Pameran

 



Kapan hari saya mengunjungi pameran tunggal yang memajang karya seorang teman di Semeru Art Gallery. Teman saya itu membuka pamerannya ini pada 13 Maret 2021. Jika mengulik info lewat media pribadi si perupa di instagram, pameran ini rencananya akan digelar satu bulan penuh. Meskipun pameran tunggal, ia mengaku terwujudnya pameran ini berkat kebaikan dari lingkar terdekatnya, mulai dari: kurator, teman organisasi, sukarelawan, dan tentu... teman sehati saat ini. 


Pameran ini berjudul: Hidup dan harapan yang berlebihan dan sesal dan umpatan dan perasaan yang tiba-tiba murka dan tangis. 


Edan !


Nyolok benar ia memilih judul macam begitu. Aneh. Tak beraturan. Juga nglejing. Sepengetahuanku, tak pernah ada judul pameran seni rupa sepanjang itu. Ia menatah tujuh belas kata untuk judul pameran tunggalnya. Padahal, rata-rata judul sering dibikin simpel dan sedikit kata. Namun judul ini memeng nglejing, juga muram. Saya tak tahu persis apa maksud dia memilih judul panjang dan muram seperti itu. Tapi jika pernah ada pameran tunggal seorang perupa dengan judul lebih dari tujuh belas kata. Boleh koreksi pernyataan saya ini. 


Perupa penggagas pameran ini bernama panjang: Bambang Suprapto. Dari namanya mungkin kalian bisa berspekulasi kalau ia tumbuh besar di era penuh kurasi dan pembungkaman. Kalian salah, justru ia tumbuh di era matinya kurasi dan kebebasan buta batas. Saat pameran tunggal digelar, ia belum genap usia 24 tahun. 


--------------------


Perkenalan dengan Bambang Suprapto--saya memanggilnya "Mbeng"-- terjadi pada tahun 2015. Pada tahun itu pula ia baru menyandang titel sebagai mahasiswa baru. Peristiwa spontan dan acak mempertemukan kami. Pertemuan itu terjadi ketika organisasi seni yang saya ikuti melakukan ngobrol santai bersama mahasiswa baru, dan Mbeng satu diantaranya dalam sesi itu. Lalu teman saya Adita Noor Miro'j memperkenalkan kami, Adita juga mengatakan bahwa Mbeng asli dari Nganjuk. Jujur saya senang karena bertambah teman baru dari satu kota. Semacam primordial kultural kalau kata Cak Nun. 


Mbeng adalah mahasiswa non jurusan seni rupa yang menurut saya cukup konsisten dalam melahirkan karya seni rupa--khususnya lukis. Entah karya tersebut berakhir dikomersilkan atau sekedar proyek kelegaan pribadi ataupun kolektif. Jelasnya, ia terus menggambar. Saya pikir ini semacam karomah dariNya yang terus dirawat dan diikhtiari secara ajeg. Sehingga, tanpa ia belajar formal tentang seni rupa, ia mampu mengekspresikan sesuai kadarnya. Saya masih was-was dan belum berani berkesimpulan bahwa kemampuan dia menggambar itu adalah peristiwa ilmu laduni--langsung dari Gusti Allah. Ya, tapi Allahualam. 


Mendatangi pameran tunggal Mbeng kali ini, saya sudah menata hati dan bersiap melihat sekaligus menikmati karya lukisan yang muram, pedih dan getir. Saya tak tahu, apakah hal seperti ini diperbolehkan dalam aktifitas pra-menikmati karya ? 


Masuk ke galeri pameran, saya tak langsung menikmati karya lukis Mbeng, tetapi saya menuju ke penjabaran dan penjelasan pameran yang ditulis oleh sang kurator. Setelah selesai membaca, asumsi yang saya bawa sebelum melihat karya pameran ini seperti terjadi proses sintesis. Peleburan antara tesis saya dan antitesis yang ditulis kurator. Jika asumsi saya sebelumnya karya ini berisi banyak kegetiran dan kemuraman, kurator punya cara pandang berbeda. Ia lebih menekankan pada sisi penerimaan dan keberserahan diri atas ekspresi yang keluar dari karya-karya lukisan Mbeng. Keduanya sama-sama subyektif; antara saya dan kurator. Namun, setidaknya pemahaman saya diperkaya setelah membaca hal tersebut.


Saya berkeliling melihat dan membaca judul sekaligus penjelasan dari tiap lukisan yang dipamerkan. Puas berkeliling ke semua karya yang dipajang, kepala saya penuh berisi dua pertanyaan besar yang ingin saya ajukan ke Mbeng. Belum sempat bertanya, kami--saya, Mbeng dan beberapa teman--dikejutkan dengan kedatangan dua anak perempuan mengasong jajanan kue basah. Kedua anak ijin terlebih dulu sebelum akhirnya mereka beringasan menilik karya lukisan Mbeng yang terpajang. 


Mereka tidak paham garis batas antara karya yang dipajang dan pengunjung, mereka tidak tahu kalau ada tulisan besar "Jangan Disentuh". Bahkan, keranjang yang berisi kue basah itu sempat nyerempet dan bertabrakan kecil dengan dua karya. Tapi saya tak melihat wajah kesal dari Mbeng. Justru saya yang mir-mir atau was-was. Tanpa pikir panjang akhirnya saya tanyai dua anak pengasong itu, selain menanyai namanya, tujuan utama saya memberikan penjelasan bahwa ada aturan yang mesti ditaati di galeri ini. 


