"S"



Sebuah tweet dari orang yang tak saya kenal, diretweet oleh Dea Anugrah. Bagi yang belum tahu Dea Anugrah, kalian tak sepenuhnya salah. Tapi saya anjurkan kalian mencari tahu siapa dia. Lalu ulik karya-karyanya. Buku yang dia tulis dan paling saya suka berjudul; Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya.

Saya yang masih kantuk selepas bekerja kurang lebih selama 20 jam. Mulai hari Rabu hingga Kamis. Mulai pukul 9.30 pagi hingga 06.00 esok pagi lagi. Namun sempat beristirahat selama 2,5 jam. Juga disela-selanya. Kembali lagi bekerja pukul 10.00 pagi pada hari Kamis. Lalu mendadak terdistraksi dan penasaran begitu baca judul tulisan yang diretweet Dea Anugrah dari seseorang yang tak saya kenal itu

Awalnya saya tak tahu siapa yang menulis itu. Tapi begitu lihat judulnya, eh kok menarik. Saya klik laman webnya, ternyata laman tersebut berisikan tulisan dari Pangeran Siahaan. Si penggagas asumsi.co itu. Tulisan itu berjudul; Tidak Semua Orang Memulai Dari Titik Yang Sama.

"Salah satu dusta terbesar yang pernah diciptakan sebagai justifikasi keadilan sosial adalah semua orang punyai titik mulai yang sama dan memiliki modal yang sama. Sehingga jika muncul kegagalan atau rintangan lain yang memberatkan, maka mereka yang tak sampai dari tujuan semata dikarenakan mereka kurang berusaha dengan keras"

Begitu bunyi kutipan pertama diawal kalimat. Saya tertarik membacanya karena ada perasaan campur aduk, bimbang, canggung dan tak sepenuhnya setuju. Juga tak sepenuhnya menolak gagasan yang digertakkan oleh Pangeran pada tahun 2018 itu.

Yang buat tak sepenuhnya saya tolak pendapat itu karena tiap manusia memang benar tak bisa disamakan atas apa-apa yang disebut sebagai makna pencapaian mayoritas: berangkap jabatan, berangkap gelar, popularitas dan berlembar-lembar pengalaman sampai timbunan kekayaan.

Musababnya sederhana, tiap manusia tidak dilahirkan pada kondisi sosial-ekonomi yang sama. Maka jangan pernah menghardik mereka yang nampaknya terlihat biasa saja atau terus-menerus kekurangan dengan label bahwa mereka adalah golongan manusia tak mau berusaha keras. Mereka pemalas. Ataupun mereka manusia kurang bersyukur dan banyak sambat. Sungguh pun pendapat atau label semacam itu tak elok diutarakan.

Tapi setelah saya pikir ulang, "pendapat yang bahas sosial-ekonomi macam begitu kok sok ilmiah ya, Memangnya sosial-ekonomi itu apa ? Wong saya sendiri saja tak cukup mapan menjelaskan hal itu."

Maka dalam keadaan semacam ini, mengambil keputusan dengan cara merespon tulisan Pangeran lewat secuil kisah adalah hal yang paling mungkin bisa saya lakukan. Selain melatih gagasan pribadi. Juga supaya tak ngawur dan sok ilmiah, padahal nol putul. Saya pun sadar diri, bahwa kualitas tulisan dan pemikiran saya juga jauh di bawah Pangeran Siahaan.

Berkoar menyoal keadilan sosial pasti tak lepas dari sejarah kita sebagai manusia. Mereka terlahir memang tak pernah sama jika ditatap dari sudut pandang materi. Ada yang terlahir kaya dan ada yang miskin. Ada yang terlahir memiliki sesuatu berlebih dan ada yang kekurangan sesuatu. Ini gamblang terlihat di sekitar kita. Kalau Bahasa Jawanya; wes cetho welo-welo.

Tapi akan tampak berbeda, jika manusia ditatap dari sudut pandang atau sisi pandang ruhani. Dan jika di pandang dari sisi ini, pendapat Pangeran tak lagi begitu relevan.

