Profesi Tak Diwariskan: Sebuah Pemahaman Baru


Profesi Tak Diwariskan: Sebuah Pemahaman Baru 


Akhir tahun lalu, saya memberanikan diri untuk mencetak buku pertama: Profesi Tak Diwariskan (PTD). Buku dengan tebal 266 halaman itu isinya tentang kumpulan catatan yang saya tulis di blog medio 2017-2019. Tapi tidak semua catatan di blog, saya masukan ke dalam buku tersebut. Setelah saya pilih, ada 46 catatan saja yang ingin saya masukan.

Perancangan buku ini dikerjakan oleh 5 orang, yaitu Saya sebagai penulis, Soeprapto dan Indra sebagai ilustrator, dan Ilmana Harir sebagai perancang sampul. Ditambah lagi satu orang teman yang tinggal di Yogyakarta--Mas Khotib. Dia yang membantu saya menemukan percetakan yang murah, sekaligus hasil cetaknya cukup rapi. Buku PTD ini dicetak hardcover dan full ilustrasi black and white (BW) pada setiap judul catatan.

Disela menunggu proses cetak buku ini, saya tawarkan langsung ke teman terdekat melalui DM instagram dan chat personal. Saya menawarkan tanpa pasang harga. Hal ini saya lakukan untuk mengetahui ketertarikan mereka pada Buku PTD jika selesai dicetak kelak.




Dokumentasi 1.1 : Saya menawarkan Buku PTD ke teman terdekat via DM instagram. 

Saya lupa mengirim DM seperti itu ke berapa orang. Kayaknya lebih dari 40 orang. Jujur, karena yang saya ingat hanya memesan buku dan dicetak sebanyak 100 eksemplar dulu ke percetakan. Alasan inilah yang kemudian membuat saya berinisiatif menawarkan ke teman terdekat via DM dan personal chat.

Waktu itu, menurut saya, 100 eksemplar adalah jumlah yang banyak. Sedangkan jika langsung pasang harga, saya tidak percaya diri. Kalau pun mau dibagikan asal-asalan ke teman, saya takut kalau salah sasaran. Jadi, untuk meminimalisir salah sasaran dan ragu-ragu pasang harga Buku PTD. Istilahnya saya cek ombak dulu, kalau ada yang tertarik, tinggal memasang harga bukunya.

Tanggal 12 Desember 2019, Mas Khotib mengirim pesan Whatsapp ke saya, kalau Buku PTD telah rampung dicetak.

Mendapat kabar itu, perasaan saya senang bercampur 'deg-deg'an. Kenapa seperti itu ? Pertama, karena ini pengalaman pertama dan baru dalam hidup saya. Kedua, buku ini lahir tanpa kru yang solid dan lengkap. Entah itu pengurasi naskah, editor tulisan, pengkritik naskah--ini sebutan menurut saya bagi partner yang bekerja mendebat dan menguatkan argumen penulis menyoal isi tulisan dalam buku, dan tim lain-lain yang belum saya tahu dalam menyusun sebuah buku.

Saya cerita ke Soeprapto, Indra, Ilmana Harir dan Mas Khotib. Apa yang saya rasakan setelah Buku PTD rampung dicetak yakni perasaan senang, was-was dan tidak percaya diri yang bercampur aduk.

"Santai aja, Mas. Hal itu biasa terjadi pada seseorang yang memulai hal baru dan pertama" Tulis Soeprapto di Whatsapp

"Gakpopo, Pak. Losss ae !!!" Tulis Ilmana Harir di Whatsapp

"Gakpopo, Lee. Gas ae. Terus ojo lali sebagai tanggung jawabmu, awakmu kudu ngadakno semacam penjelasan prosesmu ke pembaca. Sebaiknya lewat acara terbuka. Misal launching bukumu ngunulah." Tulis Mas Khotib di Whatsapp

Membaca balasan mereka via Whatsapp cukup membuat saya tenang. Utamanya pesan dari Mas Khotib, poin pentingnya bertanggung jawab dan menjelaskan prosesnya.

14 Desember 2019, saya langsung posting Buku PTD melalui Instagram. Proses Pre Order (PO) pun resmi di buka pada tanggal 15-25 Desember 2019. Postingan ini mendapatkan like sebanyak 160 akun. Dengan jumlah komentar hampir 40 kali.

