Sapa Bus Antar Kota



Lelaki itu mengenakan kemeja lengan pendek berwarna biru muda. Masuk dari pintu belakang bus. Menunduk, menatap ke layar smartphone. Dan agaknya ia mengamati sesuatu yang penting di balik layar smartphone itu. Terlihat dari dahi yang mengernyit dan tak menggubris siapapun di depannya
.
.
"Heh !" Sapaku
.
.
Ia pun kaget. Sigap sekali wajahnya menoleh ke wajahku. Mungkin berkat panduan suara sapaku.
.
.
"Loh ! Kok...di..disini. Maaf, maaf. Mau kemana kamu ?"
.
.
Ia terlihat kelabakan. Ucapanya juga meragu tapi lucu. Seperti anak kecil yang ketahuan berbohong mencuri uang koin di dompet ibunya.
.
.
Ia pun memilih duduk tepat di sampingku. Karena aku tak suka duduk di dekat kaca. Maka ia kubiarkan duduk di sebelahku dekat kaca.
.
.
"Eh mau kemana ? Kok kebetulan gini ya ?" Pertanyaan pembuka melayang dari dia.
.
.
"Gak tahu. Bukan aku yang merancang pertemuan dengan seseorang. Dalam hal ini, Kamu!"
.
.
"Iya aku tahu ini rencana Tuhan. Tapi kenapa kok mesti ketemu kamu ?! Disini pula ! "
.
.
"Ya mana aku tahu. Tugasku kan hanya menyapa orang yang pernah ku kenal !"
.
.
"Bukannya kita pernah saling memahami juga"
.
.
"Iya, tapi sebatas kata pernah lo ! Dan kata pernah menandakan waktu yang terikat.
.
.
"Artinya, bukan berarti dirimu masih merasa terikat denganku, kan ? "
.
.
"Mau kemana, kamu ?" Tanyaku menyelimur dari pertanyaan dia.
.
.
" kamu belum menjawab pertanyaanku ? "
.
.
" tidak semua pertanyaan mesti terjawab. Mungkin pertanyaanmu ada, untuk menguap begitu saja ! "
.
.
"Oke. Kalau begitu aku ganti pertanyaannya, mulai kapan kamu berhasil melupakanku ? "
.
.
" kita sama-sama penumpang. Kita setara. Jadi tak ada kewajibanku untuk menjawab semua rasa ingin tahumu !"
.
.
"Oke. Kalau begitu, untuk apa kamu menyapaku kala aku masuk ke dalam Bus ?"
.
.
"Lalu untuk apa kamu memilih duduk di sebelahku. Sedangkan masih ada tiga bangku kosong ?"
.
.
"Kamu tidak sedang memaksaku untuk menjawab jujur, Kan ?"
.
.
"Aku tidak memaksa menjawab. Tapi aku senang dengan orang yang berkata jujur !"
.
.
"Kan ! Kamu memaksaku !"
.
.
"Tidak. Aku hanya meresponmu !"
.
.
Lelaki itu diam sejenak. Kembali melihat layar smartphonenya. Tanpa menatap ke arah wajahku. Ia mengejutkanku, dengan perkataannya:
.
.
"Aku masih sulit melupakanmu. Maka aku mencoba menjawab kesempatan dari Tuhan kali ini, dengan duduk di sampingmu !"
.
.
" oooo! Bukannya kamu tadi sedang sibuk dengan ponsel pintarmu ya, sebelum terdistraksi dengan sapaanku. Dengan dasar apa aku mesti percaya perkataanmu tentang 'sulit melupakanku', sedang baru saja kamu asyik dengan ponsel pintarmu ! "
.
.
"Ini memang lelucon konyol. Oke, aku jujur, aku menatap ponsel pintarku itu tak lain karena menatap fotomu yang masih tersimpan di galeriku."
.
.
"Jangan membuai" jawabku spontan, meski dalam hati kecilku sedang menahan rindu padanya.
.
.
"Baiklah terserah persepsimu. Tapi tolong jawab sekali ini saja. Apakah kamu benar-benar telah melupakan aku ? "
.
.
"Berusaha melupakanmu, iya. Tapi teringat dirimu, itu kerap sekali terjadi padaku."
.
.
Aku diam sejenak. Lalu kulanjutkan perkataanku,
.
.
"Kamu... bukanlah prioritas yang ingin aku ingat. Mungkin itu kalimat yang tepat mewakili kondisiku saat ini " terangku ke dia.
.
.
"Pakkkk !!! turun depan ya" teriaku ke Sopir Bus.
.
.
Tanpa pikir panjang, aku pun turun di tempat yang seharusnya aku tak menurunkan diri. Rasanya ingin tak melihatnya, juga mendengar suaranya. Setelah ku terangkan rasaku ini ke dia.
.
.
Tapi bagaimana pun aku juga harus tahu diri. Jika tak segera turun, aku akan terhanyut naik pada ingatan yang lama melebam.
.
.
Aku pun duduk linglung di Halte Bus, menata ulang jilbab yang kukenakan. Persis, dengan perasaan tak jelas; menahan bahagia dan sedih bersamaan. (rif)

Komentar

Postingan Populer