label lainnya menyoal kota besar versi saya; macet, sesak dan buru-buru. Sebab itu, hati kecil saya sebenarnya menolak hidup di kota besar. Persisnya kota besar yang industrial.

Pernah dua tahun lalu, seorang pimpinan lembaga tempat saya kerja menanyai saya, "saya dengar kamu tidak suka hidup di kota besar macam Surabaya, apa benar ?". Tak perlu waktu lama, saya takis pertanyaan itu dengan jawaban singkat-berwibawa, "iya". Lalu tersenyum dengan suara kecil tertahan di dalam rongga mulut mirip ungkapan "Ehmm".

Kantor kerja saya memang bertempat di Surabaya. Tapi saya ditempatkan kerja di wilayah paparan program ke daerah. Daerah yang pernah terpapar program adalah Trenggalek dan Blitar. Dua daerah itu yang pernah saya jamah, ulik dan jajaki pada periode Agustus 2017- Agustus 2019. Bersinggungan langsung dengan karakteristik dan kebudayaan masyarakatnya. Mulai dari mikro perekonomian, cara bersosial, bahasa lokal hingga kulinernya. Bagi saya, memahami hal macam ini adalah kemenarikan tersendiri. Simpelnya saya ingin bekerja bukan sekedar bekerja dan melakoni rutinitas. Tapi ada hiburan pengetahuan yang bisa saya kantongi untuk menambah daftar riwayat pengalaman saya. Maka tinggal di suatu daerah yang bukan kota besar industrial adalah jawabanya.

Selama bertugas di daerah. Saya jadi punya diksi-diksi baru khas dari daerah setempat.  Dari Trenggalek saya dapat diksi baru: ritek.  Apa itu ritek ? saya pernah tanya ke asli orang Trenggalek sendiri, beberapa dari mereka tak bisa menjelaskan secara masuk akal. "Ritek itu apa sih artinya ?" Tanya saya. "Ya pokoknya ritek mirip kata imbuhan saja. Gawe pantes-pantesan" jawab pengusaha muda kondang di Trenggalek. Ada jawaban lain dari sahabat saya semasa kuliah, dan ia asli anak Trenggalek, namanya Mas Gembor. "Opo ya, ritek iku koyok kata imbuhan ngunu lo. Misal lek di Malang itu ada imbuhan 'on'. "

Sontak saya hanya begijisan dan manggut-manggut mencerna penjelasan absurd itu. Tapi ndak masalah. Ya mungkin ini yang membuat meraka jadi unik jika dilirik lewat bahasa lokal. Meskipun unik dan aneh itu sebelas-duabelas ya.

Saya jadi teringat apa yang pernah diungkapkan Cak Nun, bahwasanya bahasa yang unik dan berbeda-beda itu memang tanda kebesaran Tuhan. Dan jika manusia tidak bisa jelaskan soal ritek saja. Mungkin memang itu kata originally dari Tuhan khusus untuk orang Trenggalek. Spesial.

Jika boleh saya terawang. Tuhan sengaja menaruh kata ritek di Trenggalek, mungkin tujuannya satu: Agar mudah disinyalir atau discreening ketika orang Trenggalek merantau ke kota besar. Ketika momennya pas. Respon seseorang yang juga lahir dari Trenggalek saat dengar kata ritek tentu langsung ngoceh, "Nggalek pundi, Mas ?" macam begitu. Dan hal ini jadi penting, semacam kode kebahasaan. Efeknya; rasa akrab, merasa sepenanggungan dan saling menyelamatkan. Ujung-ujungnya minta traktir dan menempil satu batang rokok. Biasanya.

Beda dengan Blitar. Masih menyoal bahasa. Blitar punya kata imbuhan yang khas. "Poh !" dan "Peh !". Dua kata imbuhan yang ngebranding dan menscreening kalau dia asli putra patria. Kalau ada orang atau kenalanmu melontarkan dua kata itu. Sudah pasti dia wong Blitar. Atau setidaknya dia punya kenangan penting dengan Kota Patria itu.

Kata "Poh" lebih cocok diungkapkan ketika keadaan yang tak pernah terkira sebelumnya. "Poh ! Wayuuu tenan bocah wedok kuwi !". Nah kalau anda sempat dengar kalimat macam begitu, konklusi sementaranya adalah dia anak Blitar yang ndak pernah lihat cewek cantik. Apa iya persis seperti itu. Ya ndak juga. Bercanda itu seni untuk menguji ketangguhan pikiran kreatif kita. Jadi saya coba bercanda lewat hal itu tadi; "Poh !"