Buku PTD saya jual dengan harga Rp. 40.000,- (sudah include pin dan kertas ucapan terima kasih). Sebenarnya harga itu adalah titik impas produksi. Saya tidak rugi dan saya tidak untung--jika itu diukur dari segi finansial.

Lalu apa sebabnya saya jual dengan harga titik impas ? Karena saya masih pemula dan tidak memiliki cukup kredibilitas sebagai penulis--ada perasaan tak pantas jika buru-buru cari untung dari jual karya. Tapi saya juga tidak mau rugi karena biaya mencetak buku. Di lain sisi, saya juga ingin Si penikmat karya mengapresiasi kerja seni dengan membeli, alias tidak gratisan.

Pertimbangan saya pasang harga itu simpel, yaitu sebagai bentuk komitmen bersama. Menurut sudut pandang saya, sebuah karya itu harus memiliki nilai. Nilai jual adalah salah satunya. Nilai inilah yang menjaga keterikatan dan tanggung jawab antara pekarya dan penikmat karya. Si penikmat karya merasa memiliki, Si pekarya bertanggung jawab terhadap karya yang dibuatnya. Jadi bisa dipahami, ya, kenapa harganya Rp. 40.000,- ?

15 Desember 2019, saya listing nama teman-teman yang PO Buku PTD. Sungguh di luar dugaan, hari pertama, jumlah yang pesan mencapai 84 orang.

Proses saya mencatat nama-nama yang PO Buku PTD, ternyata diabadikan oleh teman saya -- Mas Kunto. Terima kasih, Mas.



Dokumentasi 1.2 : status di twitter Mas Kunto.

17 Desember 2019, PO sudah ditutup. Karena yang pesan buku telah mencapai 100 orang. Persis dengan jumlah buku yang dicetak yakni 100 eksemplar. Sehingga jelas, saya dan tim tak mendapat bagian.

Tapi masih ada sekitar 30 orang yang mau pesan Buku PTD lewat DM instagram dan pesan Whatsapp. Ini jelas tidak mungkin, karena cetakan awal cuma 100 eksemplar. Tapi di sisi lain saya juga tak mau mengecewakan 30 orang yang rela PO ini. Akhirnya saya pun berdiskusi dengan Mas Khotib. Dan, dari hasil diskusi memutuskan untuk cetak ulang buku sebanyak 50 eksemplar saja.

Pada tanggal 19 Desember 2019, Mas Khotib seketika ke tempat percetakan untuk menginfokan bahwa Buku PTD cetak ulang: 50 eksemplar. Alhamdulilah, percetakan menyanggupi.

26 Desember 2019, Buku PTD sebanyak 50 eksemplar sudah rampung dicetak ulang. PO terakhir sejumlah 40 orang yang memesan. Semua dikirim setelah seminggu acara pernikahan saya. Sebab tidak mungkin saya langsung mengirim Buku PTD di tengah prosesi akad dan resepsi pernikahan. Hehehe.


Dokumentasi 1.3 : proses pengiriman Buku PTD ke berbagai daerah di Indonesia. 


Dokumentasi 1.4 : Caption tentang pemesan yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. 


Sisa 10 Buku PTD, saya berikan untuk: 4 orang perancang buku yaitu Soeprapto, Ilmana Harir, Mas Khotib dan Indra. Kemudian tersisa 6 buku lagi untuk saya dan keluarga di rumah. Eksekusi karya selesai. Tinggal menunggu respon, kesan dan kritik dari pembaca Buku PTD.



Feedback Buku PTD

Setelah satu bulan karya di tangan pembaca. Saya tak sabar menunggu feedback dari pembaca. Hingga tahap ini, saya semakin merasa deg-deg an. Bagaimana ya respon mereka setelah membaca karya yang dikerjakan jauh dari kata profesional itu. Hmm...

Muncul beberapa nama yang memberikan feedback pada Buku PTD. Nama-nama itu antara lain: Bagus, Poppy, Alinda, Yuni, Putri, Ulfamaudin, Rozaq, Michelle, Akad Lutfi, dan beberapa nama lainnya.

