Catatan Parsial

 



Hampir dua minggu terakhir, tiap kali saya bangun tidur mata saya melihat dua manusia penting dalam hidup saya--saya tak berlebihan juga tak kurang sama sekali menyebut seperti itu. Dua manusia itu adalah istri dan anak perempuan pertama kami. Tetapi, jika boleh berkata jujur, saat ini perhatian saya lebih banyak disita oleh anak kecil berumur tiga bulan lebih seminggu itu ketimbang ibunya. Bukan karena pilih kasih, namun lebih kepada ketakjuban melihat perkembangan anak kecil itu. Anak kecil itu saat ini sudah bisa tengkurap dengan caranya sendiri tiap bangun pagi. Itu adalah fase yang membahagiakan bagi saya dan mungkin juga bagi si kecil. Inilah yang membuat saya lebih memperhatikan si kecil tiap kali bangun pagi ketimbang ibunya. Apa, sih, yang menarik dari seorang ibu yang tengkurap ketika bangun pagi ? Mungkin lebih menarik jika si ibu bangun pagi dan mencium kening suaminya, lalu berkata, "Selamat pagi, pangeran kesiangan"

Anak kecil itu bernama Arundhati Kindi Arrifda. Setidaknya itu nama si kecil yang kami sepakati. "Arundhati Kindi" adalah nama yang idenya berasal dari saya, sedangkan "Arrifda" dari istri saya. Sebenarnya saya tidak terlalu setuju dengan tambahan "Arrifda". Menurut saya, orang dengan nama lebih dari tiga suku kata itu pemborosan nama. Toh, dalam pergaulan sehari-hari kelak, seberapa pun panjang nama orang tetap dipanggil dengan sebutan satu kata. Selain tidak suka nama yang panjang, saya juga gamang ketika istri saya menjelaskan bahwa ia mengambil kata Arrifda dari internet. "Arrifda itu dari bahasa apa ?" Tanya saya. Ia menjawab, "dari bahasa numerologi." Dalam hati saya membatin," apa, sih, numerologi ! Hadeh"

Jaman memang punya arahnya sendiri, jika generasi bapak dan ibu saya memberi nama anaknya karena terinspirasi seseorang atau makna khusus yang terjadi dalam hidup mereka, berbeda dengan generasi kami--saya dan istri--yang mendapatkan inspirasi dari mesin pencari--itu, sih, cuma istri saya.

Tetapi, bagaimana pun saya tetap menikmati dan bersepakat memberi nama anak perempuan pertama kami: Arundhati Kindi Arrifda. Alasan utamanya saya ingin menghormati istri dalam pemberian nama anak. Ia harus turut andil. Bukankah tidak adil apabila seorang bapak mau menang sendiri dalam memutuskan nama anak ? Padahal, yang mengandung selama lebih dari sembilan bulan dan merasakan sakitnya melahirkan adalah seorang istri.

Dengan kesadaran itulah saya menerima dengan legowo. Dan saya punya siasat jika ditanya orang, utamanya menanyakan apa artinya "Arrifda", saya akan menjawabnya dengan sederhana: Arrifda adalah singkatan "Anak dari Rian dan Farida". Saya pikir itulah jawaban efektif dan simpel. Orang bisa anyang-anyangen kalau saya menjawab arti Ariffda itu bla...bla...bla dan diambil berasal dari bahasa numerologi.

Saat ini, Kindi--panggilan anak kami--sudah bisa tengkurap dan merespon dengan jeritan atau cekikikan tiap kami kudang--menghiburnya. Di usianya yang menginjak tiga bulan lebih seminggu, ia sudah bisa tengkurap, dan punya berat badan 8 kilogram, para petugas di posyandu bayi terheran:

" Ya Allah, nduk, sampean kok nimpluk, to"

"Ya Allah sampean kok gesit wes iso murep"

Maka saya dan istri tertawa ketika Bu Lik--salah satu petugas posyandu bayi--mengirimkan pesan singkat, "bobote Kindi gede dewe sak dusun Rejosari (red:satu angkatan lahir)."

