Ekonomi 3/2A


Ekonomi 3/2A. Begitu tertulis pada tiket kereta api yang saya pesan. Saya menaiki kereta api dengan tujuan Malang-Nganjuk.
.
.
Tiba di Stasiun Malang Kota Baru. Saya cetak tiket pada mesin cetak tiket yang telah tersedia. Begitu saya cetak. Saya duduk di ruang tunggu. Yang letaknya tak jauh dari pintu masuk dan gerbang pemeriksaan tiket.
.
.
Jadwal keberangkaran kereta api tertera pukul 17.30 WIB. Tapi hingga jam 17.20 WIB tak ada pergerakan palang pintu masuk dibuka. Begitu pun petugas pengecek tiket tak keliatan batang hidungnya. Padahal pengumuman keberangkatan kereta api yang saya tumpangi sudah sangat gamblang. Belum cukup itu, kereta api itu juga sudah mangkir di jalur satu.
.
.
Dua perempuan berjilbab maju ke palang pintu masuk. Salah satu petugas kereta api melihatnya dari balik kaca pembatas ruang tunggu dan ruang transit dekat jalur satu. Akibat terhalang kaca pintu masuk, petugas tak dengar perkataan dua perempuan berjilbab itu. Sigap saja petugas itu membuka pintu dari dalam ruang transit kereta
.
.
Dari jarak kurang lebih 5 meter. Saya mendengar percakapan petugas dan dua perempuan berjilbab
.
.
"Ini kok petugas pemeriksa tiket gak ada, Pak. Sedangkan pengumuman dan kereta sudah berada di jalurnya." Kata si perempuan. Sedang perempuan satunya sibuk menata tas dorong.
.
.
"Maaf sebelumnya Mbak. Apa belum di informasi ya...untuk pintu masuk dan pengecekan tiket dilakukan di ruang sebelah." Kata petugas, lalu tangannya menunjuk ke arah ruang sebelah pintu utama. Dan ia menundukan punggungnya. Orang menyebut ini adalah gestur permintaan maaf. Tapi, para penumpang tak merespon itu. Mereka beranjak dari tempat duduk. Sambil mendesis kesal.
.
.
Saya coba menahan diri. Meski aslinya sedikit kesal. Tapi saya langsung saja menuju ke ruang yang telah ditunjukkan oleh petugas itu.
.
.
Cek KTP, cek tiket kereta api. Selesai. Saya berjalan menuju gerbong Ekonomi 3/2A.
.
.
Saya masuk ke gerbong itu. Kebetulan letak tempat duduk saya dekat dengan pintu gerbong. Juga dekat dengan toilet.
.
.
Saya taruh tas berisi pakaian ganti selama pengembaraan seminggu lalu: Bogor-Madura-Surabaya-Malang. Lalu satu lagi tas berisi berkas-berkas pekerjaan saya taruh di rak atas gerbong itu. Dan tas ransel saya taruh di dekat tempat duduk saya.

Saya ambil satu buku yang baru saya beli, karya Ajahn Brahm, judulnya Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya. Buku itu nampak dari luar memang mirip komik atau cerita lucu kekanakan. Tapi begitu dibuka isinya. Mungkin anda akan cukup tercengang.
.
.
Saya duduk. Saya baca buku aneh itu. Sebelum naik kereta saya telah selesai membaca kisah berjudul "Makan dengan bijak".
.
.
Tulisan itu dimuat selembar lebih sedikit. Tapi efek kesadaran yang tumbuh pada saya begitu mengenanya. Tentang bagaimana kita kerap mengesampingkan nikmatnya makan, mengecap sesuatu dan menelan makanan.
.
.
Hal sederhana yang kadang terlewatkan. Karena keangkuhan diri kita yang merasa makan dan menelan sesuatu adalah hal yang alamiah saja. Dikiranya siapa yang memberi kemampuan merasakan makanan enak, nikmat dan kenyang ?
.
.
Tapi kalian, sebagaimana juga saya, kerap lupa dengan hal ini; bersyukur. "Sek iso mangan, sek iso mengecap dan sek iso ngerasakne wareg. Sebuah kenikmatan yang diberikan cuma-cuma olehNya. Meski kita kerap bullshit mengumandangkan rasa syukur padaNya. tapi sisi lain, masih senang menyisakan makanan dengan alasan naif; disisakan untuk kucing kesayangan atau makan ayam. Atau lebih angkuh 'uangku sek sisa'."
.
.
"Mau kemana, Mas ?" Pertanyaan tiba-tiba dari seorang laki-laki yang duduk di depan saya.
.
.
Pertanyaan itu momennya tidak saya sukai. Saat saya keasyikan membaca buku. Tapi demi kesalehan sosial, macam kata Gus Mus. Baiklah, saya jawab, meski setengah hati menjawabnya.