Manusia itu sejatinya ya sama. Tapi, agaknya cukup Tuhan yang mampu melihat secara penuh cinta dan adil ketika manusia dilahirkan. Mereka bersih dan suci. Sama-sama diberi ruh dan sama-sama diberi fadhilah. Tapi begitu amanat berpindah ke genggaman manusia. Keadaan yang sama punya potensi dan kemungkinan terbalik. Jadi unfair, khianat dan tak adil. Hal ini tak berlaku pada semua manusia. Tapi kecenderungan ini ada pada diri manusia.

Saya pun bisa membacot semacam itu berkat kerap mendengar dan baca berita di media. Mudahnya begini, kalian cukup browsing berita tentang berapa banyak kasus aborsi pada rentang lima tahun terakhir? Berapa banyak kasus bayi dibuang ke selokan, lalu dihanyutkan ke kali sampai dibuang ke tong sampah ? Berapa banyak? Coba cari tahu.

Ini belum soal penganiayaan pada anak. Juga penelantaraan secara moral, materil dan nilai dari orang tua terhadap anaknya; tak dinafkahi, tak dididik dan tak ada kasih diantara keduanya.

Maka tak sepenuhnya salah, jika seorang pernah berkata begini kepada saya,

"jika perceraian itu bisa dilakukan antara hubungan anak dengan orang tua. Mungkin pegawai pengadilan agama bakalan kewalahan mengurus berkas perceraian antara orang tua dan anak. Untungnya, perceraian kok hanya bisa diapprove sebatas pasangan suami-istri."

Saya pun kaget mendengar ucapan seperti itu. Meskipun tak langsung saya dengar dari yang bersangkutan. Bagaimana bisa seseorang berpikir seliar itu perihal perspektifnya tentang hubungan anak dan orang tua.

Dan tanpa saya minta bercerita, seseorang pernah merilis kepenatan hidupnya itu kepada saya. Kejadian ini masih saya ingat meski telah berlangsung 3 tahun yang lalu. Dan baru saya tulis saat ini. Seingat saya kisahnya seperti ini;

Kawan saya ini orang yang super ekstrovert. Kecerdasan sosialnya di atas rara-rata. Suka berbagi dan perfeksionis. Sungguh pun perpaduan karakter manusia yang rumit.

Selepas kami pulang kerja. Biasa kami bertemu, ngobrol, makan dan ngopi. Saya kerap diajak oleh dia untuk makan lalapan di dekat kawasan restoran makanan cepat saji. Kami berdua tak memakan makanan cepat saji itu. Ini bukan menyoal idealisme perlawanan terhadap kapitalisme atau si pemilik modal. Tapi soal prioritas celengan kami yang terbatas saja selama merantau. Juga selera makan malam kami yang tak begitu bisa menikmati jika makan di restoran cepat saji. Perpaduan yang pas. Ora kepengin dan eman beli makanan agak mahal.

"Aku itu, Pak. Mulai dari SMA hingga kuliah itu hidupku dibiayaai oleh beasiswa. Pertama karena prestasi. Kedua memang karena beruntung. " jelas kawan saya.

"Kenapa aku bilang beruntung. Ya, kalau bukan karena kebaikan orang-orang terdekatku. Aku ndak akan tahu info-info beasiswa. Kamu tahu sendiri. Aku itu orangnya malas ribet dengan hal macam administrasi. Meski aku perfeksionis dalam mengerjakan suatu hal atau pekerjaan." Lanjutnya

"Iya, bagus lah kalau begitu. Aku saja seumur hidup ndak pernah dapat beasiswa. Paling mungkin ya karena proyek kerjaan. Aku saving uang itu dan untuk membiayai kebutuhan selama rantau. Sudah" kataku

"Tapi semenjak aku lulus kuliah dan kini bekerja. Semua kok rasanya jadi lebih berat dari yang kuduga ya"

"Memangnya kenapa ?"

Pesanan dua porsi lalapan lele dan dua gelas es jeruk diantar si penjual ke tempat kami duduk lesehan.