Saya berterima kasih kepada mereka semua, karena telah meluangkan waktu dan tenaga demi merespon Buku PTD. Saya rangkum saja feedback yang mereka sampaikan ke saya, baik secara lisan maupun tulis. Sebagian besar dari mereka menyukai tema dalam Buku PTD. Sebagian kecil terhibur, sisanya memperoleh informasi baru.

Tapi, inilah hal terpentingnya: hampir 80 % dari mereka sepakat dan setuju, teknis dan gaya penulisan saya kacau. Ini tampak dari bagaimana ketidakbecusan saya dalam meletakkan tanda koma (,) dan titik (.) pada suatu kalimat dan paragraf.

Membaca dan mendengar feedback itu saya sama sekali tak kaget atau berkecil hati. Justru saya mengonfirmasi dengan lapang dada: FIX, PRESISI, BAIKLAH. TERIMA KASIH SEMUA.

Loh, kok, malah gitu responnya, Rian ?

Iya, begitu respon saya. Kenapa memangnya ? Ada yang salah ? Tidak dong. Hehehe

Saya akan bercerita, bagaimana mula-mulanya Rian tidak becus mengurusi soal koma (,) dan titik (.). Baiklah, begini awal mulanya...

Bukan Bacaan Tapi Dunia Rekaan

Saya mengenal dunia baca-membaca sudah sejak kecil. Eiitss, tapi jangan salah kira dulu. Saya hanya membaca buku-buku mata pelajaran dan sesekali baca buku cerita legenda untuk anak. Maklum, Ibu saya adalah seorang guru SD. Jadi setiap hari ia meminjam buku dari perpustakaan untuk dibawa ke rumah. Mungkin maksud dia ingin anaknya mahir berbahasa dan menulis jika sering dibawakan buku cerita legenda setiap hari.

Tapi yang terjadi justru sebaliknya, saya jarang sekali membacanya, mungkin sedikit acuh pada buku cerita legenda yang dibawakan Ibu saya itu. Saya lebih senang bermain, bermain dan bermain. Ya, sebagaimana umumnya anak yang suka bermain di masa SD. Bermain kelereng, layangan, bersepeda, memancing ikan di kali dan kadang judi kartu yang dipertaruhkan kelereng--bukan uang.

Menariknya, Ibu saya tidak marah atau memaksa agar saya membaca buku cerita legenda itu. Kalau tidak mau baca, ya sudah buku itu ditaruh di meja belajar saya. Mungkin baginya, yang terpenting anaknya masih mau belajar buku-buku mata pelajaran. Waktu SD, saya selalu peringkat pertama, mulai Kelas-1 sampai Kelas-4. Setelah Kelas-5 dan 6, saya peringkat kedua dan ketiga.

Pada intinya, sejak kecil saya bukan pembaca buku-buku cerita anak. Tapi saya hanya pembaca buku mata pelajaran.

Namun, entah mengapa, saya selalu percaya diri bahwa daya imajinasi saya cukup baik ketimbang anak-anak seumuran saya. Hal Ini terasa saat saya duduk di bangku SD dan suka bermain "wong-wongan" bersama teman-teman. Tiap kali bermain, mereka selalu tanya tentang tema cerita "wong-wongan" hari ini apa ke saya.

Nah, bagi kalian yang belum tahu, Apa itu "Wong-wongan" ? Wong-wongan adalah sebuah permainan cerita bertema atau rekaan yang menggunakan media action figure.

Tanpa imajinasi dan referensi cerita, anak seusia SD pasti kesulitan menentukan tema cerita "Wong-wongan". Karena hal Ini hampir sama dengan pelajaran mengarang cerita. Bedanya, kalau pelajaran mengarang cerita ditulis di buku, kalau "wong-wongan" disampaikan secara lisan. Mungkin sebelas-duabelas dengan prosesi Dalang (seseorang yang memainkan cerita Wayang).

Saya bermain "Wong-wongan" hingga usia SMP. Meski teman seangkatan sudah melupakan permainan tersebut, saya tetap bermain. Bahkan, saat saya libur sebulan penuh karena patah tulang tangan kanan. "Wong-wongan" lah yang menemani sekaligus menghibur saya selama di rumah. Semasa SMP, saya cukup suka membaca koran juga, tetapi hanya di halaman olahraga saja. Itu pun berkat pengaruh Bapak yang mengajari saya menonton perkembangan dunia balap mobil--Formula 1 dan balap motor--MotoGP.