.
.
"Mau ke Nganjuk, Mas." Jawab saya lalu tersenyum agak memaksa.
.
.
"Nganjuk itu jauh dari Malang, Mas ?" Tanyanya lagi
.
.
"Ya kira-kira empat jam, Mas." Jawab saya lalu senyum dan tangan saya membuka lembar demi lembar. Tujuan saya sederhana. Agar lelaki di depan saya itu merasa tidak enak dan berhenti bertanya basa-basi.
.
.
"Suka baca buku ya Mas sampeyan ?" Tanyanya lagi
.
.
"Hehehe lumayan Mas." Sahut saya. Sambil nerocos dalam hati, "Duhhh Pak Lik, Pak Lik....takoookk teroossss...malesss jawaabbbb aku."
.
.
"Oh iya, Mas...ini saya mau ke Jakarta, Mas. Wah kerjaan menuntut saya harus ke sana, Mas. Saya itu baru dua kali, Mas seumur hidup naik kereta api. Sekarang kereta api jadi bersih ya Mas. Tidak rame atau umpel-umpelan. Padahal kalau saya lihat di youtube itu ruame ada yang duduk diatas gerbong. Tapi ini bersih, tertib dan nyaman." Jelasnya lalu tersenyum kecil.
.
.
Sebelum merespon lelaki itu. Sebenarnya saya ingin ngakak dalam hati. Saat ia mengatakan 'penumpang kereta api yang sampai naik ke gerbong dan lelaki itu melihatnya dari youtube'. Dalam hati saya nerocos lagi. "Juanccikkkk Pak Lik, Pak Lik. Iku sing mbok delok nang youtube tahun piro seeee...sumpah polooosssmen to sampean iki, Mas."
.
.
"Iya Mas. Sekarang udah dibenahi Mas. Jadi nyaman dan kayak gini suasananya. Saya aja paling seneng naik kereta api. " kataku pada dia.
.
.
"Iya Mas ya...oh iya Mas, ini monggo kalau mau Mas. Keripik dan roti. Monggo Mas" respon dan tawarannya ke saya.
.
.
"Ohh udah mas. Terima kasih. Santai Mas" sahut saya
.
.
Lalu kami saling terdiam. Saya melihat lelaki itu menatap ponsel pintarnya lengkap berwallpaper anak kecil. Saya pikir itu anaknya. Saya pun memutuskan membuka lagi buku karya Ajahn Brahm. Melanjutkan ke lembar berikutnya. Tapi tak sengaja saya melirik lelaki itu menatap ke arah luar kereta api. Tatap matanya agak kosong tapi mendalam. Saya coba tak menggubrisnya.
.
.
Saya melanjutkan membaca. Saya buka ke lembar selanjutnya. Begitu saya buka, judulnya adalah 'Apakah selingkuh itu tak apa-apa ?'
.
.
Saya membacanya. Ada pesan yang menarik dalam tulisan pada judul itu. Diceritakan, Si Ajahm Brahm ini diundang untuk menghadiri sebuah acara talkshow di radio. Karena Ajahn adalah seorang biksu, ia tak menerima fee dari radio itu. Ajahn hanya meyakini bahwa talkshow itu bagian dari dharma membantu mengurai masalah seseorang.
.
.
Tiba pada saat itu, seorang penelepon bertanya ke Ajahn Brahm. Begini pertanyaannya:
.
.
"Saya sudah menikah, saya selingkuh dengan perempuan lain. Dan istri saya tidak tahu. Apakah itu tidak apa-apa ? "
.
.
Dengan santun di Ajahn Brahm menjawab pertanyaan dari si penelepon:
.
.
"Jika itu tidak apa-apa, anda tidak akan menelepon untuk menanyakan itu"
.
.
Lalu Ajahn Brahm menuliskan pesan tambahan di buku itu. "...Jauh dalam lubuk hati, kebanyakan orang tahu apa yang salah dan apa yang benar, hanya saja sebagian orang tidak mendengarkan dengan seksama"
.
.
Pesan ini rebel sekali menurut saya. Memelekan hati yang tertutup akibat hasrat, ego dan keinginan-keinginan semu. Sebab, saya pernah mengalami hal itu. Meski konteksnya belum berkeluarga. Saya pernah selingkuh, kala saya jauh dengan pacar yang waktu itu kuliah di Trunojoyo, Madura. Hubungan kami yang terlalu saling percaya dan penuh pemakluman. Ternyata juga membuka peluang kepicikan keinginan-keinginan itu muncul. Utamanya pada saya. Saya dekat dengan seorang perempuan lain. Dan Saya selingkuh. Dan saya pacaran. Wah kalau ingat, brengsek sekali memang.
.
.
