Arjuna di Kampus
Arjuna
di kampus
Dorna, guru yang baik, mengajar para muridnya
bagaimana membidik. “ Ada seekor burung kutilang didahan sana,” katanya. “
siapkan anak panah dan jemparingmu.”
Para murid siap. Mereka memendang ke arah yang
ditunjukkan sang pendeta. “ apa ynag kalian lihat ?, “ tanya Dorna.
“ burung di dahan itu,” sahut para murid.
Hampir serempak. Syahdan, hanya Arjuna, seorang murid yang serius. Yang
menjawab lain. Putra Pandu yang tak banyak omong itu menyahut pelan. “hamba
melihat sepotog leher kutilang guru.”
Dan ia benar. Ia ternyata bisa memanah sang
burung tepat di bawah kepalannya. Leher itu patah, binatang itu terjungkal. Si
pemanah telah menjalankan tugasnya dengan sempurna. “ itulah ilmu anak-anakku,”
konon kata Dorna. “ suatu proses yang memerlukan pemusatan pikiran, pancaindera
dan kemauan.”
Kisah itu berakhir. Tapi moralnya menjangkau
ke tengah kita: bahwa menuntut ilmu memang memerlukan semacam pembersihan diri.
penyingkiran pelbagai macam distraksi, segala hal yang membuat ikhtiar kita
tidak punya fokus. Para ibu dan bapak sering mengisahkan pula bagaimana seorang
kesatria bertapa untuk menambah kesaktiannya. “ dia akan duduk diam bagaikan
arca. Pandangannya melihat ke ujung hidup.”
Mungkin dengan dasar cerita seperti itulah
Daoed Joesoef dan Nugroho Notosusanto menghendaki mahasiswa tak usah ikut dalam
“politik praktis” di sekolah. pusatkan dirimu. Tetapkanlah pandanganmu. Arahkan
minatmu hanya untuk ilmu yang kau pelajari. Jangan berisik. Jangan tengok kiri,
jangan tengok kanan. Konsentrasi, konsentrasi! Pada suatu saat nanti engkau
akan lulus dari proses ini. setelah itu bukan urusan lembaga perguruan tinggi
lagi untuk mengaturmu.
Tapi kenapa tetap ada saja mahasiswa yang
menolah gagasan seperti itu ?
Mungkin soalnya sederhana saja: bukan karena
mahasiswa itu anak titipan kekuatan politik dari luar. Mereka toh bukan lagi
seperti mahasiswa di tahun 50 dan 60-an. Mereka tak berada di tengah situasi
ketika partai politik berada di puncak pamornya, dan punya kader dikalangan
Universitas. mereka adalah anak-anak masa kini, ketika partai politik rudin dan
memikirkan kursi saja sudah susah.
Maka jika para mahasiswa itu tak betah untuk
hanya berada di laboratoria (yang memang apak), jika mereka enggan terus
berkerut di depan para pengajar ( yang memang itu-itu juga) agaknya
pertama-tama karena kampus terlalu santai dan mereka teramat muda.
Di masyarakat yang tak mengenal universitas,
di pedusunan yang jauh, anak-anak seusia mereka langsung terjun “ jadi
orang”. Di masyarakat tempat
kampus-kampus berdiri, kemahasiswaan praktis merupakan perpanjangan masa
transisi sebelum dewasa.
Perpanjangan itu ( yang juga berarti
penundaan) dalam dirinya mengandung benih keresahan. Terutama dalam masyarakat
ini. di satu pihak masyarakat memandang perguruan tinggi dengan begitu hormat:
para pengajar disana disebut sebagai mahaguru
dan murid sebagai mahasiswa. Di lain
pihak, masyrakat diluar itu tak dapat segera membei peran besar kepada orang-orang
yang terhormat itu.
Tak heran bila kampus terkena oleh pelbagai
ilusi. Ilusi yang terbesar ialah ilusi tentang kekuatan. Ilusi itu kadang
sehat: ia bisa memberi semangat bahwa universitas bukan alat birokrasi yang
tanpa kebebasan dan kreativitas. Tapi sampai tingkat tertentu ilusi itu
menyebabkan mahasiswa tak bia membedakan politik sebagai gashuku dan politik di pertempuran yang sebenarnya.
Dalam kehidupan politik yang sebenarnya,
kampus dan atribut-atributnya (termasuk jaket) tidaklah dengan sumber
legitimasi kekuasaan. Untuk legitimasi itu perlu proses yang lebih panjang.
Apalagi untuk kekuasaan itu sendiri.
Arjuna berhasil belajar memanah, bukan dengan
begitu saja. toh dia tak berhenti disana. Dia beberapa kali bertapa. Dia ikut
menjalani pembuangan dalam hutan. Apa gerangan yang dilihatnya selama itu,
dengan begitu sabar dan tekun ?
“ hamba melihat sepotong leher musuh itu,
guru”. (Catatan
Pinggir 2)
13 Februari 1982
Komentar
Posting Komentar