Namun tetap saja, "wong-wongan" adalah pertemuan awal saya dengan dunia imajinasi dan kreasi yang direncanakan secara sadar. Bukan koran, apalagi buku cerita legenda untuk anak.


Sebuah Percobaan: Hal-hal Baru Akan Diperoleh Bagi Mereka yang Mencoba

Kuliah. Itu adalah masa di mana saya mulai tertarik dengan dunia rekaan dan gagasan yang tertuang dalam tulisan. Mungkin karena circle yang mendukung dan saya memiliki semacam significant others yang kebetulan juga seorang penulis. Siapa dia ? Rahasia.

Saya mulai senang menulis rangkuman materi mata kuliah di buku. Saya juga selalu mencatat bahasan penting tiap kali rapat organisasi. Lalu menulis apa saja hal-hal menarik yang saya alami selama seharian. Dan, saya rutin sekali menulis caption di platform media sosial (Facebook/Twitter). Pokonya, tulis, tulis dan tulis.

Semua buku catatan itu masih saya simpan di rumah. Kapan hari akan saya fotokan untuk kalian. Saya jamin, kalian tidak bisa membaca maksud tulisan dalam buku catatan tersebut. Untuk platform media sosial, kalian bisa stalking sendiri melalui status Facebook atau cuitan di Twitter saya.

Tahun 2015, pertama kalinya saya diminta oleh organisasi kepenulisan fakultas untuk menuliskan kata pengantar dalam buku " Mengapa Saya Jadi Mahasiswa"

Tentu saya senang, tapi ada rasa tidak percaya diri. Ajar Hayu selaku ketua dan yang meminta saya menulis mencoba menenangkan saya, " Tidak apa-apa, Pak. Kamu tulis saja, nanti biar aku yang menambahkan." katanya waktu itu.

Terbitlah buku itu. Saya membaca ulang tulisan itu pada bagian pengantarnya. Sumpah, saya malu sekali dan mengatakan dalam hati, "seharusnya saya tidak menulis ini."

Masih tahun 2015, Pak Muhajir Effendy yang pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada periode pertama Pemerintahan Jokowi itu, membuat proyek berupa buku kompilasi kajian studi pustaka tentang fenomena sosial yang dikaitkan dengan pendidikan.

Saya ditugaskan menjadi koordinator dalam realisasi pembuatan proyek buku kompilasi tersebut. Buku kompilasi itu saya beri judul, "Masyarakat Harus Tahu."
Pikiran idealis saya terhadap judul itu, intinya, hasil kajian tidak boleh sekedar konsumsi kaum intelektual saja, masyarakat umum juga harus membacanya. Tujuannya agar terjadi proses keseimbangan antara ilmu yang dikaji di kampus dengan yang diproses di masyarakat.

Tahun 2016, Lulus dari Kampus. Karya terakhir berupa buku kompilasi berjudul "Mahasiswa dan Sudut Pandangnya". Di dalamnya saya berduet-tulis dengan Riki Anggrian, menulis tentang dunia mahasiswa dalam perspektif masing-masing.

Setelah saya keluar dari Kampus. Saya berpikir dan merenungkan buku-buku yang telah dicetak dan ada tulisan saya di dalamnya. Lagi-lagi, kata hati saya mengatakan, "seharusnya saya tidak menulis tentang itu"

Pada dasarnya, saya selalu menyesali apa yang sudah saya lakukan. Meski di awal senang, tetapi masalah muncul setelahnya: tidak pernah puas.


Kisah Seorang Awam yang Belajar Dari Ahli Makrifat Penulisan


  • Lulus kuliah


  • Membaca koran


  • Lowongan pekerjaan: wartawan


  • Menulis esai, "Mengapa Saya Jadi Wartawan"


  • Diterima kerja



Dokumentasi 1.5: Menerima kartu press dan bekerja di Jawa Pos Radar Malang.



  • Blank


  • Blank


  • Blank


  • Berkenalan dengan teknik penulisan Dahlan Iskan (DI)


  • Lebih tertarik Features daripada Straight News



Dokumentasi 1.6: Berita Features "Ken Swagumilang" masuk headline Jawa Pos Radar Malang.