"Terima kasih, Pak" ucap kawan saya ke penjual itu. Dan saya hanya memangguk ke penjual.

"Begini, Pak. Sebenarnya aku malam ini sedang pusing dan penat sekali. Sebab dua hal, pertama orang-orang di pekerjaanku yang gatheli. Kedua adalah permasalahan orang tuaku saat ini" ungkap kawan ke saya.

"Ohh..."ucap saya sambil makan lalapan lele atau pecel lele itu.

Nyatanya jawaban singkat saya itu tak menutup percakapan. Ia malah menceritakan secara vulgar perihal dua hal yang buat dirinya penat dan drop.

Kawan saya itu berinisial "S". S bercerita bahwa selama ini ia merasa dibenci oleh teman-temannya satu kantor. Itu akibat dari sikapnya yang kritis dan suka blak-blakan terhadap hak-hak dia di kantor. Belum lagi ditambah karakternya yang terlalu inisiatif dalam eksekusi tugas dari kantor. Sedangkan inisiatif itu dipandang merugikan kantor.

Sebagai akibat sikapnya itu. Dia mengaku tak mendapat respect dari teman kerjanya. Sebab ia selalu menuntut hal-hal kecil yang berhubungan dengan cuan. Yang dituntut pun sebenarnya sudah jadi hak dia. Tapi saking perhitungannya yang jeli soal cuan. Ia dipandang sebagai orang yang tak tepo sliro. Mata duitan. Bekerja tanpa rasa ikhlas. Duit...duit...duit terus yang ada di otaknya. Maka sebab itu teman satu kantor agak menjauhi dia. Itu yang dia rasakan.

"Mereka kalau saya tanya menjawab seperlunya. Mereka kalau saya ajak hangout, semua mengaku repot. Lalu setiap pekerjaan yang agaknya saya anggap sulit. Mereka selalu berkata, 'kamu bisa, kamu itu pinter'. " paparnya

"Bagiku itu bukan pinter. Tapi penghinaan dan memang dasarnya mereka malas bekerja sama dengan aku, Fuck ancene !" Lanjutnya

"Mereka tidak tahu-menahu. Bahwa selama ini hidupku itu sedang runyam. Dan untuk mengatasi kerunyaman hidupku itu, salah satunya adalah menuntut hak-hakku pada perusahaan. Toh perusahaan tempat kerjaku ini juga bergengsi. Tiap kali open di Job Fair. Yang daftar banyak sekali. Apakah salah aku menuntut hak ku ?" jelas dan tanyanya ke diriku.

"Ya enggak, S. Mungkin itu hanya soal cara. Kebaikan kan butuh alat untuk mendistribusikan. Minimal lewat mulut. Atau perilaku. Keduanya itu kan alat. Nah menurutku, kamu hanya perlu berkata dan bersikap yang gathuk. Pas dan presisi. Itu menurutku. Kamu bisa setuju, bisa juga menyangkal." Jawab saya ke S.

"Halah cangkemu...dirimu tidak merasakan apa yang tak rasakan, Pak !" Sahut S dengan nada menyangkal.

"Oke berarti kamu menyangkalku, S"

"Ya bukane gitu. Kondisiku iku ngene lo, Cuk. Wes iki aku blak-blakkan nang dirimu"

S adalah anak pertama dari dua bersaudara. Ia punyai adik kandung lelaki yang masih duduk di bangku kelas lima SD. Kedua orang tuanya tidak bekerja. Ibunya lumpuh dan bapaknya mengidap jantung koroner, dimana bapak si S tidak memungkinkan beraktifitas yang berlebih. Apalagi bekerja. Kedua orang tuanya sudah berusia 55 tahun. Kedua orang tuanya mempunyai hutang lebih dari 300 juta. Rumah yang jadi tempat keluarga kecil S berteduh adalah rumah kontrakan yang disewa dengan harga 12 juta per tahun. Rumah petak kecil berdekatan dengan bantaran kali.

