Amy Chua
Chua
adalah nama belakang, juga simbol marga bagi keluarga Chua. Keluarga ini
tinggal di daerah Fujian, China Selatan. Kakeknya, ialah orang pertama yang
mewariskan nama “chua” pada keturunan berikutnya. Sungguh feodal, ataukah
budaya semata ? entahlah.
Chua Wu
Neng, nama seorang kakek feodal itu. Dia seorang astrologi istana pada
pemerintahan Kaisar Shen Zong dari Dinasti Ming, sekaligus filsuf dan
punjangga. Selain itu, ia juga penafsir dari Kitab Perubahan karya I Ching. Yang merupakan naskah tertua dalam
bahasa China kuno. Sungguh bangga memiliki kakek layaknya Chua Wu Neng. Namun,
siapa yang bisa meramal takdir ? ya, seperti kisah Amy Chua. Jelas sudah ia
lahir dari keluarga yang terpandang di China. Kondisi ekonomi dan perang
ternyata membuat keluarga chua harus menderita. Bermigrasi ke Filiphina. Di
sana,bertemunya kedua orang tua gadis yang kelak bernama Amy Chua itu.
Bukan
di Filipina, Amy Chua lahir dan dibesarkan. Tapi, di Amerika Serikat. Sungguh
perjalanan panjang. Berkat ambisi seorang ayah. Juga kecintaannya dengan
matematika, filsafat dan astronomi. Membuat pasangan suami istri ini,
bermigrasi ke Amerika Serikat. Menuruti ambisi seorang ayah. Dan alasan lain,
sang ayah lanjut studi di Massachussetd Institute of Technology. Dan pindah ke
barat, Boston untuk memperoleh pekerjaan lebih baik. setidaknya menurut sang
ayah.
Lahirnya
seorang anak, memberikan tanggung jawab baru bagi keluarga. Mungkin itu yang
dirasakan oleh setiap orang tua. Setidaknya tanggung jawab mendidik. Ada pengalaman
unik, ketika Amy Chua belajar di Sekolah, tepatnya SD. Anak gadis dari kelurga China ini heran
mendengar teman-temannya yang mendapat hadiah ketika meraih nilai B. Padahal nilai A minus tidak pernah ada di
kamus mereka. Ya, sebagai keturunan orang China. Itulah karakter pendidikan
keluarga, yang diberikan ibunya kepada Amy Chua saat SD.
Menginjak
sekolah menengah sampai kuliah. Amy Chua besar di Boston, Amerika Serikat.
Kuliah di Jurusan Hukum, Harvard University. Bahkan, disinilah takdir menuntun
ia bertemu sang kekasih. Yang kelak
menjadi suaminya, ia adalah Jed. Seorang
lelaki berdarah Yahudi Ortodoks. Berkat buah cintanya dengan Jed. Mereka
memiliki dua putri. Shopia dan Lulu.
Amy
Chua adalah kisah tentang sosok teguh ibu dan pola pendidikan khas China.
Bagaimana tidak, dalam buku Autobigrafinya “Battle Hymn of The Tiger Mother”.
Ia mengupas cara medidik anak-anaknya hingga meraih prestasi cemerlang. Tanpa
mengesampingkan karakter anak. Mungkin, pembaca juga bertanya-tanya, mengapa
anak orang China itu berbakat dan berprestasi cemerlang ? ya walau pun tidak
semua, namun mayoritas. Inilah secuil rahasianya.
Amy
chua berpegangan teguh pada prinsip. “ mampu menjadi murid terbaik dan
pencapaian di sekolah mencerminkan keberhasilan dalam membesarkan anak”. Tak
jarang, proses pendidikan keluarga yang diberikan oleh ia amatlah disiplin dan
keras. Ibu China punya keyakinan bahwa; (1) tugas
sekolah selalu menempati urutan pertama, (2) nilai A minus itu jelek, (3) anak-anak
harus mencapai taraf penguasaan
matematika dua tahun diatas kemampuan teman-teman sekelasnya,(4) orang tua tidak boleh memuji anak di depan
orang lain, (5) kalau anak sampai
pernah berbeda pendapat dengan guru atau pelatih, orang tua harus membela guru
atau pelatih, (6) satu-satunya
kegiatan yang boleh dilakukan anak adalh kegiatan yang memungkinkan mereka
memenangkan medali, (7) medalinya
harus emas.
