Pensiunan Pegawai Perhutani, Koleksi 300 Topeng

Pensiunan Pegawai Perhutani, Koleksi 300 Topeng

Foto: Gatot Kasujono saat menunjukkan koleksi topengnya.



Berawal dari Penasaran, Kumpulkan Topeng Nusantara hingga Nepal dan Sri Lanka

Gatot Kasujono bukanlah seniman atau budayawan. Namun, kecintaannya pada barang-barang seni, khususnya topeng itu patut diapresiasi. Demi melestarikan warisan budaya nenek moyang, dia rajin mengoleksi topeng sejak 32 tahun lalu dan kini sudah terkumpul 300 topeng lebih.

RIAN FIRMANSYAH

Rumah Gatot Kasujono di Cluster Pondok Blimbing Indah C-2 No 20 Kota Malang itu tidak jauh berbeda dengan model rumah di sekelilingnya. Hanya saja, rumah berpagar besi warna hitam itu di tembok luarnya dihiasi dengan beragam karya seni.

Ada topeng dari kayu, lukisan topeng, lukisan gunungan, serta sejumlah seni ukir dari kayu. Barang-barang seni tersebut menempel di dinding depan rumahnya. Sejumlah karya seni itu seolah-olah menyapa siapa saja yang berkunjung ke rumah yang ditempatinya sejak 2 Desember 1989 tersebut.
Kepada koran ini, pensiunan pegawai Perhutani di bagian Biro Perencanaan Perhutani Jawa Timur itu lantas berbagi cerita pada Rabu lalu (21/9). Dia mengatakan, selama bekerja di Perhutani, memiliki banyak pengalaman yang menarik khususnya di dunia topeng. ”Saya banyak mengoleksi topeng di berbagai daerah di Indonesia,” ujar alumni SMAN 2 Kota Malang tersebut.

Dia menceritakan mulai mengenal dunia topeng itu pada 1984 silam. Saat itu ada tetangga yang pindah rumah, kemudian mereka mewarisi empat topeng kepada Gatot.
Selain itu, kakak kandungnya, juga memberikan hadiah dua buah topeng kepadanya. Dari situ, rasa penasaran Gatot untuk mengetahui seputar topeng semakin bergelora. ”Meskipun pada awalnya saya tidak diizinkan oleh istri,” kata pria kelahiran 1954 tersebut.

Lalu ketika ditugaskan di Madiun, dia juga sering mencari kerajinan yang mirip wajah manusia itu. ”Saya di Madiun mendapatkan topeng, jenisnya tidak jelas tapi unik. Kemudian saya pasang di dekat pagar di depan rumah,” kata pria yang gemar membaca buku sejarah itu.
Rasa penasaran dirinya pada seni topeng itu pun berlanjut, saat kembali di Malang, dia mendengar ada pertunjukan tari topeng di daerah Tumpang, Kabupaten Malang. Tepatnya di rumah salah satu seniman topeng Malangan, Soleh Adi Permana (Ki Soleh).

”Selain ada pertunjukan tari topeng, di sana juga ada pameran topeng. Mulai dari situ saya bertanya mengenai topeng Malangan, khususnya di daerah Tumpang,” jelas suami Widiastuti tersebut.
Sepulang dari pameran tersebut, Gatot semakin mengerti jika topeng itu bermacam-macam jenisnya. ”Topeng Malangan saja ada beberapa karakter. Topeng buatan Tumpang berbeda dengan yang berada di Jabung. Dari situ saya mengerti, topeng itu memang beragam jenisnya,” terang dia.

Dengan berbagai karakter topeng yang berbeda, dia mengaku semakin tertantang untuk mencari tahu mengenai karakter topeng. ”Saya membeli beberapa referensi mengenai topeng. Selain itu, juga terus mengoleksi topeng hingga sekarang,” kata pria yang hobi membaca itu.

Gatot mengatakan, dulu sering berburu topeng di Pasar Besar Malang. ”Saat itu masih banyak kerajinan topeng dari kayu dijual di sana,” ujar pria yang menikah sejak 1979 ini. Namun semakin hari, penjual topeng dari kayu semakin berkurang jumlahnya. Dia berpikir jika perajin topeng semakin hilang dan tidak eksis lagi di zaman modern ini, maka warisan budaya leluhur kita akan punah. ”Dari situlah tebersit keinginan saya untuk merawat dan mengoleksi topeng sebanyak mungkin,” tegas dia.

Sambil ngobrol, pria yang pernah menempuh studi di program D-1 Jurusan Geodesi di UGM (Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta tersebut mengajak wartawan koran ini untuk melihat koleksi topeng yang dimilikinya. Koleksi topeng tersebut sengaja dia tempatkan di beberapa ruangan. Seperti di ruang tempat tidurnya, ruang keluarga, dan ruangan dekat dapur. Dari ketiga lokasi tersebut, dia paling banyak menempelkan topeng di dinding kamar tidurnya, kemudian di ruang keluarga dan dekat dapur. Topeng yang terpajang di kamar berukuran 4×5 meter itu tertata rapi dan menempel di setiap sisi dindingnya.

Dia memanfaatkan kertas karton dan cat warna untuk dibuat menjadi frame. Tujuannya agar ketika ditempel, topeng itu terlihat lebih menarik. Namun, untuk topeng yang menempel di dinding ruang keluarga dan dekat dapur, tidak diberi frame. ”Kalau di ruang keluarga dan di dekat dapur tidak terlalu kelihatan, jadi belum sempat membuatkan framenya,” kata Gatot.

Meskipun begitu, tidak semua topeng yang dia koleksi dipajang di dinding. Ada beberapa topeng yang disimpan dalam kotak berukuran kayu 50×50 cm. ”Soalnya tidak semua saya pajang. Setiap beberapa minggu saya copot dan diganti, biar tidak jenuh,” jelasnya.
Dia mengaku, total jumlah topengnya berkisar 300 buah. Terdiri dari 100 topeng yang bisa dipakai di wajah dan sisanya adalah topeng dekoratif.

Topeng yang dia koleksi itu terbuat dari berbagai bahan. Mulai dari kayu, fiber, logam, dan tembikar. Topeng-topeng tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Ada yang dari Sunda, Bogor, Cirebon, Solo, Jogjakarta, Grobokan, Malang, Madiun, Bali, NTB, NTT, Papua, hingga Lampung. ”Pokoknya banyak Mas, saya lupa,” jelas pria yang juga hobi menggambar itu.
Selain ada topeng dari dalam negeri, dia juga punya koleksi dari luar negeri. ”Ada topeng dari Nepal dan Sri Lanka,” kata kakek dua cucu tersebut. Untuk yang topeng dari luar negeri, dia beli dari temannya. Yang dari Nepal, dia beli Rp 4 juta satu buah, sedangkan yang dari Sri Lanka juga hingga jutaan rupiah.

Dengan jumlah koleksi topeng yang dimiliki. Dia ingin melestarikan warisan budaya leluhur agar anak cucunya menikmati sekaligus mengenal budaya bangsa, khususnya untuk topeng. Selain  itu, karena koleksi topeng yang dia miliki cukup banyak dan beragam, Gatot mengaku koleksinya juga sering dipinjam seniman untuk pameran.*

* Tulisan saya ini, pernah dimuat di Koran Harian Jawa Pos Radar Malang.

Komentar

Postingan Populer