S bekerja di perusahaan ternama. Tapi ia digaji tidak lebih dari 3 juta per bulan. Sebabnya simpel, ia fresh graduate. Jam terbang dan pengalamannya belum cukup membuat dia digaji sebesar 10 juta ke atas. Dia perlu pembuktian. Dan pembuktian selalu butuh waktu. Sedang waktu tak berpihak pada S. Ia butuh segera. Secepatnya. Sekilat-kilatnya. Maka omongan manis, "hasil tak akan menghianati proses" tak mampu lagi meredam si S. Bagi dia, omongan semacam itu bullshit.

Dia mengaku kebutuhan sehari-hari dalam sebulan bisa menghabiskan biaya kurang lebih 1 juta rupiah. Belum mencicil biaya kontrak rumah. Belum biaya listrik. Belum biaya berobat orang tua dan belum lagi keperluan tambahan untuk adiknya yang masih SD itu.

Kerabat kandung dari kedua orang tua S juga sudah tak begitu peduli. Sebab hutang-hutang sebelumnya tak kunjung terlunasi. Bahkan kerabat kandung juga sudah tahu, tak akan pernah terlunasi. Alasannya jelas, kedua orang tua si S tak bekerja. Juga gaji si S yang tak seberapa.

S pun bercerita ke saya, jika kedua orang tuanya baru mengaku dan berkata jujur perihal hutang, selepas si S mendapat pekerjaan. S mengaku syok dengar hal itu. Sempat ingin bunuh diri, tapi ia masih takut sakit. Juga tak ingin mati konyol. Apalagi mati dalam keadaan meninggakkan adiknya yang tak bisa bekerja dan kedua orang tua yang setengah sekarat.

Dalam perasaan runyam seperti itu. Ia kerap merenung. "Bajingan, hasil kerjaku gak iso tak nikmati gawe kesenenganku dewe. Aku ngempet, aku poso terus, Cuk !" ucapnya geram.

"Teman-teman kerjaku tidak tahu masalahku. Dia hanya judge,judge dan menjudge diriku sebagai karyawan yang mata duitan dan rewel. Padahal apa-apa yang aku tagih adalah memang hak-hakku. Dan sama sekali tak merugikan mereka."

"Pernah, aku ceritakan sekilas soal kondisi hidupku ke mereka. Tapi apa ? Mereka malah mengatakan kepadaku, seharusnya aku jadi pribadi yang lebih bersyukur, berprasangka baik pada hidupku, jangan suka menyalahkan orang tua."

"Mendengar tiap saran dari mereka itu tak ubahnya aku mendengar kata-kata motivator yang usang dan retak. Ibarat kataku, langit tak tergapai dan kaki terkubur tanah."

"Semenjak itu. Aku stop bercerita keluhku ke mereka. Tapi kini, apa yang terjadi ? Mereka malah bersikap munafik kepadaku." Lanjut si S

"Bagaimana kamu tahu mereka itu munafik kepadamu ?"

"Halah itu sudah terbaca dari gerak-gerik dan sikap mereka kepadaku. Aku yang tahu. Mana mungkin kamu mengetahuinya !" sanggah si S.

"Ya baiklah...oke !" Jawabku

"Pada intinya mereka tak pernah tahu tapi kerap ingin tahu dan merasa sok tahu dalam tiap saran-saran yang mereka utarakan menyikapi keluhanku ke mereka. Fuck kabeh !"

"Aku berarti juga Fuck ?"

"Mungkin wae."

"Oke wes...aku Fuck lah."

"Tapi begini, dari ceritamu, aku teringat dengan postingan Mas Rian entah lewat twitter atau instagram. Postingan itu sudah lama. Tapi membekas di benakku. Mas Rian pernah upload video berdurasi singkat. Itu video isinya wejangan dari seorang penjual buku di Velodrom, Sawojajar, Malang. Penjual itu difabel dan agak bermasalah pada pendengaran atau budek lah."

"Kenapa emange ?"

