Sabha Swagata
Dua kata serat akan makna. Juga simbol
kedikdayaan masa lalu. Sebuah kerajaan di ujung timur Pulau Jawa. Adalah
Kerajaan Blambangan, begitu sejarah mengenangnya. Yang merupakan cikal bakal
Kabupaten Banyuwangi. Daerah kaya budaya dan misteri. Bukan sebab terkenal
santetnya. Namun, masyarakat yang begitu orisinil. Memiliki bahasa khas dan
rumah adat. Warisan leluhur yang masih terjaga. Mereka adalah orang Osing. Jika
berbincang bersama mereka, logatnya cukup unik. Mungkin peleburan logat
Madura-Jawa. Maklum, mayoritas penghuninya dua suku itu.
Selain terkenal dengan tarian
gandrung, pantai, gunung ijen dan festivalnya. Kabupaten Banyuwangi juga
memiliki ikon menarik. Yang tak banyak disadari oleh masyrakat setempat maupun
turis luar daerah. Bahkan manca negara.
Pendopo Sabha Swagata. Inilah ikon menarik
dan langka dari kunjungan masyarakat ataupun turis. Lokasinya berdekatan dengan
Taman Sri Tanjung. Atau sebelah timur Masjid Agung Banyuwangi. Meski tempatnya
strategis, tak lekas membuat orang tau dan ingin singgah ke Pendopo Sabha
Swagata. Mungkin alasannya sederhana, tidak tahu.
Pendopo Sabha Swagata dulunya
merupakan kediaman Bupati Banyuwangi, sejak pemerintahan Bupati Joko Supaat
Slamet pada masa penjajahan belanda. Hingga saat ini, pendopo tersebut tetap
menjadi rumah dinas bagi Bupati Banyuwangi. Namun, bukan soal pendopo ataupun
rumah dinas sang Bupati. Lebih menjurus pada nama dan makna “Sabha Swagata”. Dan
bila saya tidak keliru, ketika itu salah seorang petugas pendopo menjelaskan pada
saya. “Sabha Swagata artinya masyarakat terpadang berjenis kelamin lelaki.”
Sontak saya pun mengangguk dan
berpikir. Ketika petugas itu menjelaskan pada saya. “ataukah suatu kebetulan,
bila ditelaah dari makna, siapa yang menjadi Bupati Banyuwangi kelak mesti
seorang lelaki” gumam saya dalam hati.
Tepatnya, 24 Mei 2017. Saat itu
saya mengajak teman saya. Juga menantang dia, jikalau saya singgah di
Banyuwangi. Kiranya diajak untuk berkunjung ke tempat bersejarah. Entah mengapa
saya tak begitu tertarik bila diajak ke pantai. Dan tanpa disengaja pula,
lelaki berdarah Madura-Bali yang tak lain adalah teman saya itu. Ia mengajak
saya ke Pendopo Sabha Swagata. Kaget ! ternyata teman saya itu juga pertama
kalinya berkunjung ke rumah dinas Bupati Banyuwangi itu.
Cukup heran. Bila di daerah lain,
pendopo adalah tempat yang ekslusif dan tak sembarangan orang bisa berlalu-lalang.
Justru sebaliknya, di Pendopo Sabha Swagata ini masyarakat umum boleh masuk
dan melihat area sekitar pendopo. Bahkan jika mujur, kita bisa bertemu dengan
sang Bupati Banyuwangi. Masih teramat heran, petugas yang mendampingi dan
menjelaskan sejarah populer seputar Pendopo Sabhwa Swagata adalah seorang
Satpol Pamong Praja. Bayangkan, bila selama ini kita melihat keganasan sikap
mereka dalam penertiban umum dan penegakkan Perda. Pemandangan nyeleneh justru terlihat di area pendopo.
Petugas Satpol Pamong Praja merangkap jadi guide
para pengunjung.
Di dalam area pendopo, juga
berdiri gagah rumah adat Osing. Khas dengan tiang presisi berjumlah empat. Menjulang
tinggi dan kokoh menyangga atap yang terdiri dari kayu dan genteng. Sederhana namun
bercitra seni tinggi. Lanjut ruang pameran seni lukis dan patung peninggalan
Kerajaan Blambangan di area belakang Pendopo Sabha Swagata semakin menambah
kesan artistik lokasi tersebut.
Petugas pun penuh semangat, mengajak
saya dan teman saya mendekati sebuah sumur tua di sudut timur-selatan area
pendopo itu. Ia pun menceritakan sebuah legenda asal mula nama Banyuwangi. Konon
di sumur tua itu, persis jadi saksi bisu kejadian memilukan yang dialami Sri
Tanjung. Seorang istri dari ksatria Kerajaan Blambangan.
Dimana kala itu, diawali nafsu
syahwat sang raja melihat kecantikan Sri Tanjung. Lebih tepatnya, ingin mempersunting Sri Tanjung menjadi istri sang raja. Namun semua itu tentu tak
mungkin, jika Sri tanjung adalah istri dari panglima perang kerajaan. Dicari
cara oleh raja agar sang panglima tewas. Diutusnya sang panglima untuk pergi
berperang dengan harapan mati di medan pertempuran. Atau setidaknya, sang raja
bisa berselingkuh dengan Sri Tanjung. Selama panglima berperang.
Namun karena
Sri Tanjung adalah istri yang setia, ia tidak mau berselingkuh dengan raja. Dipaksalah
Sri Tanjung. Hingga tak mengira sang panglima memergoki sang istri dalam dekapan
raja. Tatkala pulang dari tugas raja. Difitnah Sri Tanjung dihadapan suaminya
oleh raja. Bahwa Sri Tanjung lah yang mengajak berselingkuh dan menggoda raja. Kesal
dan percaya perkataan raja. Dibawalah pergi Sri Tanjung ke dekat sungai. Pedang
panglima pun siap dihunuskan ke tubuh Sri Tanjung. Hanya satu permintaan ia,
sebagai istri yang setia. “bunuhlah aku, tepat di bagian jantung. Buang jasadku
ke sungai, bila bau sungai itu busuk dan anyir, berarti aku bersalah. Bila sebaliknya,
bau sungai itu wangi, berarti aku benar,” kata terakhir Sri Tanjung.
Suami yang sudah naik darah tak
hiraukan kata itu. hanya rasa kesal yang berseliweran dibenaknya. Dihunuskan
pedang itu ke tubuh sang istri. Dan benar dibuang jasad itu ke sungai. Tak lama
kemudian. Kaget dan sesal, sang panglima. Karena bau sungai justru wangi. Itu artinya
sang istri, Sri Tanjung, tidak berbohong. “ itulah yang menjadi cikal bakal nama
Banyuwangi, dan peristiwa itu dikenang dengan dibuatkan sumur, tepat kejadian
memilukan itu berlangsung. Disini ! ” sekilas papar petugas kepada saya, sambil
menunjuk sumur tua itu.
Sungguh pun kita akan peroleh
pengetahuan. Bila singgah di Pendopo Sabha Swagata. Namun, setelah kita tahu,
agaknya terlalu naif jika kita lupa begitu saja. Tentang makna yang masih
misteri. Setidaknya menurut saya, benarkah Bupati Banyuwangi ditakdirkan seorang
jenis kelamin lelaki. Bila kita menilik arti “Sabha Swagata” itu sendiri ?
entahlah. Kita hanya jadi saksi.
Namun, sebagai manusia, tentu
menjadi kenikmatan tersendiri. Setiap perkara yang mengucurkan hikmah bagi diri
kita. Layaknya keterbukaan dan keramahan Satpol Pamong Praja di area Pendopo Sabha
Swagata, Nilai moralitas dan etika seorang Raja Blambangan, Kesetiaan Sri Tanjung pada
suaminya yang berujung penderitaan, juga warisan budaya rumah adat Osing yang
masih terjaga. Benar kata Leo Tolstoy, “kehidupan adalah suatu kemungkinan, dan
tidak ada yang tak mungkin terjadi di dunia ini.” Iya, seperti Satpol Pamong Praja yang
merangkap jadi guide, suami yang tega
membunuh istri sendiri dan rumah adat yang masih langgeng sampai sekarang. Bahkan
ada kampung rumah adat Osing di Desa Kemiren, Banyuwangi.
Berjejer kisah di Pendopo Sabha
Swagata, membuat saya menyimpulkan, “pengetahuan memang akan benar dipahami, bila
hanya seseorang mengalami.” (rif)
Komentar
Posting Komentar