Guru
Sering kali kita
dengar, kalimat bijak,” Guru itu digugu dan ditiru.” bermakna bahwa, seorang
guru itu harus didengar nasihatnya dan ditiru sikapnya. Bila benar makna
sebenarnya seperti itu. Pasti banyak dari mereka yang kritis, kurang sepakat
dengan makna tersebut. Misal saja muncul pertanyaan. Bagaimana jika, sikap guru
yang jarang masuk kelas. Bahkan alokasi mengajarnya bisa dihitung jari dalam
satu semester. Sikap tidak bertanggung jawab seperti ini, patutkah ditiru ?
Mungkin bukan dibenak
saya saja. Muncul keresahan, hingga pertanyaan serupa melayang. Lalu, hinggap
di angan kita. Bahkan terkadang, anda pernah mengalami hal serupa. Dimana
seorang pengajar melalaikan tanggung jawabnya. Dan saat itu juga, tak ada
kalimat yang pantas digugu dan layak ditiru.
Agaknya, kita juga
tak perlu terlalu alim. Meski angan berontak, karena pengajar tak bertanggung
jawab sebagaimana mestinya. Perasaan bebas, juga senang. Terkadang, justru jadi
penawar angan yang ingin berontak itu. Hingga kita terbawa dan lupa.
Seorang seniman tua,
mengaku beragama Muslim dan menikahi perempuan Katholik. Pernah mengguyoni saya. Ia berbicara, tepatnya bulan
Maret 2015. “ He !” begitu ia memantik perhatian saya. “ Kamu perlu ingat
betul, Guru itu bukan berarti sosok, ia
adalah ajaran yang hidup. Menuntun manusia dari kekosongan menuju isi.” Sambil
mengisap rokok cap gudang garam itu. Ia tertawa penuh makna. Saya hanya manggut-manggut, memahami kembali, apa
yang diucapkan.
Guru, ia memang kata
misterius. Tapi bagaimana pun, kita hidup perlu berguru (mencari ilmu). Karena,”
tanpa ilmu, manusia hanyalah hewan yang berakal,” kata Einstein. Geguru, atau
mencari ilmu. Ternyata juga ada adabnya sendiri, agar ilmu itu berfaedah.
Pertama, mencari guru utomo, yaitu guru yang mencari akhirat. Kedua, mengikuti perintah guru, jangan sekali-kali menyakiti. Ketiga, jangan mencela kelakuan guru. Keempat, meminta pengajaran kepada guru
dan sopan. Kelima, Jangan duduk di
tempat biasanya sang guru duduk.Keenam,
bertanya dengan tutur kata sopan, jangan malu bertanya tentang apa yang belum
diketahui. Ketujuh, kurangilah makan
agar hatinya terang, mudah belajar, ulangi kembali yan sudah diajarkan.” Begitu
kutipan buku Makrifat Syekh Siti Jenar
dalam Kesetian Zaenab dan 99 Burung Surga.
Berguru, terkadang
membuat kita bingung. Apalagi saat anda sudah melakoni adab-adab berguru.
Namun, sikap guru (yang berarti sosok) malah terkesan tidak etis. Tapi
bagaimana lagi, mungkin keterbatasan seorang Ibn Qasim Aba Piluyu, pengarang
buku Makrifat Syekh Siti Jenar dalam Kesetian Zaenab dan 99 Burung Surga. Ia tidak menjelaskan adab-adab menjadi guru.
Hanya bagaimana cara geguru. Hingga terkesan kurang berimbang.
Wajar, manusia dalam mencari
ilmu, sering dilanda kebingungan-kebingungan. Sebabkita mengerti, “bingung”
adalah pernyataan sikap aktif, bukan pasif. ibarat kita mencari suatu jalan,
namun tak kunjung bertemu. Kita resah, kita berpikir. Mungkin itu hakekatnya
mencari ilmu.
Komentar
Posting Komentar