Keluarga Tiga Teritori


Seminggu terakhir saya punya PR besar dalam urusan menulis. Sebab, ada dorongan cukup besar untuk saya kembali menulis, namun ada tembok besar yang menjadi penghalang untuk memulai. Tembok besar itu berupa pertanyaan sederhana: saya harus memulai dengan menulis tentang apa ? Lalu apakah saya masih bisa menulis sesuatu ?


Selama seminggu itu saya mulai membaca ulang tulisan-tulisan yang pernah saya buat. Selama seminggu itu saya mencari referensi tulisan-tulisan yang dibuat oleh Prie GS, Mahbub Djunaidi, Puthut EA, Yusuf Arifin dan Cak Nun. Ini bukan saya sok besar dengan nama-nama penulis tersebut, tapi saya merasa lebih dekat dengan mereka dari sisi penulisan dan tema yang ditulis. Tapi hasilnya sudah bisa diduga: BLANK !


Dalam keadaan yang seperti itu saya tambah bingung dan merasa risih karena merasa tidak bisa mulai menulis dan tidak bisa memunaikan tugas dari diri sendiri. Padahal kalau dipikir secara rasional, tidak ada yang peduli dengan masalah yang saya hadapi ini. Tapi tetap saja, saya menganggap ini sebagai masalah saya dengan diri saya sendiri. Dan sebagaimana mestinya masalah, ia hadir untuk diselesaikan. Terlepas hasilnya seperti yang kita harapkan atau tidak.

Akhirnya saya kepikiran untuk mencoba metode "duduk ikhtiar" yang tentu saja istilah ini saya karang sendiri. Duduk ikhtiar adalah duduk dalam posisi tenang, fokus di depan note yang ada di smartphone dan bersabar menjaring ide-ide yang berkeliaran di kepala sambil menghisap rokok.

Apakah langsung ada hasilnya ? Tentu tidak. Bahkan sudah habis tiga batang rokok saya belum menulis satu kata pun. Nihil.

Lalu muncul ide untuk mendengarkan satu lagu dari Letto judulnya memulai, dan merokok satu batang lagi untuk melimitasi waktu dan penjaringan ide agar segera memulai menulis. "Wes nulis opo wae lah" kata saya dalam hati.

Belum selesai satu lagu itu, dan belum habis menghisap rokok, saya terbesit akan menulis tema tentang "sabar" dan "memulai". Seketika saya pause lagu dan saya taruh rokok di atas asbak. Dan inilah saatnya saya menulis tentang dua tema tersebut. Saya mulai tulisan pertama setelah sekian lama...

Menjadi orang tua adalah status yang tak pernah mudah. Sekalipun banyak keberuntungan dan kemudahan yang Anda miliki dalam menyangga status sebagai orang tua, akan selalu ada perasaan dan pikiran yang membuat Anda merasa tidak mudah. Meskipun hanya asumsi, nyatanya tak mudah menganulir asumsi seperti itu. Setidaknya itu yang saya rasakan saat ini sebagai seorang Bapak, sekaligus orang tua bagi anak pertama saya; Kindi.

Saya ingin menceritakan pengalaman saya sebagai orang tua yang barangkali tidak penting bagi Anda, tapi saya ingin menceritakannya. Usia pernikahan saya dengan istri berjalan menuju tahun ketiga. Dan predikat sebagai Bapak sudah saya terima sejak anak pertama lahir--itu artinya sudah dua tahun. Pengalaman menjadi Bapak memang terbilang baru, tapi saya merasa memiliki banyak pengalaman yang tak mudah saya lupakan sebagai seorang Bapak. Dari sekian pengalaman, yang paling tidak mudah bagi saya adalah menjaga stabilitas emosi. Ini bukan tentang emosi dalam arti marah. Tetapi lebih kepada perasaan sentimentil kepada Kindi--anak perempuan saya. 

Saya dan Ibu Kindi adalah orang tua yang sama-sama bekerja. Dan karena bekerja, tentu waktu untuk anak kami sangatlah terbatas. Keterbatasan itulah yang membuat kami--khususnya saya--merasa sentimentil tiap kali bertemu anak saya, Kindi. Sebagai gambaran, saat pandemi saya masih bisa bertemu Kindi dan Ibu Kindi setiap hari. Ketika Ibu Kindi bekerja, saya yang menjaga dan merawat Kindi selama ibunya menunaikan pekerjaan. Setelah ibunya pulang, kami berganti shift. Ibu Kindi yang bertugas menemani Kindi, kemudian saya kembali bekerja malam hari untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat terpending.  Di saat seperti ini saya sangat sedih sekaligus bangga dengan Ibu Kindi--meski perasaan itu tidak saya tampakkan dan ungkapkan. 

