Pensiun




Seusai waktu magrib, saya duduk di teras rumah sambil merokok dan menatap ke arah jalan utama di desa. Selang beberapa menit bapak menghampiri dan duduk di depan saya. Posisi duduk kami menyilang berhadapan dan terpisahkan oleh meja kaca.

"Besok balik ke Tulungagung, pukul berapa ?" Tanya bapak, kemudian mengambil sebatang rokok Djie Sam Soe dan menyulutnya.

"Mungkin pagi hari, ya, sekitar pukul enam" kataku.

"Oh, ya, hati-hati. Jangan lupa STNK dan SIM" Jawab bapak.

Bapak selalu rewel dengan dua barang itu: SIM dan STNK. Setiap saya bepergian ia selalu mengulang-ulang pertanyaan yang sama, " SIM dan STNK sudah dibawa ?"

Karena saking bosannya, saya pernah jawab sinis, "SIM dan STNK tidak aku bawa ! "

Saya paham maksud bapak mengingatkan itu adalah hal baik, tetapi kalau diingatkan terus akan hal yang sama, rasanya kok keterlaluan. Padahal saya cuma sekali lupa bawa STNK, lalu tertangkap polisi lalu lintas--itu pun saya membayar denda dengan uang sendiri.

Tiap kali pulang ke rumah--semenjak kuliah dan bekerja di luar kota--saya dan bapak selalu menyempatkan waktu untuk duduk dan berbincang tentang apa saja. Tempat yang lazim kami gunakan untuk berbincang yakni di teras dan ruang tamu. Ya, meskipun lebih sering di teras daripada di ruang tamu. Sebabnya jika di teras kami bisa sambil merokok. Berbeda jika di ruang tamu, kami tidak bisa merokok karena ibu pasti muring-muring jika mencium bau asap rokok beredar di dalam rumah.

Karena momen berbincang dengan bapak tidak pernah direncanakan alias spontan, jadi yang kami bahas, ya, mengalir saja. Tetapi pertanyaan yang tidak pernah absen dari bapak adalah "Rencanamu mari iki opo ?". Apapun yang dibahas ketika berbincang dengan bapak, selalu muncul pertanyaan seperti itu. Entah di tengah pembicaraan atau di akhir pembicaraan. Seingat saya tak pernah muncul di awal pembicaraan. Mungkin pertanyaan itu bersifat serius, jadi sukar jika diucapkan di awal pembicaraan. Awal pembicaraan selalu berisi basa-basi.

Begitu bapak melontarkan pertanyaan macam begitu, saya selalu kelabakan menjawab spontan. Kadang malah muncul perasaan menggondok. Kelabakan karena, terkadang, saya juga tidak tahu pasti akan bagaimana ke depannya--terlalu menikmati kondisi "sekarang". Menggondok karena kesannya, kok, bapak ingin tahu apa saja rencana saya ke depannya--kepo amat, sih.

Tapi untuk menghidupkan suasana perbincangan, saya selalu berusaha untuk menjawab pertanyaan "apa rencana saya ke depan ?". Meskipun saya menjawabnya dalam keadaan ragu dan terbata-bata. Setelah saya menjawab, bapak selalu menambahkan pertanyaan, "Bagaimana cara mewujudkan dan kapan akan dilakukan ?". Kalau sudah masuk pertanyaan lanjutan begini--apalagi ketika saya belum benar-benar niat merealisasikan rencana saya ke depan, saya menjawab enteng dan sinis, " Mbuh kapan, fokus sing saiki disek, kok !". Kalau jawaban seperti ini sudah saya lontarkan, bapak hanya manggut-manggut, lalu kami membahas hal-hal lainnya.

Tetapi di lain waktu, jika saya sudah merasa mampu menjawab "bagaimana dan kapan merealisasikan rencana saya ke depan", saya lah yang justru proaktif mencarinya untuk membahas hal tersebut--tentu di teras depan rumah. Kalau sudah begini, bapak hanya memberi masukan sepatah-dua patah kalimat agar langkah saya ke depan tercapai.

"Orang tua itu bisanya cuma mendukung dan mendoakan anak-anaknya. Kalau rencana dan langkahmu jelas, dungoku nang Gusti yo fokus iku." Jelas bapak, setelah gamblang langkah-langkah yang bakalan saya ambil.

"Dadi ket biyen aku tokak-takok ngnu iku ojo mbok anggep bahwa bapak ikut campur urusanmu, bapak ki mung pingin bantu doa." Tambahnya.

Jika bapak sudah mengatakan begitu, saya hanya manggut-manggut dan menjawab, "Oke, Beroow, yoi !" mungkin terdengar tidak sopan, tapi begitulah hubungan saya dengan bapak--ya orang tua, ya kadang seperti teman.

Tetapi empat hari lalu, saya menyesal mengatakan sesuatu, yang, agaknya menyinggung cara pandangnya. Kejadiannya persis saat kami berbincang santai di teras, dan lagi-lagi ia menanyakan rencana saya ke depan.

"Rencanamu ke depan ini, bakalan menetap dengan istri di mana ?" Tanya bapak.

"Lek rencanaku, pokoke aku emoh urip nang Nganjuk lan nang Trenggalek !" Jawab saya.

Bapak langsung manggut-manggut dan tidak memberikan pertanyaan lanjutan, tentu ini adalah hal yang aneh, ia seakan sudah puas dengan jawaban saya. Kami berdua saling mengisap rokok masing-masing. Setelah beberapa hisapan rokok Djie Sam Soe, bapak berujar:

"Tak ilengno, ya, awakmu ojo pisan-pisan ngomong koyok ngunu iku. "Emoh urip nang Nganjuk, emoh urip nang Trenggalek !", iku jenenge ndikiki kersone Gusti. Luweh becik awakmu ngomong, "aku ada kepenginan menetap di sini atau di sana"."

"Yawes ojo dibaleni meneh, yo."Pungkas bapak. Lalu mengisap rokoknya lagi.

Mendengar pengeling yang disampaikan bapak, saya tak menjawab apapun, saya juga tidak manggut-manggut, yang ada hanya perasaan menyesal, kenapa saya mengatakan seperti itu. Tetapi sebagaimana pertanyaan yang sudah terlontar tidak bisa dihapus lagi, saya hanya terdiam di kursi dan mengisap rokok dalam-dalam.

Untuk menghidupkan kembali suasana hangat, saya mencoba menetralisir dengan berinisiatif untuk bertanya ke bapak. "Apa rencana bapak di masa pensiun ini ?"

"Pingin santai" pungkasnya datar.

Komentar

Postingan Populer