Amat
berat bukan, jika kita menjadi anak orang China.Mungkin ada untungnya kita tak
terlahir di China. Atau keturunan China. Bahkan dari cerita kawan saya, Bahwasanya, anak China itu hanya boleh memainkan
alat musik piano dan biola. Alasannya, keduannya merupakan alat musik tersulit.
Jika yang tersulit mampu dikuasi, apalagi yang termudah. Begitu prinsip mereka.
Masih dalam buku autobiografinya,
Amy Chua merasa aneh dan tertawa sendiri. Apabila mendengar dan melihat orang
barat memperlakukan anaknya. Sedikit-sedikit diberikan pujian. Juga hadiah.
Bagi Amy Chua, hal ini tidak baik bagi perkembangan jiwa dan mantal seorang
anak. Bayangkan saja, menginjak usia
tiga tahun, anaknya yang bernama Sophia itu, sudah membaca karya sastra pujangga besar, Sartre.
Amy Chua bangga bila anaknya lebih cepat mengenal/ mempelajari sesatu. “Amat aneh, orang barat memberikan atensi luar
biasa bagi anaknya. Ketika sang anak hanya mampu menggambar ceker ayam, seusia
Sophia, yakni tiga tahun” ungkap Amy. Lebih lanjut ia mengatakan, “saya melihat orang China punya dua
keunggulan dalam hal ini, (1)
cita-cita yang jauh lebih tinggi untuk anak-anak mereka, dan (2) rasa hormat yang lebih besar terhadap
anak-anak mereka dalam mengenal banyak hal yang mampu mereka pelajari.”
Memang teguh pendirian orang
China, meski tinggal di Amerika Serikat tak lantas membuat Amy Chua
meninggalkan ajaran-ajaran pendidikan khas China. Cara mendidik orang China
juga terkenal blak-blakan, bila tidak
yang tidak, bila iya, iya. Bahkan lebih esktrem. “ saya pernah menyebut Sophia putri saya itu “sampah” dalam bahasa
inggris. Ketika ia tidak hormat kepada saya.” kata Amy, “ tetapi, mungkin itu cara khas mendidik
seorang imigran China” paparnya lagi.
Bagi orang tua China sesuatu hal
yang tak pantas dan tak baik. Harus dikatakan sesuai kenyataan. Perkataan “kamu
malas, kamu bodoh” adalah hal wajar dilakukan orang tua China pada anaknya.
Jika konteksnya mendidik anak. Tujuannya jelas, agar sang anak memiliki jiwa,
mental dan semangat kuat. Mungkin ini cara mereka bertahan sebagai kaum
minoritas/imigran/numpang. Supaya harga diri mereka terjaga. “Orang tua China tidak mengutamakan perasaan
anak, namun mereka memegang teguh kekuatan dan bukan kerapuhan” ungkap Ibu
bershio macan itu.
Kisah Amy Chua mendidik anak,
hingga memiliki segudang prestasi dan berkarakter. Selain pola mendidik yang
khas. Tentu, tak terlepas dari gen sang ayah yang Yahudi Ortodoks dan sang ibu,
China Modern. Itu pun bila kita percaya ilmu biologi tentang pewarisan
sifat. Bukankah bangsa Yahudi terkenal
dengan kecerdasan otaknya. Dan bangsa china tekenal dengan ambisi kuat sekaligus
keuletanya.
Dalam
buku autobiografi pendidikan China itu, memang terkesan subjektif, wajar saja
itu tulisan pengalaman pribadi mendidik seorang Amy Chua. Hingga, Agaknya Amy
lupa, menjelaskan secara jujur. Bagaimana anak keturunan China yang kurang
pintar dan tak berprestasi ? meskipun sudah dipaksa belajar. Bukankah hukum
alam, bila dunia mesti seimbang. Tak tertutup kemungkinan. Bila anak seorang
China juga berintelegensi biasa-biasa saja.
