Gogel I



Bagian Pertama: Manusia Pasca Demokrasi Itu Bernama Gogel

Sudah dua hari: hari ini dan kemarin, entah kenapa pikiran dan perasaan saya mengarah pada sosok Gogel. Saya pikir bukan perihal suatu yang penting ataupun rasa kangen. Bukan. Ini lebih rasa gatal dalam diri saya sebab hampir dua setangah bulan tidak mengerjai Gogel. Padahal, tahun-tahun sebelumnya minimal saya mengerjain dia bisa 24 kali dalam setahun--satu bulan dua kali mengerjainnya

Gogel kami juluki "Manusia Pasca Demokrasi" karena ketahanan rohani dan akalnya yang melampuai jaman ini. Di usianya yang menginjak 28 tahun: Dia tidak punya akun media sosial apapun. Eh, pernah punya akun twitter tahun 2012 tapi ia offkan, setelah perempuan yang ia cintai dan ia intai lewat twitter malah mem-block' akun pribadinya. Setelah itu ia sama sekali tak punya akun media sosial. Ia lebih banyak hidup dalam dunia ide yang ia endapkan melalui pengalaman hidup sehari-hari. Pernah suatu ketika kami tanya tentang alasan dia tak membuat akun media sosial, ia menjawab, "Akun media sosial digawe mung gawe wong sing nduwe kepentingan. Aku ra nduwe kepentingan, dadi aku ra perlu nduweni." Mendengar jawaban seperti itu, saya dan dua orang sahabat cukup mengangguk, kemudian merespon serempak: Prrreeeeetttt !

Ia tidak terseret pada gelombang nikmatnya berargumen di media sosial: Ia tak merasakan betapa "gagah diri" mengomentari secara terbuka ke akun Fadli Zon: Ia tak tahu bagaimana Kekeyi--teman satu kotanya itu--Siap kuda-kuda melawan bacot level 10 netizen: Bahkan, kemungkinan gogel juga tak tahu bagaimana Zoom Meeting jadi primadona di tengah WFH ini. Ia tak menggubris itu. Benar secara fisik Gogel hidup di ekosistem demokrasi, namun secara akal, agaknya ia hidup di ekosistem lain

Itu yang ada di imajinasi saya tentang diri Gogel--sahabat saya. Faktanya ? Ya mboh maneh ! Bisa salah, bisa juga salah sekali. Hmm bahasanya Gogel: Mbreseeeet.

Komentar

Postingan Populer