Dua anak pengasong itu bernama Nova dan Yuri. Keduanya bersaudara. Yuri adalah anak dari kakak kandungnya Nova. Keduanya masih duduk di bangku SD. Atas alasan sekolah online, mereka banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk berjualan. Mereka berjualan dari petang hingga pukul 2 pagi. Mendengar mereka menjawab 2 pagi, seketika saya malu dan kagum degan dua bocah pengasong ini. Malu karena di usia segitu saya hidup di ekosistem keluarga yang tak mengenalkan dunia pekerjaan sedini itu, apalagi bekerja hingga larut pagi. Sedangkan rasa kagum muncul karena tak ada wajah nggerundel atau payah sama sekali dari Nova dan Yuri. Mereka ceria sekali. 


Mereka berkeliling cepat melihat karya yanh terpajang, saya iseng menanyai merek tentang apa yang mereka rasakan setelah melihat karya yang terpajang. Nova terlihat berpikir, tapi Yuri seketika mulutnya nyeplos, "Keindahan dan kebagusan."


Saya penasaran arti keindahan dan kebagusan dari anak seusia Yuri. Saya tanyai lagi maksud Yuri mengatakan "Keindahan dan Kebagusan". Ia tegas mengatakan, "ya bagus, ya indah saja."

Saya menyimpulkan dari jawaban Yuri, makna tersebut berarti masih murni dan objektif apa adanya sesuai pendapat umum soal kebagusan dan keindahan. Dalam hati saya berdialog dengan diri sendiri, bagi saya peristiwa ini refleksi besar bagi saya--dan saya menduga Mbeng juga merasakannya--bahwa anak-anak seringkali lebih jujur dan murni menilai sesuatu ketimbang orang dewasa. Jika beberapa pengunjung yang notabennya orang dewasa--termasuk saya--mengatakan persepsi yang muncul setelah melihat karya Mbeng adalah muram dan sedih, Yuri memandangnya berbeda. 


Jika saya boleh menduga, Yuri mungkin takjub dengan orang yang bisa melukis di kanvas dengan saturasi dan gradasi warna serta ragam bentuk seperti lukisan Mbeng. Ia tak memandang atau menggali makna, ia hanya berbicara jujur tentang persepsi dan rasa yang muncul ketika melihat suatu karya. 


Inilah titik pecutan telak dari seorang Yuri ke saya, Mbeng dan mungkin pengunjung lain. Seringkali kita ingin mempersepsi hal-hal yang jauh dari kita, bahkan yang tak tampak sekalipun hanya ingin terlihat bagus. Padahal bagus yang semurninya adalah menilik sesuatu secara apa adanya. 


Berbeda dengan Nova, ia membaca karya lukisan Mbeng yang tertulis di pintu kaca. Ketika ditanyai apa yang dia rasakan setelah membaca lukisan berupa tulisan itu, Nova menjawab, "Wah...yang menulis ini sedang sedih, ya. Kalau sedih itu jangan diceritakan ke orang-orang, karena tidak semua orang akan peduli dengan kesedihan kita."


Mendengar jawaban itu, seketika saya melirik ke Mbeng, ia tertawa lebar, otomatis saya pun ikut tertawa lebar. 


Setelah berhenti tertawa, Yuri dengan beringasan menodong saya, Mbeng dan para pengunjung untuk membeli dagangannya. Kami pun membelinya dengan jumlah yang wajar. Lalu dua anak itu berpamitan dan melanjutkan mengasong. 


Sambil memakan kue, akhirnya saya bertanya ke Mbeng, belum saya melontarkan pertanyaan si Mbeng menjelaskan sekaligus menjawab satu pertanyaan besar saya ke dirinya. Ia mengatakan bahwa 3 kanvas yang terpajang di dekat meja absensi pengunjung itu adalah sebuah trilogi atas peristiwa demi peristiwa kehidupan yang sudah ia lampaui, dijalani saat ini dan harapan yang akan datang. Entah mengapa saya ayem mendengar penjelasannya tentang karya trilogi tersebut. Semacam energi besar tersimpan dalam dirinya dan ia mampu mengendalikan. Rampung menjelaskan karya trilogi itu, saya bertanya lagi ke Mbeng, "sejak aku mengenal karya-karyamu, yang aku tahu taste dan genre karyamu, kan, self potrait. Kenapa kali ini berbeda sama sekali ?"


Mbeng menjawab dengan detail, dan kali ini saya rahasiakan jawaban itu dengan tidak menuliskannya di status ini. Tapi saya akan menulis bait omong kosong untuk dirinya di bawah ini:


Air jatuh ke titik rendah

Menjalar indah menyibak tanah

Di titik rendah tugas mencari celah

Mengalir lembut mengarah muara berkah


Suatu waktu cintamu akan tiba

Tugas demi tugas bukan urusan menilai

Alam akan mengurasi

Pegangan tunduk arah satu pasti

Menikmati air mata bergulir mesra sebelum akhirnya berganti mata air

Komentar

Postingan Populer