Kala itu, lubuk hati kecil saya memang tak bisa berbohong. Saya merasa seperti menggendong perasaan bersalah. Dan saya coba mengesampingkan hal itu. Seolah-olah aman dan mewajarkan saja. Tapi memang benar kata Ajahn Brahm, lubuk hati lah yang berkata dengan bersih dan baik. Berbeda dengan perasaan, sebab perasaan itu berkemungkinan belum bersih. Karena terikat ego, ambisi dan keinginan
.
.
Tidak sampai satu tahun, saya balik diselingkuhi oleh pacar saya yang baru itu. Kalau saya mengingatnya sekarang, lucu juga proses perjalanan waktu itu. Melihat lucunya di waktu sekarang. Kalau pas kejadian itu ya ngeri juga.
.
.
Usai saya diselingkuhi itu. Saya punya waktu menemui mantan pacar yang pernah saya selingkuhi itu. Di waktu yang sama-sama rampung sidang skripsi. Saya menemuinya. Berdua. Saya mengaku ke dia segala kebajinganan saya. Saya mengaku di depannya. Dia hanya tersenyum dan berkata,
.
.
" Udahlah, Yan. Aku udah memaafkan semua. Bahkan semenjak kamu masih berpacaran dengan mbaknya itu. Kita udah sama-sama dewasakan. Kesalahan adalah tangga sederhana untuk menuju kebaikan dan kebajikan dalam diri kita. Biasa aja ya"
.
.
Mendegar kalimat itu, hati saya seperti diguyur air, pelan tapi merata. "Kok enek wong kayak ngene" pikir saya waktu itu.
.
.
Saya lega telah mengakui itu semua. Tapi ada yang membuat saya terenyuh. Mantan saya itu sudah bisa naik motor sendiri. Padahal ia sebelumnya tak bisa naik motor selama berpacaran dengan saya. Dan itu hal yang membutakan mata hati saya. Maaf sampai meremehkan dia. "Walah naik motor saja kok ndak bisa to." Saya turut bahagia ia bisa naik motor. Ya walaupun motor matic.
.
.
Tulisan ini saya tulis bukan semata saya kangen sama dia (red:mantan). Tapi sekedar related dengan apa yang ditulis oleh Ajahn Brahm dengan pengalaman saya. Jujur.
.
.
Bagi saya, ada sebuah kemungkinan bahwa untuk mencapai kebahagian. Kita mesti mampu melampaui kesedihan dan penyesalan-penyesalan di masa lalu. Mengenangnya. Lalu menertawakan sendiri. Percayalah setiap masalah yang mampu kita lampaui. Akan nampak lucu dan menggelikan seusai terlampaui. Nikmati. Jangan buru-buru memaksa keluar dari masalah. Biasa saja. Terima saja. Dan akui. Lalu perbaiki.
.
.
Usai saya endapkan antara pengalaman pribadi dengan tulisan si Ajahn Brahm. Saya menutup buku itu. Dan mengambil air minum botolan yang saya beli. Lalu menegaknya pelan...pelan...
.
.
Tak lama berselang. Lelaki yang duduk di depan saya itu menanyakan suatu hal ikhwal ke saya, "Mas bawa cas hape apa tidak ?"
.
.
"Wah, saya tidak membawa, Mas" jawab saya spontan. Tapi jawaban ini buat saya gelisah. Karena saya telah berbohong pada lelaki itu. Hanya sebab mengikuti ego saya yang malas membuka tas dan mengambil cas hape.
.
.
"Oh yaudah gakpapa Mas. Saya lupa bawa cas hape. Ini tinggal 30 persen daya baterainya. " katanya lalu tersenyum.
.
.
Ketika mendengar ia mengatakan 'baterai tinggal 30 persen'. Saya jadi merasa bersalah, karena telah berbohong kepada lelaki itu hanya gara-gara malas mengambil cas di HP. Belum lagi, saya tahu dia akan menempuh perjalanan panjang ke Jakarta.
.
.
Lagi-lagi lubuh hati saya mengatakan untuk segera meminjamkan cas hape. Tapi pikiran saya mengatakan lain. "Apa kamu gak malu, kan kamu sudah bilang tidak membawa cas hape !"
.
.
Saya pun berusaha menutupi kegusaran dengan mencoba buka-buka buku lagi. Yang padahal, aslinya, saya memikirkan gimana ya cara membantunya supaya tidak malu. "Ancene wong lanang iki demen banget ngerjain aku kayake. Sempat terbesit imajinasi konyol. Jika lelaki itu adalah wali. Yang dikirim Allah untuk ngetes saya."
.
.
Namun saya urungkan imajinasi itu berkembang. "Mosok rek, wali delok youtube tentang penumpang kereta api. Oralah..ora ngunu" bantah saya dalam kemelut antara meminjamkan cas hape atau tidak.
.
.