Syukurlah, setiap hari Kindi meneguk ASI--entah langsung dari ibunya atau ASI yang disimpan dalam frezer. Ketika bersama ibunya, Kindi akan menetek langsung. Jika ditinggal ibunya bekerja, ia akan diberikan ASI yang dicairkan, yang diambil dari frezzer. Ketika ditinggal ibunya, Kindi bisa menghabiskan 50-70 ml ASI sekali minum. Sedangkan dalam sehari ia bisa menghabiskan 250 ml/hari. Itu juga tergantung si ibu pulang sore atau malam.

Ibu Kindi bekerja formal dari jam 09.00 - 17.00 WIB. Pulang-pergi dari Trenggalek ke Tulungagung, perjalanan tempuhnya sekitar satu jam. Ia bekerja mulai hari Senin hingga Sabtu. Dalam enam hari kerja, saya hanya mengantarkan satu atau dua kali. Terkadang hati saya tersentuh tiap kali si ibu pulang kerja dan masuk ke rumah, lalu membuka pintu kamar tidur dan ia membuka maskernya, "Dek Kindi...Ibu sudah pulang"

Dari jauh Kindi akan melirik si ibu, lalu tersenyum. Kadang tergopoh-gopoh. Kadang berteriak. Dan disamping Kindi, saya cuma menimpali, " itu ibu sudah pulang." Dan sudah bisa saya ditebak, Kindi tak menghiraukan suara saya. Ia hanya menegok ke arah ibunya berdiri. Di momen seperti itu, istri saya tak serta-merta mendekati Kindi dan mencium atau memeluknya, karena ia harus mandi terlebih dahulu.

Sebagaimana pekerjaan merawat, ia tidak bisa dikatakan mudah. Sebab, tanpa kesadaran dan pengertian mendalam, pekerjaan merawat itu akan terasa berat. Apalagi merawat bayi. Mungkin pekerjaan saya merawat Kindi tak seberat istri, karena, apabila dianalogikan saya itu cuma pemain cadangan atau pelengkap, sedangkan istri adalah pemain inti dalam hal merawat Kindi. Ini bukan berarti saya menyerahkan semua urusan merawat anak ke istri, tapi ini sebuah pengakuan terdalam bahwa kecakapan, keterampilan dan keniscayaan seorang perempuan itu hampir mustahil dilakukan seorang suami. Sederhananya, istri selalu punya kesadaran dan kecenderungan lebih terampil ketimbang suami dimulai dari kesetiannya begadang--karena tiap 2-3 jam bayi harus minum ASI, bangun lebih pagi, melakukan pekerjaan rumah tangga dan merawat anak secara bersamaan, belum lagi jika istri juga seorang pekerja. "Waow !" Mungkin itu kata yang tepat untuk perempuan sedunia.

Dan, satu peran yang mungkin bisa disetarakan tapi tidak bisa digantikan: menyusui--dalam arti sebenarnya. Berangkat dari kesadaran itu, saya berusaha sebisa mungkin melengkapi peran merawat Kindi. Mulai dari: mencuci bajunya tiap pagi, menata bajunya, memandikannya tiap sore, menemani bermain, dan menyiapkan ASI untuk Kindi saat ibunya bekerja. Saya bisa lakukan itu semua karena, saat ini saya masih WFH, tugas-tugas itu saya selipkan di tengah bekerja. Jika WFH telah usai, saya tak tahu lagi harus berucap apa ke Kindi dan istri saya. Karena jelas istri dan Kindi akan berpisah beda kota dengan saya dalam kurun lima hari, itu pun jika saya pulang setiap minggunya.

Kindi lahir dengan bobot 4 kilogram. Ia lahir di waktu ashar. Detik-detik menuju Kindi lahir, perasaan saya bergejolak antara khawatir dan bahagia. Hanya dua kata itu yang sanggup saya bahasakan kepada kalian. Saya khawatir sebab waktu itu sudah dua hari istri saya terbaring di rumah sakit. Dan, belum ada tanda-tanda "bukaan" bertambah. Hanya berhenti pada bukaan dua. Padahal orang lain yang datang bersamaan dengan istri saya ke rumah sakit sudah pada melahirkan--baik secara normal maupun operasi. Istri saya bingung, sedih dan wajahnya pucat. Saya melihatnya dari dekat sekali. Ia sedikit berkeluh kepada saya tentang "bukaan" yang tak ada perkembangan. Di sisi lain, istri saya mengatakan tubuhnya terasa sakit semua akibat pil perangsang kontraksi yang masuk ke tubuhnya. "Apa operasi saja ya, Mas ?" Tanyanya.