"Sebentar. Begini, nama Bapak itu adalah Pak Bambang. Ia pemilik toko buku 'cendekia'. Dalam video itu Ia berujar bahwa definisi bersyukur bagi dia adalah tunduk terhadap fakta. Fakta apa ? Ya fakta yang dialami dalam hidup Pak Bambang. Dia terkena penyakit syaraf. Dia difabel. Sebuah fakta yang diterima secara ikhlas. Bagi Pak Bambang, hal semacam itu adalah bentuk syukur. Ya, jelas tidak mudah, tapi sejak kapan ujian dari Tuhan bagi orang beriman itu mudah ?" Terangku ke S

"Kapan dirimu ada agenda ketemu Mas Rian ?" Tanyanya

"Mbuh kapan"

"Aku ndak tahu video itu, tapi ada kemiripan perspektifku dengan si Pak Bambang itu. Bagiku "ketika manusia diberi ujian bertubi-tubi. Itu ada dua indikasi. Dia sedang menerima karma dan menghapusnya lewat ujian itu. Atau dia sedang diangkat derajatnya. Dimana posisiku ? aku tak tahu. Yang aku tahu, aku mesti membela hak-hakku. Dan aku akan tetap jadi orang realistis. What the hell soal quote-quote murahan" pungkas si S.

Makan malam pecel lele rampung. Kami pulang masing-masing. Membawa beban ingatan masing-masing.

Tokoh 'saya' dalam cerita di atas adalah sahabat saya kala kuliah di Universitas Negeri Malang. Ia orang yang dermawan dan pengalah. Namanya "A".

Pesan whatsapp masuk ke ponsel pintar saya. Isinya begini, "Mas Rian, Kapan ke Malang ?"

Saya balas singkat. "Belum tahu. Aku masih kerja survei sinyal ini. heheh"

"Wah...kalau akan ke Malang, kabar-kabar ya Mas. Kita ngopi dan ngobrol-ngobrol" balasnya lagi.

"Siap. Aku juga mau sharing-sharing, coy. Ini soal LGBT. Seminggu lalu aku baru saja dapat keluhan dan cerita dari seorang kawan yang bercerita tentang kawannya. Tentang alasan dia menjadi seorang Gay. Dan alasan ini ndak mainstream agaknya" balas saya lagi

"Wah...yokopo iku, mas ?"

"Kepo. Gampang wes, kapan hari jika ketemu bisa jadi bahan diskusi. Tapi sesuai yang pernah kita bahas. Bahwa aku tak setuju dengan perilaku LGBT. Tapi kita wajib bela hak-haknya secara publik; Pelayanan sakit, makan di restoran umum dan pendidikan."

"Haha. Sipp Mas... Sepakat !"

"Yoih" pungkas balas whatsapp saya.

Pada akhirnya, saya berkesempatan bertemu si S dan kawan saya yang berinisial "A" itu.  Setelah bertemu dan berbagi cerita bersama mereka. Nyatanya saya belum bisa menjawab kerunyaman yang dialami si S.

Meski tak bisa menjawab. Tapi saya percaya, si S sedang berproses menyusun tiap puzzle-puzzle 'jalan keluar' dari kerunyaman itu.

Dan seperti yang baru saya yakini. Setelah baca opini Pangeran dan belajar dari kisah hidup si S. Bagi saya, keadilan itu tak mutlak jika diukur secara materi saja. Karena jika hanya diukur lewat materi. Maka konsep Tuhan Maha Adil itu akan dirobohkan ketika kemelaratan dan kekurangan lahir begitu saja di dunia ini. Lalu bagaimana keadilan itu bekerja ? Ia bekerja semenjak ada kesepakatan. Menjalankan secara bersama-sama dan seimbang antara hak dan kewajiban. Ketika hak dan kewajiban berjalan seimbang, keadilan akan mendekat.

Saya pikir Tuhan telah memberikan hak pada si S berupa kehidupan, rezeki mendapat pekerjaan dan kesehatan. Mungkin bekerja dan dapat gaji untuk merawat keluarga adalah kewajiban yang mesti dipikul dan dihandle si S saat ini. Dan itu bagian dari abdi dia kepada orang tua dan Tuhan. Karena, jelasnya, tentu ada efek paralel antara pangestu orang tua dan Tuhan.