Saya jadi teringat cerita seorang
guru SD di Kauman, Kota Malang. Waktu itu ia bercerita, “ orang China itu bila mengerti anaknya tidak berprestasi di sekolah.
Haram hukumnya si anak bisa melanjutkan ke Sekolah Tinggi (kuliah), bagi mereka
itu membuang waktu dan biaya. Sedang hasilnya sudah jelas diketahui. Lalu
kemana mereka ? ia dibukakan gerai dan diajari berwirausaha. Setidaknya itu
lebih produktif, ” jelas guru itu.
Apa
iya, perkara itu yang membuat China menjadi bangsa besar. Dalam kodisi terendah
pun mereka masih mampu bersiasat dan mengambil keputusan cepat. Ataukah secara
sosial-geografis, membuat mereka menjadi bangsa yang berpendirian kuat dan
semangat tinggi. Sebab, mereka minoritas dan imigran. Bila tak terampil,
menjadi ahli dan terbaik. Harga diri mereka akan jatuh atau disepelekan sebagai
masyarakat imigran. Layaknya curahan Amy Chua.
Saya tak cukup paham. Tapi, saya percaya,
pendidikan memang alat utama menjadikan kehadiran manusia di bumi ini lebih
bernilai. Layaknya China, mereka adalah bangsa yang menghargai betul warisan
budaya leluhurnya. Meski hidup bermigrasi di berbagai belahan bumi. Warisan
budaya leluhur tetap dijaga. Seperti cara mendidik seorang anak. Dan mereka
konsisten menerapkan itu. Meski bangsa lainnya mengira pola mendidik itu aneh.
Lebih tepatnya unik.
Mungkin tak ada salahnya meniru
cara China, merawat tradisi pola pendidikan negeri ini. Lewat para ilmuwan dan
praktisi pendidikan. Supaya mereka mendiskusikan, mencari dan meneliti corak
atau pola pendidikan yang khas dari Indonesia. Lalu menyepakati untuk
diterapkan. Konsisten. Bagaimana pun dan dimana pun. Tentunya konteks
mengikuti. Apa mungkin, hal serupa terjadi di Indonesia ? mungkin, bila ilmuwan kita
mengedepankan kebenaran,kebagusan dan keindahan. (meminjam kata Emha Ainun). Daripada kepentingan politiknya.
Ataukah sudah takdir China menjadi
bangsa besar. Dengan tersiratnya dalam sebuah kitab, juga pembenaran. Bahwa, “ belajarlah hingga ke negeri China”.
Entahlah. Tapi jika benar adanya isi kitab itu, setidaknya kita tak perlu susah payah ke
Negara China, hanya untuk sekedar belajar. Mereka ada di sekitar kita. Pemilik
pertokoan, apartemen, mall dan perusahaan besar. Belajar memang selalu
menyakitkan, kita jadi tahu siapa menguasai dan dikuasai. (rif)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSing typo, Yan...
BalasHapusTapi layoutmu apikan saiki timbang biyen...
Iyo Pop, kadang lek ndak fokus. Setelah di taruh ng blog jadi kelewatan. Layout sing piye Pop ?
HapusWaaaapik...
BalasHapusWaaapik....
.
.
.carane wong cino mendidik 😄
Soal mengkritiai, aku nggak berani ya. Soalnya aku juga masih newbie di blog 😂
BalasHapusTapi aku suka banget sama ceritanya. Menginspirasi banget. Mungkin dari cara orang China mendidik bisa sedikit kita tiru. Tau sendiri kan, kualitas kerja Orang China nomor wahid banget wkwkwk
Sama newbie juga kok, dek. Ya begitulah orang cina. Memang hebat. Mungkin semangat belajarnya bisa kita tiru.
Hapus