Saya mengambil jarak dari lelaki itu. Saya beranjak menuju toilet. Bukan buang air kecil ataupun buang air besar. Saya bertanya pada diri saya. Dan menghadap ke kaca kecil di toilet kereta api itu. Dan saya putuskan. Saya membantunya untuk meminjami cas hape. Bismillah.
.
.
Saya keluar dari toilet. Kemudian pura-pura bertanya ke lelaki itu. Apa tipe cas hapenya dan saya minta ijin untuk melihat hapenya. Ia pun mengijinkan. Lalu saya coba melihat isi ransel saya. Siapa tahu ada cas cadangan yang saya bawa. Saya keluarkan beberapa isi dalam ransel saya, ada buku, ada tempat pensil dan ada buku catatan. Semua saya keluarkan pelan-pelan. Lalu terakhir saya ambil cas hape yang saya bawa, dan kebetulan sama dengan tipe cas hape milik lelaki itu.
.
.
"Oh ada ini Mas. Coba-coba pas apa ndak ? Semoga pas, Mas"
.
.
"Alhamdulilah. Iya mas tak cobanya"
.
.
"Wah pas mas. Alhamdulilah. Lumayan bisa nyicil ngecas. Nanti ketika sampai Jakarta saya bisa mengabari anak dan istri. Matur nuwun ya Mas"
.
.
"Iya mas. Sami sami" jawab saya lalu tersenyum.
.
.
Ketika menjawab itu, jujur saya lega, meski saya juga menyesal. Kenapa mesti menuruti ego, ego dan ego. Dan sepele sekali, perkara malas mengambil cas yang jelas di dalam ransel. "Goblok koen, Lee lee" geming saya dalam hati.
.
.
"Ini foto anak saya Mas" katanya sambil menunjukan foto anaknya yang jadi wallpaper di hape.
.
.
"Ohh iya Mas..." jawab saya lalu tersenyum pada lelaki itu
.
.
"Ya gak nyangka Mas. Saya menikah baru setahun, eh langsung dikarunia anak. Alhamdulilah." Katanya
.
.
"Saya dulu menikah itu ya bimbang. Waduh gimana ya nanti menghidupinya. Ya pokoknya kebanyakan kata 'waduh', Mas. Tapi setelah saya putuskan, saya bismillah saja, ya jalan sampai sekarang. Dan sekarang saya tambah ayem, tambah fokus. Angan-angan tentang masa depan itu kadang menghambat proses kita maju og, Mas" lanjutnya.
.
.
"Hmmm...iya Mas. Begitu ya Mas" jawab saya sambil manggut-manggut.
.
.
Tak lama berselang, ada penumpang yang masuk satu gerbong dengan kami. Ia perempuan dan masih muda. Duduk di sebelah lelaki yang duduk di depan saya.
.
.
Awal masuk gerbong, perempuan muda itu terlihat sangat ribet dengan bawaannya. Usai meletakan tas ransel di rak atas. Ia menjatuhkan minuman bawaannya. Jatuh tepat di kaki saya. Saya mengambilnya. Lalu saya berikan ke dia.
.
.
"Terima kasih, Mas" ucapnya
.
.
Saya tak menjawab. Saya hanya manggut.
.
.
"Perjalanan ke mana Mas ?" Tanya perempuan itu ke saya
.
.
" saya turun Stasiun Nganjuk, Mbak" jawab saya. "Mbak mau kemana ?" Tanya saya balik ke dia.
.
.
"Saya mau ke Jakarta" katanya.
.
.
"Wah kebetulan, Mbak. Sama dengan Mas sebelah sampean" jawab saya sambil melirik ke arah lelaki itu. Lelaki itu hanya tersenyum. Perempuan itu pun juga tersenyum.

Dan terulang lagi. Lelaki itu menawarkan hal yang sama. Yang pernah ia tawarkan ke saya juga; keripik dan roti. "Monggo, Mbak ini ada keripik dan roti" kata lelaki itu.
.
.
Tidak lama berselang. Saya tiba di Stasiun Nganjuk. Saya minta ijin untuk mengambil cas hape yang dipinjam lelaki itu. Lalu berkemas dan pamit ke perempuan dan lelaki itu.
.
.
"Saya turun dulu, Mas dan Mbak. Semoga selamat sampai Jakarta ya"
.
.
"Iya Mas. Terima kasih banyak sudah dipinjami cas ya" pungkas lelaki itu
.
"Iya Mas. Hati-hati. Terima kasih" pungkas perempuan itu.
.
.
Saya turun di Stasiun Nganjuk. Dan mempunyai kesimpulan baru. "Fix. Lelaki itu bukan wali. Wali tidak butuh cas hape, Cuuurrrr" kataku dalam hati dan mesam-mesem sendiri. (rif)

Komentar

Postingan Populer