Lewat abdi rejeki kepada orang tua dan keluarga kecilnya. Setelah kewajiban ditunaikan sebagaimana mestinya. Sampai pelan-pelan terasa ikhlas. Mungkin hak-hak si S juga akan ditambah oleh Tuhan. Apakah iya seperti itu ? Mungkin saja. Tapi yang pasti puzzle-puzzle 'jalan keluar' mesti terus dimunculkan, dikaitkan dan dibentuk. Sampai Tuhan berkata manis, " Ya sudah, kamu lulus ujian, ini hakmu, S"

kelak sampai dunia porak-poranda. Akan selalu ada yang namanya ujian Ketuhanan, kemiskinan, kekayaan, ketidakberdayaan, penindasan, permasalahan, pengkhianatan, ekspektasi yang mati, juga kekecewaan yang terobati.

Dalam buku kumpulan esai, Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya. Dea Anugrah pernah menulis, " Setiap saat puas dan kecewa menantikan kita, berdampingan. Suka dan dukacita, baik dan buruk, elok dan teruk. Juga apa-apa yang berda di antara mereka. Senantiasa juga mengisi dalam kehidupan kita yang bakal retak dan tak perlu setuju."

"Namun, kita bisa menikmati sebagaimana adanya. Kita dapat bersandar pada banyak alasan dan berkata, tanpa berteriak, bahwa hidup ini layak dijalani: musik, sepak bola, persahabatan, humor, belas kasih dan cinta...Dan dari pemahaman yang demikian harapan bisa terus lahir" tambah tulisnya.

Komentar

  1. Sebenarnya mau balas dengan tulisan lengkap. Tapi nggak jadi, karena tanpa balasan demikian pun kamu tipe yang bisa belajar sendiri. Sebelumnya, aku cukup salut dengan upayamu menyatukan hasil pembacaan teks dan kenyataan dalam satu tulisan tapi...

    Yan, yang dibahas Pangeran Siahaan itu tentang privilese. Privilese itu sesuatu yang didapat dari lahir dan tidak bisa memilih; termasuk lahir dari ortu seperti apa, di lingkungan bagaimana dan akhirnya nyambung juga ke ekonomi. Tulisan itu muaranya juga tentang perbedaan kelas yang memang kehadirannya adalah suatu keniscayaan. Tulisan itu tidak sedangkal tuduhanmu soal kopong ruhani hanya karena seolah bahasannya materi. Memang hak setiap orang menangkap macam-macam hal seusai baca. Tapi aku pengin ngomong kasar, tulisanmu ini minim empati ditutupi seolah sedang bahas ketuhanan, falsafah jawa dan kisah hikmah. Sakit mendengar minim empati terasa tuduhan? Rasanya dituduh tidak bersyukur barangkali serupa.

    Maaf aku keras karena kamu koncoku dewe. Terus untuk S, jika kamu membaca komentar ini, yang dilakukan Rian ke kamu itu bukan bijak tapi toxic positiviy, dia memaksakan keadaanmu harus baik-baik saja ditambah dia tidak mengecek privilesenya sendiri; dari ekonomi, dukungan untuk akses pendidikan hingga kesehatan relasi dengan orang tua.

    S, jika aku yang ada di lokasi ketika kamu becerita seperti ini, maka aku akan memelukmu dan bertepuk tangan untuk segala usahamu bertahan hidup. Caramu cari besasiswa hingga bekerja selepas lulus yang sama sekali tanpa privilese dukungan moral dari orang tua juga ekonomi, itu semua super keren. S, menangislah sepuasnya, juga marahlah sepuasnya. Tidak ada yang berhak memaksamu membuat keadaan seolah baik-baik saja.

    Dan S, kamu luar biasa. Teruslah bertahan hidup. Esok hari, meski Rian seniormu, kamu berhak tidak 'iya-iya saja' jika Rian berlaku seperti ini lagi padamu. Bukan karena ia seniormu, lantas semua ucapannya adalah benar.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer