Nasionalisme Modern

Bukan saja jiwa patriotisme, yang perlu dipupuk. Agar sebuah bangsa menjadi kuat. Namun, rasa nasionalisme, juga wajib dimiliki dan menjadi kesadaran setiap anak bangsa. Bahwa itu amat penting. Hingga tak jarang, setiap institusi pemerintahan dan sekolah formal. Menjadi corong negara untuk mengaliri ideologi kebangsaan dan pupuk nasionalisme. 

Tapi, yang menjadi pertanyaan adalah mulai sejak kapan kita sadar tentang nasionalisme ? walaupun di sekolah formal, kita sudah mengenyam ratusan, bahkan ribuan. Ilmu pengetahuan mengenai nasionalisme. Apa iya, cukup mengenal nama pahlawan, jumlah propinsi, batas wilayah, menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dan mengikuti prosesi sakral upacara tiap hari Senin. Tentunya, pakai topi dan dasi. Bisa dikatakan seorang nasionalis ? mungkin. Tapi, bagi seorang pelajar setara dasar hingga menengah. Itu pun hanya bagian dari Character Building, meminjam kata Soekarno. 

Mereka yang menjadi mahasiswa, tentu amat berbeda menejermahkan sikap nasionalisme, dibanding anak setara dasar hingga menengah. Lihat saja, ketika menjadi mahasiswa. Ada tugas suci yang termuat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dan idealnya, harus terlaksana. Bahkan menjangkau masyarakat (civilization). Pertama, pendidikan dan pengajaran. Kedua, penelitian. Ketiga, pengabdian masyarakat. 

Jika benar, ketiga tugas suci itu dilaksanakan. Sederhana sekali, mereka sudah mengamalkan, sekaligus memupuk rasa nasionalisme.Seperti yang saya ketahui. Nasionalisme adalah sikap saling memiliki, merawat dan melindungi demi kemajuan dan keutuhan suatu bangsa itu sendiri, dengan azas kemandirian dan kecintaan (loyal) bukan fanatisme. 

Tetapi, berbeda sudat pandang. Bila yang menjadi subyek adalah seorang pekerja. Tanpa ditanya, bila seseorang bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau ASN (Aparatur Sipil Negara). Rasa nasionalisme, tentu sudah mendarah-daging. Seperti kita tahu, bekerja di sektor pemerintahan adalah pekerjaan pengabdian, pelayanan penuh cinta kasih dan pemakluman pada rakyat. Asalkan tak sering absen, suka berangkat telat, duduk ngecipris di ruang kantor dan membaca buku-buku Ke-indonesiaan.

Lalu bagaimana, jika seorang bekerja di sektor perusahaan swasta. Baik nasional maupun asing. Cap antek asing dan tangan panjang kapitalisme. Apa tidak bisa dihapus lagi. Apakah karyawan/pekerja seperti mereka salah ?

Pernah suatu ketika, saya berkunjung ke ruko buku, bertempat di Velodrom, Sawojajar, Kota Malang. Atau sekitar 600 meter ke arah timur, Kampus 2 Universitas Negeri Malang.  Ruko nomer satu, bernama “cendekia” itu milik pria berusia lanjut. Tak perlu saya sebutkan namanya. 

Waktu saya memilah buku, ia bertanya,” Kerja apa masih kuliah ? “.  Sontak saya jawab, “ sudah bekerja,Pak” lanjut saya,” di perusahaan swasta”.  lalu, ia jawab dengan wajah sumringah, “ wah, bagus itu, yang terpenting itu mau bekerja. Bekerja di perusahaan swasta baik nasional maupun asing, itu tidak mesti buruk.” Kemudian ia lanjut bicara cukup bersemangat. “menurut saya, bekerja di perusahaan swasta itu, bentuk Nasionalisme Modern. Apalagi perusahaannya besar, pajak yang harus digelontorkan ke pemerintah juga pasti besar. Dan pajak itu nanti, akan digunakan untuk kepentingan rakyat. Sampeyan ikut memajukan perusahaan. Artinya ikut mensejahterakanrakyat juga, lewat pajak tadi”. Tandasnya, sambil memukul meja kasir. Memastikan bila ucapannya pas. 

Pikiran saya tidak sampai kesana. Wajar sekali, lelaki berusia lanjut itu. Paham soal nasionalisme. Ia dulu sempat kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM. Jurusan Hubungan Internasional. Setelah saya pahami betul, kalimat lelaki itu. Nampaknya ia khilaf. Bukannya, perusahaan besar, layaknya PT. Freeport telah banyak merugikan bangsa dan negara. Sebab, pembagian hasil tambang yang njomplang. Antara investor asing dan Indonesia. Mungkinkah bekerja di sektor perusahaan swasta asing. Benar disebut sikap “Nasionalisme Modern”. Entahlah. Saya hanya yakin,pesan Ibunda Pramoedya pada dirinya, “ kau tidak boleh malu, bekerja itu adalah sebuah kemuliaan.” (rif)