Keadaan menjadi berbeda setelah pandemi usai dan saya kembali aktif bekerja di Kota Surabaya. Alhasil, kami bertiga sebagai keluarga kecil saling berpisah dalam ruang dan teritori yang berbeda. Saya di Surabaya. Istri di Tulungagung. Sedangkan Kindi di Nganjuk bersama kakek-neneknya. Saat di akhir pekan kita baru bisa bertemu bertiga. Dan berkumpul bersama.

Awalnya saya merasa hal ini adalah hal biasa, karena masih bisa bertemu setiap minggu sekali. Tetapi apa yang saya pikirkan ternyata tak semudah kenyataan. Stabilitas emosi saya berantakan. Di satu sisi saya bahagia tiap bertemu Kindi dan Ibu Kindi. Di lain sisi saya nelangsa tiap kali mau meninggalkan Kindi untuk melanjutkan rutinitas kerja. Ditambah harus menahan rasa rindu tidak bertemu istri selama lima hari ke depan. Mungkin Anda berpikir kenapa Ibu Kindi tidak keluar dari pekerjaan  dan ikut ke Surabaya saja ? Dalam posisi yang saya alami bersama keluarga saat ini, keputusan itu belum bisa kami ambil karena suatu alasan tertentu. Yang alasan itu tak perlu Anda ketahui. Pada intinya keputusan ini memang telah diambil dan harus dijalani dalam tempo waktu tertentu. 

Konsolidasi bersama keluarga besar telah dilakukan. Saya berdiskusi dengan Bapak dan Ibu saya, mereka menghargai keputusan itu. Mereka juga senang jika Kindi di rumah Nganjuk. Alasan utama mereka adalah memiliki kegiatan yang berarti di masa pensiun. Begitu mereka mengutarakan kepada saya. Meskipun dalam lubuk hati paling dalam, saya terbebani dan merasa berdosa telah merepotkan mereka di masa pensiun. Tapi ada satu perkataan dari Bapak yang membuat saya sedikit lega, "Demi apapun, aku dan ibukmu tidak merasa keberatan sama sekali kalau Kindi di sini. Malah senang dan ayem."

Memang saat Bapak saya mengatakan seperti itu seketika hati saya adem. Tapi begitu mandat pekerjaan sudah ditunaikan dan konsekuensi hidup sepi di kota orang harus dijalani. Selalu ada distraksi pikiran yang membuat saya kembali resah. Beruntung teknologi telepon video call telah ditemukan. Menjadikan kerinduan sedikit tertunaikan. Meskipun stabilitas emosi saya tak dapat terbantahkan.

Hingga pada suatu titik muncul kesadaran personal yang menjadikan saya berpikir berulang kali tentang konsekuensi. Bahwa selalu ada solusi atas konsekuensi yang kita hadapi, itu bermula dari bagaimana diri memaknai. Saya memaknai ini sebagai peristiwa yang harus dijalani atas jalan dariNya. Sehingga saya perlu melihat sesuatu sebagaimana apa adanya. Ini faktanya dan ini kejadianya. Maka setiap kali berpamitan dengan Kindi dan Ibu Kindi untuk berangkat ke Surabaya dan kembali bekerja. Saya memaknai sebagai peristiwa Bapak yang sedang berjuang dan bertanggung jawab atas mereka. Lalu saya mengobarkan pikiran seperti itu di atas pikiran yang bernuansa menyedihkan di dalam diri saya. Saya merasa lebih luamayan masih bisa bertemu seminggu sekali. Banyak Bapak-bapak di luar sana yang jangankan seminggu sekali, setahun sekali belum tentu bertemu keluarga. Maka hal-hal yang menguatkan seperti itu yang saya bayangkan. Dan itu membantu keadaan jauh lebih baik dari sisi stabilitas emosi saya.

Banyak hikmah yang saya petik dari peristiwa yang saya alami ini. Saya lebih bisa memanfaatkan waktu yang berkualitas bersama keluarga, saya lebih menghormati orang tua, saya lebih bersabar pada tiap fase yang dialami. Dan...satu hal yang paling penting: saya merasa beruntung berjodoh dengan Ibu Kindi dan Kindi. Manusia luar biasa yang mampu bekerja sama dalam mengarungi suka duka hidup berkeluarga. Lebih-lebih kepada Kindi, kelak jika kamu membaca tulisan Bapak yang ini, sejujurnya Bapak ingin mengucapkan terima kasih karena kamu telah cerdas secara emosi dengan bersabar menghadapi jarak yang sementara ini. Secepatnya kita akan berkumpul bertiga, dan mengakhiri fase keluarga tiga teritori ini. 

Komentar

Postingan Populer