Beda lagi kalau "Peh !". Kata imbuhan ini lebih cocok untuk menemani ungkapan  ketika seseorang dalam keadaan tertekan, keadaan tidak berjalan semestinya dan kejadian diluar praduga. Maka kata "Peh !" akan muncrat dengan sendirinya dari mulut orang Blitar. "Peh ! Chatku wes seminggu kok ndak dibales karo cah'e to". Nah itu menandakan seseorang yang sedang tertekan batinnya. Sebab harapan ndak sesuai kenyataan. Kalau ada temanmu anak Blitar spontan mengungkapkan kata "Peh!". Jika saya boleh saran, tolong buntuti dia. Karena ia sedang tidak baik-baik saja. Omongan dan racauannya butuh kau dengarkan. Kalau perempuan, beri pelukan. Ya asal semukhrim. Kalau lelaki, beri obat nyamuk bakar batangan sama spirtus. Beres. Tentu yang ini saya bercanda lagi. Tenang, jangan mudah tersulut emosi.

Begitulah lelucon absurd yang bisa saya tulis untuk daerah nostalgi macam Trenggalek dan Blitar. Tak hanya leluconnya, tapi juga orang-orangnya. Trenggalek dan Blitar telah jadi nostalgia terpenting dalam hidup saya. Tidak selalu diingat, tapi juga tidak bisa menolak ketika memori ingatan itu menyerobot dadakan. Wazzuu sekali.

Sudah kita pause dulu rekam ingatan Trenggalek dan Blitar. Berganti ke hal ikhwal menggunjing kota besar bernama Surabaya. Kota yang katanya menjadi ibunya dari kota-kota lain di Jawa Timur.

Sudah sebulanan lebih. Akhirnya saya dipelorot oleh Tuhan untuk menutupi rasa kemaluan saya pada diri sendiri. Sebabnya sepele, saya suka menggunjing dalam hati jika saya acuh dengan kehidupan khas orang kota besar. Buru-buru, sesak, ribet dan nyangkeman. Belum lagi ongkos hidup yang tak murah. Wazzuu kan ?

Tapi tak apa. Mungkin kali ini Tuhan sedang bersiasat agar hambanya yang suka menggunjing dan meracau macam saya ini ndak kebablasan.

Dan kini. Saya telah berpindah kerja di Surabaya. Saya tidak bisa menolak ketika pimpinan mengatakan saya akan dipindah kerja ke Surabaya. Meski sebenarnya saya bisa tolak. Tapi ada alasan penting sehingga saya tak bisa menolak; karena program pemberdayaan yang selama diampu oleh lembaga tempat saya bekerja, memperluas programnya. Otomatis, Inshallah, Inshallah ya, yang peroleh manfaat juga semakin luas. Termasuk manfaat pribadi. Apalagi kalau bukan gaji.

Jika dulu program pemberdayaan hanya terbatas satu daerah. Sekarang meluas tak hanya satu daerah. Diperluas ke Sampang, Pamekasan, Surabaya, Pacitan sampai Jayapura. Lalu, jika dulu terbatas hanya ke masyarakat. Sekarang melebar ke mahasiswa, praktisi dan akademisi terkait. Hal itu yang buat saya berpikir ulang, agar sebaiknya sedikit mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan bersama dan manfaat bersama. Apalagi kepentingan pribadi saya cukup konyol dan remeh: "What the hell the big city !"

Saat awal-awal melewati hari di Surabaya. Saya paksa punya ekspektasi; Hidup di Surabaya akan menggairahkan. Saya kira akan punya banyak peluang untuk lakukan ini dan itu. Terkhusus berkunjung ke tempat-tempat bersejarah di Surabaya atau pun bertemu dengan komunitas-komunitas literasinya. Tapi faktanya sekarang ? Ekspektasi saya itu belum kesampaian. Saya terjebak rutinitas pekerjaan. Datang ke kantor pukul 9 pagi pulang jam 17.30. Sampai kos sudah pukul 18.00. Begitu pulang ke kos langsung beli makan dalam keadaan tubuh sudah letih. Mau keluar lagi sudah malas dengan kemacetan yang terlihat jelas di depan mata. Belum lagi udaranya yang panas, membuat kulit berminyak. Pliket. Wazzuu sekali kan ? ya sudah, lalu apa yang bisa saya lakukan: merebahkan diri di kos, menyalakan kipas angin, membaca apa saja lewat ponsel pintar, chatingan dengan pacar. Dan...tertidur dengan sendirinya. Itu belum lagi kalau hari Sabtu dan Minggu saya tetap bekerja seperti biasa.