"Pokoknya yang terbaik buat dirimu dan si kecil, Bu. Dalam hatimu ingin si kecil terlahir operasi atau normal ?" Balas saya.

"Kalau bisa, ya, normal" jawabnya dan terlihat air matanya menetes.

"Iya, inshallah bisa."

Tak lama berselang, bapak saya menelepon dan mengatakan bahwa dia sudah sampai parkiran belakang rumah sakit. Saya langsung menuju ke tempat parkiran tsb untuk menemui bapak saya. Ketika saya menemuinya, saya menjelaskan bahwa bapak dan ibu saya yang datang dari Nganjuk ke Trenggalek, tidak bisa menjenguk atau masuk rumah sakit. Hal ini berkaitan dengan protokol kesehatan yang diterapkan di rumah sakit di masa pandemi.

Setelah ngobrol tak lama, saya ijin ke mereka untuk kembali menemani istri saya di ruang bersalin. Lalu bapak saya memberikan air putih kemasan 1,5 liter ke saya. Dan ia berkata, "sampaikan ke istrimu, dan anakmu yang masih di dalam kandungan bahwa "Mbah Nganjuk" sudah di sini."

Saya mengangguk. Dan segera ke ruang bersalin untuk menemani istri saya. Sesampainya di ruang itu, wajah istri saya tampak lebih tenang. Saya mengatakan kepadanya bahwa Mbah Nganjuk sudah sampai sini, dan saat ini ditemani oleh Mbah Trenggalek di ruang transit dekat parkiran. Setelah itu saya seperti orang monolog di depan perut istri saya, sambil mengelus-elus dan mengatakan, "Nak, Mbah Nganjuk sudah di sini, sekarang mereka sama Mbah Trenggalek menunggu kamu lahir."

Ajaib. Lima belas menit kemudian, istri saya perutnya mulai bereaksi lebih keras, katanya. Lalu saya memanggil petugas bersalin atau bidan yang berjaga. Bidan itu mulai melihat kondisinya dan mengatakan bahwa "bukaan 3".

Saya spontan bertanya, "apakah ini tanda memungkinkan lahir normal, Bu ?"

Dengan entengnya bidan itu mengatakan," o...ya pasti bisa dong" lalu tersenyum. Setidaknya kalimat itu adalah energi baik yang kami dengar.

Istri saya sudah mulai tersenyum dan saya bercandai, "menurutmu, kalau orang dewasa rutin minum ASI, bakalan lebih sehat dan bahagia, nggak, ya ?" Mendengar pertanyaan itu dia merespon cengar-cengir.

Satu jam kemudian, bidan yang bertugas memeriksa istri saya lagi dan mengatakan bayi sudah siap untuk lahir. Dua bidan menangani proses persalinan. Saya merangkul dan menyangga badan istri saya dalam posisi ideal melahirkan. Seingat saya proses bersalin cukup cepat, tak sampai se-jam, dan lahirlah Kindi ke dunia. Sungguh saya lega dan bahagia.

Saya selalu teringat momen itu ketika duduk santai di depan teras malam hari. Momen menakjubkan itu. Momen bayi perempuan yang lahir dengan berat 4 kilogram itu, yang kemudian kami beri nama; Arundhati Kindi Arrifda.

Tak terasa, kini, ia sudah berusia tiga bulan lebih seminggu. Ia sudah merespon suara orang di sekitarnya. Ia sudah bisa tengkurap. Ia selalu menjerit tiap kali saya rayu dengan pertanyaan sederhana, dan Ia peka pada siapa saja yang penuh hati menghiburnya.

Lalu, apa artinya Arundhati Kindi ? Jika ada pertanyaan seperti itu saya akan jawab sambil cengegesan, "Rahasia !"











Komentar

Postingan Populer