  • Keluar dari Wartawan

Saya bekerja sebagai wartawan hanya berjalan satu bulan. Gaji pertama saya; Rp. 1.000.000,-

Dari gaji pertama itu saya membeli jaket katun. Harga jaket itu separo dari nilai gaji. Jaket yang saya beli itu, saya kirimkan untuk Ibu saya di rumah. Disertai surat yang saya tulis pada secarik kertas yang isinya: menjelaskan maksud saya membelikan jaket dan pemberitahuan bahwa saya undur diri dari pekerjaan sebagai wartawan.

Keinginan menulis tetap ada. Membuat blog dan diajari oleh Poppy. Tetapi belum rutin menulis dalam blog.

Terngiang dengan ilmu penulisan gaya Dahlan Iskan. Model tulisannya bergaya cekak dan padat. Kalimat pendek dan dipenggal dengan titik (.) -- teknik penulisan yang tidak lazim. Anehnya, pembaca senang dengan model penulisan Dahlan Iskan. Kok bisa ? Lah itu buktinya, oplah koran Jawa Pos meningkat setelah dipimpin oleh Dahlan Iskan. Dari 6000 eksemplar menjadi 500.000 eksemplar dalam kurun waktu 5 tahun.


Dokumentasi 1.7: Model penulisan gaya Dahlan Iskan di Disway.

Nah, selain gaya penulisan Dahlan Iskan. Saya juga terkagum dan belajar secara otodidak dari tulisannya, Goenawan Mohamad (GM). Pak GM ini adalah guru jurnalistik dan menulisnya DI. Tetapi, seiring berjalannya waktu, tulisan keduanya ternyata berbeda sangat jauh. Tidak percaya ? Lihat ini.


Dokumentasi 1.8: Gaya penulisan GM di Cacatan Pinggir yang termuat di Majalah Tempo. 

Gaya tulisan Pak GM lebih mengandalkan metafor, kiasan dan detail sejarah serta referensi yang ia ketahui.

Jujur saja, Catatan Pinggir atau yang kemudian lebih dikenal "Caping" itu adalah kumpulan catatan yang sangat menginspirasi saya untuk menulis catatan lewat blog. Kenapa saya suka ? Karena tulisannya ringkas dan imajinatif. Hanya selembar saja cukup. Meskipun sebenarnya saya juga tak pernah tahu apa maksud dari tulisan GM itu. Saya hanya menyukai keindahan dan keringkasan tulisannya. Saya terinspirasi, lalu meniru gaya tulisannya. Sesimpel itu saya belajar otodidak.

Namun seiring proses dalam belajar, referensi saya juga bertambah tentang bahan bacaan dan gaya penulisan. Misalnya saja, saya mulai suka dengan gaya tulisannya Mas Puthut EA, gaya tulisannya alm. Mahbub Djunaidi. Dan, gaya penulisannya alm. Umar Kayam.

Pelan namun pasti, gaya catatan yang saya tulis di blog pun juga berubah. Itu pun kalau kalian mengamati mulai awal saya menulis di blog hingga sekarang. Pasti gaya penulisannya berbeda.

Namun yang agak sulit adalah merubah kebiasaan menulis kalimat dengan gaya Dahlan Iskan--yang cekak dan padat. Alih-alih mudah dipahami dan tidak melelahkan pembaca, eh, justru sebaliknya.

Begitu pun gaya metafor seperti tulisan GM. Terkadang saya masih tergoda menyelipkan kalimat metafor dan hiperbol dengan tujuan supaya terkesan indah, eh, yang terjadi kalimat malah sulit diindahkan.

Sebenarnya kekurangan dalam menulis kalimat ini sudah saya mengerti sebelum Buku PTD dicetak. Penulisan yang sok-sok'an ikut DI dan GM mungkin bakalan jadi boomerang untuk diri sendiri. Tetapi entah mengapa, saya selalu penasaran ingin mencobanya dan menunggu respon dari pembaca Buku PTD.

Ya, mungkin inilah konsekuensi belajar otodidak dengan Ahli Makrifat Penulisan, seperti DI dan GM. Saya pun tersesat. Beginilah akibatnya jika mudah tersipu dengan keringkasan dan keindahan tulisan seorang tokoh, tetapi tanpa tuntunan dari yang bersangkutan.

