Tuhan
Tuhan
Dia menenggak bir. Selapis busa menyangkut
pada misai yang tak rapi itu. dia baca sajak. Lampu menyorot ke mimbar, dan
hadirin terpukau.
Sutardji Calzoum Bachri, tentu. Yang gondrong
rambutnya, yang tak jelas sopan
santunnya. Yang cepat cemoohnya, yang keras ketawanya. Dan mengejutkan
puisinya. Penyair yang kena serapah ? orang yang berantakan? Sebentar. Inilah
beberapa baris sajaknya.
Aku telah menemukan jejak
Aku telah mencapai jalan
Tapi belum sampai Tuhan
Berapa banyak abad lewat
Berapa banyak arloji pergi
Berapa banyak isyarat dapat
Berapa banyak jejak menapak
Agar sampai padamu ?
Jika Cuma kata-kata itu yang ada disana, mungkin kita akan duga
Supardji Cuma iseng. Tapi dalam kumpulan puisinya yang baru terbit, O Amuk
Kapok (Penerbit Sinar Harapan, 1981), baris sejenis itu berderet. Kadang
berulang-ulang: seolah Tardji tengah membaca semacam dzikir yang intens untuk
menemui Tuhan. Dia mencari, karena dia rindu.
Mungkin setelah Amir Hamzah di tahun 30-an, tak ada penyair Indonesia
lain yang begitu bergetar rasa kangennya. Kepada Dzat yang Mahagaib itu. aku
telah nangkap manusia dengan tangan, tulis Sutardji,”dengan meriam, dengan ide
dengan pikiran,” Namun,” cuma jejakMu saja yang akan aku dapatkan pada mereka.
“ Dan Ia mereguk bir.
Anda boleh keberatan, bahwa tuhan dikageni dengan cara begini. Tapi
bagaimana anda bisa mengatur kerinduan orang lain?
Amir Hamzah sekalipun, bangsawan sebelum perang, dengan adatnya yang
jelas, toh juga tak bisa ikut atur.” Hatiku yang terus hendak mengembara ini,”begitu
satu sajaknya ditahun 1935,” membawa daku ke tempat yang dikutuki oleh segala
kitab-kitab suci dunia.” Lalu katanya,” tapi engkau hatiku, berkitab sendiri,
tiada sudi medengarkan kitab lain...”
Hati yang gandrung, yang gelisah, memang mudah tak betah dengan peta
yang tersedia. Amir Hamzah melukiskan hubungannya dengan Tuhan sebagai “
bertukar tangkap dengan lepas”. Sebuah akidah, serumus hukum, paling banter
hanya bisa menuntutnya untuk jinak. Tapi penyair yang paling rapi sekalipun
selalu punya saat-saat yang majenun.
Karena itulah mereka yang lebih menyukai organisasi, tertib,
stabilitas, persatuan, doktrin yang pasti serta berkuasa, selalu ogah pada
kerinduan ala Sutardji dan pengembaraan Amir Hamzah. Bagi meraka Tuhan harus
ditaati, bukan digandrungi. Bagi mereka ia adalah kekuasaan, dan kita tak perlu
akan kebebasan. Kebebasan adalah berbahaya, subversif, membingungkan umat
mengacau generasi.
Bagi orang banyak, memang tak ada manfaatnya kebebasan penyair dan
kerinduan seorang sufi. Agama, bagi khalayak ramai ini, ibarat sebuah rumah
sakit yang ideal: ia bisa menyembuhkan, merawat, membersihkan. Ia juga teratur,
tak gaduh, dan steril.
Dalam tiap agama, selalu ada sifat yang disebut Max Webber sebagai
Alltags-religion ini – agama orang ramai yang dilakukan secara rutin
sehari-hari. Dan dalam tiap agama, selalu ada orang yang tak puas hanya dengan
itu, dari waktu ke waktu.
Demikianlah syair Wedatama di abad 19 mencemooh kaum muda yang “anggung
anggubel sarengat” yang dengan bangga yang merepotkan syariat. Bagi Wedatama,
yang utama adalah orang yang “karoban ing sih”, diluapi rasa cinta, yakni cinta
pada sang suksma, yang tumbuh menggunung besarnya.
Jika penyair Wedatama hidup di abad ini, pasti ia akan melihat ke Amir
Hamzah, atau Sutardji. Dan juga mungkin Ahmad Wahib.
Sebab dalam suatu catatan hariannya yang menghebohkan itu, anak muda
itu menulis: “ Tuhan, aku menghadap padamu bukan hanya disaat-saat aku cinta
padamu, tpai juga di saat-saat aku tidak cinta dan tidak mengerti tentang
dirimu, disaat-saat aku seolah-olah mau memberontak terhadap kekuasaanmu.
Dengan demikian, Rabbi, aku mengharap cintaku padamu akan
pulih kembali.” _ Pergolakan Pemikiran Islam halaman 27. (Catatan Pinggir 2)
30 Januari 1982
Komentar
Posting Komentar