Ekspektasi memang tidak bisa persis apalagi presisi. Ia nakal dan rewel. Selalu berada di garis luar. Kalau tidak di atas ekspektasi, ya di bawah ekspektasi.

Semenjak di Surabaya. Tiap bangun pagi, saya kerap melewatkan waktu Subuh. Dengar Adzan, tapi tertidur lagi. Baru bangun serius pukul 7.00. Kadang juga 7.30 pagi. Beranjak, lalu minum air putih satu gelas. Membuka pintu kamar dan nge-play musik lewat posel pintar. Durasi 5 menit cukup untuk dengar musik. Lalu langsung ke kamar mandi. Begitu masuk ke kamar mandi, disambut bak mandi dengan kran otomatis yang mengeluarkan air berwarma agak menguning. Dalam hati cuma bisa menghardik, "Wazzuu, banyu kok warnane koyok ngene !"

Tapi saya tetap mencoba tak peduli dan mandi saja. Saya pikir ini hanya butuh kebiasaan. Dengan terbiasa lama-lama juga jadi bisa. Bisa apa ? Ya bisa menerima keadaan. "Keadaan begini belum seberapa, Yan. Bersyukuro bajingan. Bayangno kowe urip nang bantaran sungai, bayangno kowe urip nang Digul sing gawe pembuangan tahanan politik. Pora njur modyar kowe, He !" Ketika dialog dengan diri sendiri itu terjadi. Saya langsung ndak mikir apa-apa. Mandi ya wes mandi. GAS ! saja.

Pukul 8.00 pagi saya tancap gas menuju ke kantor yang terletak di Jemursari, Surabaya. Baru keluar dari gang tempat kos saya. Kemacetan sudah menyapa dengan ranum. Saya hanya diam dan mengunci mulut rapat-rapat. Karena kalau tidak, mulut saya ini hampir mirip kebun binatang. Saat-saat tertentu bisa keluar beberapa binatang: Asu, Wedus, Kethek dan Coro. Kadang juga keluar spesies tumbuhan: Asem !

Setiba di kantor, seperti biasa saya mengerjakan apa yang semestinya dikerjakan. Tiiiiittttt. Maaf ya, detail pekerjaan saya sensor. Pokoknya begitu. Pulang dari kantor langsung menuju kos. Pertanyaan lanjutannya, terus ngapain ? Ya yang saya lakukan persis seperti yang terjelaskan sebelumnya. Kalau kalian lupa, agaknya ingatan kalian lemah. Mungkin karena kebanyakan main game atau kerap nonton video seronoh.

Saking boringnya, tiap weekend tiba saya sempatkan pulang ke Nganjuk. Pengecualian jika weekend masih ada pekerjaan yang mesti dilakoni. Kalau weekend free dan tidak ada pekerjaan, saya cenderung memilih untuk pulang. Pokoknya tergerak kepingin keluar dari Kota Surabaya. Mboh mau kemana. Tapi ya selama ini yang terbesit cuma pulang ke Nganjuk saja. Padahal selama kuliah sampai bekerja yang sebelum ditempatkan di Surabaya. Saya bisa berbulan-bulan tidak pulang ke Nganjuk.

Semenjak rantau di Surabaya, Saya juga merasa jadi pribadi yang berubah; Lebih realistis, fokus pada hal-hal mendesak, menikmati jadi pemuda biasa dan malas dengan keramaian. Bukan berarti anti sosial, bukan. Hanya saja lebih senang pergaulan atau pertemuan kecil, saling bertukar cara pandang dan saling mendapatkan pemahaman baru dalam menyikapi dan menghadapi ketidakpastian hidup.

Bacaan saya pun dalam beberapa bulan terakhir jadi lebih banyak menyoal refleksi keseharian dan sastra. Seperti karya Aan Mansur: Tidak Ada New York Hari Ini, Melihat Api Bekerja dan Kukila. Lalu karya dari novelis gaek, Ernest Hemingway berjudul, The Sun Also Rises. Kemudian kumpulan cerpen Pak Budi Darma, Orang-orang Bloomington dan terakhir karya biksu eksentrik itu: Ajahn Brahm dengan bukunya yang berjudul, Si Cacing dan Kotorannya.

Saya tidak tahu pasti, saya ini sedang berada di fase kehidupan yang seperti apa. Tapi yang ada dalam diri saya, hanya sebuah keyakinan yang meraung-raung, jika boleh dibahasakan seperti ini;

"ini harus tetap berjalan. Jangan berlebihan. Banyak pelajari hal-hal baru. Kerjakan hal-hal mendesak. Prioritaskan waktu baikmu, maka kedepannya akan baik-baik saja. Ingat ! Ekspektasi kerap membunuhmu. Berimajinasi semampunya, lalu segera lakukan. Lupakan hal baik yang pernah kamu lakukan, layaknya kamu mudah melupakan hal buruk yang pernah kamu lakukan. Ingatlah hal buruk yang pernah kamu lakukan , layaknya kamu mudah mengingat hal baik yang telah kamu lakukan ! kebaikan itu perlu penjagaan dan kewaspadaan."

Seminggu yang lalu, hal mengejutkan mendatangi tanpa permisi. Peristiwa berlangsung di Nganjuk, tepatnya di rumah. Selepas Isya, saya mendekam di kamar. Menyalakan laptop dan bernostalgia melihat foto-foto di laptop butut semasa kuliah. Lalu tak sengaja membuka dokumen-dokumen penting selama jadi mahasiswa yang saya rapikan dalam satu album berkas. Kebanyakan isinya sertifikat-sertifikat, hadiah orang baik ke saya berupa gambaran dan tulisan. Juga tiga lembar coretan ukuran A4 dari teman-teman yang saya laminating. Isinya mengungkap secara rahasia; sebenarnya Rian ini orang yang seperti apa ? Saya hanya senyam-senyum sendiri di dalam kamar melihat semua itu.

Tak lama berselang, Ibuk menghampiri saya ke kamar. Saya duduk di meja belajar. Lalu Ibuk duduk di kasur. Kami saling berhadapan.

"Ada apa Buk ?" Tanya saya

"Tidak ada apa-apa" sahutnya. "Sudah makan belum ?" Tambahnya.

"Sudah tadi sore" jawabku singkat

"Belum lapar lagi ?" Tanyanya lagi

"Masih belum. Santai. Kalau lapar aku bisa keluar beli mie goreng atau nasi goreng ?" Jelasku

"Ibuk buatkan mie instan, bagaimana ?" Tawar ibu saya.

"Ndak usah, Buk. Saya belum lapar. Santai saja"

"Hmm...kamu sedang megerjakan apa itu ? Ada pekerjaan yang belum selesai to ? "

"Endak, cuma buka laptop aja. Lihat foto-foto dan berkas dokumen ini" kataku sambil menunjukan album berkas.

"O...gimana rencanamu membuat buku ? Kapan cetaknya ?"

Saya terdiam sejenak. Untuk menyamarkan rasa heran dan kaget. Saya menghadap ke laptop. Lalu mem-play musik. Barulah saya jawab. "Oh...sek suwe, gampang Buk"

"Ooo... yawes. Ibuk mau ke rumah mbah dulu. Kasihan mbah ndak ada yang menemani. Hari ini Ibuk tidur di rumah mbah. Kamu jangan balik ke Surabaya malam ini. Besok pagi saja, selepas subuh. Nanti ibuk yang mengantarmu naik motor" pungkasnya.

"Iya. Siap" jawabku singkat. Sebab diriku masih tidak percaya jika Ibuk menanyakan suatu hal diluar ekspektasiku. Menanyakan perkembangan rencanaku mencetak sebuah buku. Padahal, sebelumnya, ia tak peduli dan kerap berujar, "Lapo kowe ngelakoni ngunu-ngunu iku. Aneh-aneh wae !"

Seperti yang sudah dijanjikan semalam. Ibuk akan mengantarkanku selepas Subuh ke terminal. Tapi pagi itu ekpektasi telah mati. Ibuk tidak dibolehi mengantar saya ke terminal oleh Bapak. Akhirnya yang mengantarkan ke terminal adalah Bapak saya.

Setiba di terminal, saya pikir orang hilir balik ke rantauan sudah berkurang dan sepi. Ternyata saya salah, hari Senin pagi orang yang mengantri bus juga tak kalah ramai ketimbang Minggu malam.

Lalu saya memprediksi lagi kalau keadaan ramai seperti ini. Saya tak akan dapat bus untuk balik ke Surabaya. Tapi dugaan itu salah lagi. Dari arah lain tiba saja saya dihampiri oleh seorang lelaki bertopi. Ia bertanya, "Mau ke Surabaya, Mas ?" Saya jawab, "Iya, Mas". "Sudah langsung saja sampean ke bus itu, di sana masih banyak kursi kosong. Sengaja bus ndak masuk terminal. Tapi langsung ke Surabaya" katanya. Saya langsung berjalan menuju bus itu yang terparkir di luar terminal. Dan mengucap terima kasih pada lelaki bertopo itu.

Lelaki bertopi itu tidak berbohong. Masih ada sekitar 15 kursi yang kosong di bus itu. Saya senang masih bisa mendapat tempat duduk di bus. Padahal bus yang masuk ke terminal selalu sesak dan pasti penumpang baru akan berdiri.

Tentu di luar praduga lagi. Bus yang saya naiki tidak langsung melewati tol. Tapi melewati jalur umum Nganjuk-Surabaya. Alhasil laju bus pun tak secepat ketika masuk tol. Dan sempat terjebak macet juga. Saya hanya membisu. Mingkem. Diam.

Setiba di Jombang saya melihat jam menunjukkan pukul 7.00 pagi. Saya estimasi, bus ini baru sampai Terminal Bungurasih pukul 08.40 pagi. Dan jika saya berangkat ke kantor pukul itu, artinya saya telat. Apa risiko dari telat ? Sederhama saja, malu dengan rekan kerja lainnya. Utamanya pimpinan lembaga. Untuk mengurangi rasa malu dan bersalah. Saya kontak pimpinan lembaga via pesan whatsapp; " maaf, Bu. Saya telat ke kantor. Saya baru balik dari Nganjuk jam 6 pagi"

Balas pesan whatsapp pimpinan saya singkat; "iya". Seketika saya pening, saya coba menenangkan diri dengan mendengarkan musik lewat headset. Saya coba tenang, meski tahu risikonya setiba di kantor saya akan dimarahi oleh pimpinan. Terlihat jelas dari caranya menjawab pesan whatsapp saya. Singkat.

Begitu tiba di Terminal Purabaya, saya tidak langsung ke kantor. Saya menuju ke kos terlebih dahulu dengan menunggangi ojek online. Setiba di kos, langsung mandi dan ganti pakaian. Selepas itu saya melaju ke kantor. Tiba di sana pukul 9.40 pagi. Begitu masuk kantor saya tak melihat pimpinan saya berada di kantor. Lalu 15 menit kemudian pimpinan saya datang. Dengan ramah dia menyapa saya, "sampai kantor jam berapa kamu Rian ?"

"Lima belas menit yang lalu, Bu" jawab saya.

"O...iya. Bagaimana habis pulang ke Nganjuk, bahagia kayaknya ?"

Saya hanya jawab dengan senyum. Karena saya masih tidak paham, bagaimana Tuhan kerap mengacak-acak prediksi dan ekspektasi saya.

Dasar rasa ketidaknyamanan, kekhawatiran dan keterancaman seperti itulah. Akal manusia jadi terus berkembang: lewat hal yang abstrak bernama harapan, ekspektasi dan prediksi. Tapi hanya dengan begitu, manusia menjadi spesies yang sulit punah, bahkan terus berevolusi lewat inovasi. Dari awalnya tidak nyaman timbul rasa nyaman. Bermula dari rasa khawatir dan terancan timbul rasa aman. Kesemuanya itu dijembatani oleh harapan, prediksi dan ekapektasi.

Untuk itu, tentu saya boleh berharap; mudah-mudahan pikiran picik saya mengenai kota besar yang kerap lahirkan masalah besar. Pelan-pelan menemukan simpul terangnya. Jika selain permasalahan yang besar, kota besar juga mampu berikan peluang besar bagi penghuninya. Apalagi kalau bukan peluang: kebahagian, rasa aman dan rasa nyaman. 

Komentar

Postingan Populer