Malam ini, saya kok teringat petuah Mas Puthut EA,

"tulisan yang baik adalah tulisan yang kamu bisa mengerti dan paham dulu sebelum orang lain membacanya."

Baik. Saatnya belajar menulis kalimat lagi: yang jujur dan bisa dipahami. Dan, ini agaknya juga penting, yaitu belajar "menjadi" bukan "ingin menjadi".

Akhirnya saya kembali menuliskan kalimat yang pernah terucap pada tahun-tahun sebelumnya. Namun kali ini kalimatnya lebih jelas. " seharusnya saya tidak menulis seperti itu di Buku PTD, ahhhhh !"


Terima kasih semua
Salam
Selamat belajar bersama

Komentar

  1. Coba gabung di kopling (komunitas literasi nganjuk) di FB ada, disana banyak sesepuh yang sudah berpengalaman mungkin bisa menambah ilmu.
    Jangan lupa mampir diblog sya desakuberkarya.blogspot.com ๐Ÿ™
    Salam Literasi ๐Ÿ˜Š

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas informasinya, ya. Baik, saya akan mampir.

      Hapus
  2. Aku sekitar semingguan lalu DMan sama Bagus ngomongkan bedah bukumu setidaknya harus segera via onlen mumpung momennya belum jauh dari usia cetaknya dan kata Bagus, sebener e sudah diomongkan sama anak-anak Nganjuk.

    Kata Raditya Dika di podcastnya bareng Deddy Corbuzier, orang sukses itu bukan yang hanya pintar tapi punya rasa penasaran. Aku rasa selama pertemanan di kampus, ada dua orang yang menonjol rasa penasarannya: Wiwin dan kamu. Bedanya, Wiwin sudah mantap soal pencarian dan validasi, Yan. Dia tau ketika menulis itu dia jalannya kemana hingga kita kenal dia sebagai wisudawati non akademik terbaik karena hasilnya kompetisi KTI sampai PKM. Wiwin mencapai sukses dengan pengertiannya sendiri dari rasa penasarannya, dengan ketiadaan privilese bakat, figur dalam keluarga dan ekonomi.

    Aku memang keras ketika merasa gelo, kamu tidak perbaiki tulisanmu dari saran yang bahkan jauh sekali sebelum cetak dan harusnya bisa kamu selesaikan sendiri. Hal-hal ini yang ke depannya akan jadi modalmu sendiri sebagai penulis. Tapi akhirnya aku melihatmu yang masih dalam masa pencarian dan validasi, kita semua sebenarnya begitu hanya beda bentuk. Makanya dalam proses ini aku mendorongmu coba tetap nulis di blog dan kirim lintas platform, temui teman dan lingkaran baru. Mereka yang mungkin akan baca, setuju dan mendebat tulisanmu tanpa melihat Rian sebagai pribadi yang mereka senangi. Temui orang-orang baru ini dengan tulisanmu. Karena mengupayakan hubungan personal melulu, barangkali akan alot karena banyak sekali yang tengah mengupayakan cara serupa pada orang-orang selevel ini.

    Kita tidak tahu bagaimana ke depannya kerasanya seorang Rian belajar hingga perkembangannya bisa jadi mengejutkan kami semua, teman-temanmu.

    Terus jaga nyala pencarianmu, Yan. Selagi nyala itu ada, petemuan-pertemuan mengejutkan sedang menantimu. Tapi hati-hati dengan upaya validasi, bisa menjebak. Juga kadang, kita perlu meletakkan pengertian sukses menulis dari orang lain.

    Kalau kita ketemu lagi, aku tidak akan terima alasan apapun soal Rian yang berhenti.

    Kamu pandai menciptakan pasar, lanjutkan itu. Sejak kecil dalam tulisanmu ini sebenarnya sudah ada tanda, kamu ada jiwa kepemimpinan. Orang-orang bisa percaya mengikutimu.

    Sekarang tinggal gimana setelah PTD ini ada perkembangan-perkembangan mengejutkan dari seorang Rian.

    Menulislah dengan bahagia. Semoga bertemu dengan apa-apa yang kamu impikan.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer